Selembar malam, larut, dan berlalu…
Hanya ada segelintir orang yang memperhatikan,
Bergulirnya bumi menuju peraduan,
Sedikit demi sedikit beranjak menyerpih.
Serpihannya kian membuat bumi kokoh,
menjadi keropos.
Hilang makna,
Dilembar akhir malam ini,
Suara makhluk – makhluk ciptaanNya,
Tiada rela beralih dari penantian,
Terhadap cinta sepanjang masa,
Berkeyakinan akan pertemuan disana..
tak cukup.
Lantas, dilembar malam yang akhir,
Tetap basah dalam sujud, lidah tak lagi kerontang,
Oleh sumpah - serapah.
Sudah berganti dengan sucinya perenungan…
Dilembar terakhir malam…
Bertasbihnya alam,
Dan…
Hilang makna,
Dilembar akhir malam ini,
Lelap, lelap,…
Aku cukup fakir untuk bertemu denganNya…
Astaghfirullah al adziim…
01:01 WIB, 9 Mei 2008; Bandar Lampung
Kupersembahkan karya ini untuk sahabat – sahabatku di kelas puisi FLP Lampung. Terinspirasi oleh kelas puisi tanggal 22 februari 2009, di bakso Soni.
“ Kodrat kita adalah ini. Dianggap mati bagi mereka yang merasa hidup. Begitu pasrah akan tugas yang diemban. Sejujurnya, gua telah sungguh letih.”
Sudahlah, untuk apa kau berceloteh yang sama setiap pagi. Dan malam nanti kau akan merasa letih dan terus latih.”
“ Lu lihat, si Rio. Dari tadi wajahnya terlipat – lipat. Apa karena baru satu pengunjung yang datang? Dia kan ga’ bakal rugi. Justru dia ga’ perlu susah – susah meladeni pembeli. Ga’ perlu repot nyuci mangkok dan gelas.”
“ Bukan karena itu. Tapi semalam adiknya nangis – nangis minta dibeliin HP, yang ada kameranya lagi. Dia kan belum gajian. Lagipula, gajinya ga’ cukup untuk beli itu HP.”
“ Lu jangan sok tahu!”
“ Aku dengar tadi si Rio cerita sama si Amar.”
“ Kasihan juga si Rio. Begitulah teknologi, semakin canggih malah semakin bikin repot.”
“ sudahlah, tuh ada pengunjung lagi. Tiga bidadari euy! Hey, mereka ke arah kita. Aku yakin, mereka pasti akan memilih duduk dekatku.”
“ Ah, elu memang selalu beruntung. Posisilu sangat menguntungkan. Andai gua bisa berpindah.”
“ Sudahlah, tuh ada bidadari lagi yang datang.’
“ Ah, dia duduk di dekat lu lagi.”
“ He…he… tenang, kau lihat seorang bapak yang berwibawa itu? Ia menuju ke arahmu.”
“ Alhamdulillah…Akhirnya, ada juga yang menyandarkan tangannya padaku. Untung Rio sudah melap ku dengan bersih. Jadi aku tak mengecewakan pengunjung. Btw, mereka mau ngapain, ya?”
“ Entahlah, kasihan si rio dari tadi bolak – balik nanyain mereka mau pesan apa, jawaban mereka selalu nanti. Masih nunggu teman. Wajah si Rio makin mengkerut, tuh.”
Beberapa menit kemudian, muncullah seorang bidadari lagi. Akhirnya bidadari itu pun memesan bakso, es jeruk, dan jus melon. Sembari menunggu, mereka mulai berdiskusi.
“ Apa sih yang mereka kerjain. Ga’ guna kale.. merangkai kata yang ga’ jelas. Buang – buang waktu aja! Males deh gua.”
“ Ssst.. jangan berisik. Coba kau salami makna dari tiap kata – kata itu. Begitu dalam dan menyentuh.
Melukis Malam*
Ini malam ingin kulukis malam
Lewat sapuan halus perlahan
Pada kanvas putih
Lewat warna aku menjadikannya berbagai makna
Biru, kulihat langit begitu lembut merayu awan
Putihpun hadir memberi jawaban
Kuning keemasan adalah restu bulan
Orkestrasi serangga malam
Ciptakan semarak pesona malam
Hitam, di sudut lain
Seorang putri menangis
Linang air matanya adalah bahagia
Sebab ini sudah takdirnya
Ini adalah puisi terbaik yang pernah kudengar.”
“ Karena di sini emang ga’ pernah ada yang baca puisi sebelumnya, kan? Di sini orang cuma isi perut, hilangin haus, ngobrolin bisnis, ngegosip. Ah, gua jadi buka aib orang!”
“ Makanya, lebih baik kau pahami bait – bait yang mereka ucapkan.
Menunggu Pulang**
Kabut menyelimuti ragu
Menyebar pilu pada satu rindu
Menepis rasa yang telah diabaikan
Pada jiwa yang hancur berantakan
Biaralah raga, semakin asing pada dunia
Agar tak banyak meminta
Biarlah ruh, kian kaku pada rangka
Agar tak lagi sayang meninggalkannya
Bila kelak berpulang
Aduhai, ternyata manusia juga memikirkan matinya, telah berangsur mempersiapkan kepulangannya dengan mengasingkan diri dari dunia. Apakah kita juga akan mati kelak?”
“ Elu ini, kitakan emang benda mati!”
“ Begitukah? Tapi mengapa kita bisa mendengarkan, melihat, dan mengerti mereka? Dan mengapa kita bisa memahami kata – kata itu? Pernahkah kau pikirkan?”
“ Ah, sudahlah. Elu ini sudah teracuni puisi. Tuh lihat, seorang bidadari pergi. Mau le undangan nikahan.”
“ Aduhai, sebentar lagi mereka pasti beranjak. Padahal kata – kata mereka telah melekat di sini.”
“ Pliz…deh, elu jadi ketularan manusia – manusia itu.”
“ Duhai para pujangga, kapan lagi kalian tiba, aku ingin sambut penuh rasa cinta. Rajutan bait – bait kata, yang bertabur makna. Kalian dating memberi warna. Dalam ruang yang ini – ini saja. Kalian menjadi pembeda. Dari pengunjung – pengunjung lainnya, yang pernah menumpahkan sambal dipermukaanku, menyisakan percik kuah bakso, atau jus – jus aneka rasa.
Kalian meninggalkan luka, yang luka itu ada pada kalian penawarnya. Meskipun kalian berkelana dan mengabaikanku suatu ketika di tempat penuh romantika, aku akan tetap menorehkan kalian dalam cerita, bahwa di sudut ini, di dua meja ini, enam orang pujangga pernah singgah untuk berbagi kata.”
Aku memandang angka yang berderet rapi di depanku.
Kalender. Beberapa kuberi goresan tipis dengan spidol warna-warni. Menandakan hari-hari
yang lalu. Sebentar lagi musim panas datang. Artinya, hujan tidak akan turun
pada saat itu. Maksudku, pelangi tidak akan muncul tanpa hujan. Dan, aku benci
itu. Warna-warni sesaat yang muncul di langit setelah hujan menjadi
kegemaranku. Entahlah, apa yang aku lihat. Namun, warna-warni itu selalu tampak
spesial di mataku.
Terlalu banyak beraktivitas membuat abai terhadap kesehatan.
Sakit sedikit dibiarkan. Berharap nanti sembuh sendiri. Untuk beberapa kasus,
secara kebetulan hal ini memang diakui. Sakit kepala sebentar saja, kemudian
sembuh dengan sendirinya. Namun, tentu tak selamanya prinsip ini dipegang. Maka
yang paling bijak adalah senantiasa waspada terhadap penyakit yang mengincar
kesehatan, karena menjadi sehat itu penting. Seorang yang luar biasa, akan
tidak maksimal menjalankan perannya jika dalam keadaan sakit.
Sangat banyak
para tokoh yang mengagumkan, masih diharapkan kontribusinya, ternyata meninggal
dunia karena sakit yang diderita. Tentu ini adalah takdir Tuhan, namun berusaha
menjaga kesehatan tubuh juga merupakan keharusan. Ingat, Allah lebih mencintai
muslim yang kuat daripada muslim yang lemah. Tubuh ini adalah karunia istimewa
yang dititipkan Tuhan, agar dapat dimaksimalkan fungsinya dalam tugasnya
membentuk peradaban. Catatan yang amat berat pertanggungjawabannya.
Beberapa waktu yang lalu, aku mengikuti seminar kesehatan
yang diadakan oleh Kementrian Kesehatan. Dalam rangka memperingati hari
Hepatitis Sedunia. Bertempat di hotel Asoka, Jl. Pulau Morotai No. 168
Bandarlampung. Tak seberapa rumit menemukan hotel ini. Dengan arahan teman dan
bantuan Google Map, perjalananku untuk pertama kalinya kemari menjadi
tertolong. Sungguh pengalaman yang luar biasa mengikuti seminar. Ada wawasan
baru bertambah. Meskipun mungkin bagi tenaga kesehatan pengetahuan seperti ini
sudah biasa didapat, namun akan lebih baik jika informasi ini sampai langsung
ke masyarakat.
Hari Hepatitis sedunia ditetapkan tanggal 28 Juli, karena
pada hari itu adalah kelahiran Baruch Samuel Bloomberg (Penemu virus Hepatitis
B). Hepatitis adalah proses peradangan sel - sel hati. Aku jadi teringat adikku
yang pernah terkena hepatitis. Saat itu memang sedang mewabah demam kuning di
sekolahnya. Sempat merasa ngeri. Penyakit yang disebabkan oleh virus ini sangat
membahayakan. Satu dari empat pengidap akan meninggal karena kanker atau gagal
hati. Baru tahu juga bahwa hepatitis ada banyak macamnya: A, B, C, D, dan E.
Penularannya bisa melalui kotoran dan mulut (A, E), dengan kontak cairan tubuh
(B, C, D).
Alurnya sebagai berikut:
Pembawa virus hep. A/ E membuang kotoran sembarangan atau
tidak bersih, kemudian menyentuh makanan atau benda, memakannya tanpa cuci
tangan terlebih dahulu. Sehingga terinfeksi sakit akut. Penderita bisa saja
sembuh atau malah menjadi pembawa virus untuk ditularkan.
Sedangkan penularan melalui cairan tubuh bisa dari ibu ke
anak, anak ke anak, dewasa ke anak, transfusi darah dan organ yang tidak
diskrining, penggunaan jarum yang tidak aman, hubungan seksual yang tidak aman,
atau kontak dengan darah.
Pada faktanya, 1 dari 10 penduduk Indonesia mengidap
hepatitis B, dan sebagian besar baru menyadarinya ketika muncul komplikasi.
Sungguh miris sekali, bukan?
Pemerintah sudah melakukan pengendalian terhadap Hepatitis,
diantaranya:
Sosialisasi faktor resiko penyakit hepatitis di 34 provinsi,
Melakukan imunisasi rutin hepatitis B pada bayi di 34
provinsi dengan capaian di atas 94%,
Deteksi dini hepatitis B sudah dapat dilakukan pada 34
provinsi dan 88 kab/ kota,
Sejak tahun 201n6 - 2017 sudah dilakukan deteksi dini
hepatitis B pada ibu hamil sebanyak 204.629 dan berhasil memproteksi 2.553 bayi
terhadap ancaman penularan ertikal dari ibunya,
Memulai pengobatan hepatitis C dengan obat Direct Acting
Antiviral (DDA) pada enam provinsi yang diduga jumlah peserta hepatitis C nya
terbanyak.
Sedangkan bagi ibu hamil, strategi pencegahan infeksi vertikal
hepatitis B dengan cara screening hepatitis B, jika terinfeksi harus segera
konsultasi dengan dokter. Semua bayi yang baru lahir diberi vaksin HBO kurang
dari 24 jam setelah kelahiran. Ibu hamil yang menderita hepatitis B (HBsAg
reaktif), disarankan agar melahirkan di fasilitas layanan kesehatan.
Dipandu oleh dr. Wiendra Waworontu dan dr. Rhino Ghani,
seminar kesehatan ini menjadi hidup diskusi berjalan lancar. Peserta begitu
antusias. Terlebih lagi panitia juga menyiapkan doorprize untuk beberapa
peserta, semakin menarik hingga akhir acara. Mari proteksi diri dan juga orang
- orang sekitar dari bahaya Hepatitis.
Lakukanlah perjalanan, agar lebih bijak pandang kita
terhadap kehidupan. Melincahlah, karena untuk memulai perjalanan panjang,
diperlukan satu langkah untuk mengawalinya.
Jika harus mencari waktu terluang untuk melakukan perjalanan
tentu saja akan sangat sulit. Kepadatan rutinitas membuatku sangat sesak jika
harus memikirkannya. Telah dipilih waktu yang ringkas. Libur kenaikan kelas,
bertepatan libur hari raya. Perjalanan menggunakan bus tentu memerlukan waktu
lama. Dua hari satu malam untuk sampai ke sini jika dari Lampung. Namun jika
bertemu macet lalu lintas, tentu bertambah lama.
Akan sangat terlihat perbedaan ketika memasuki perbatasan
Sumatera Barat. Bangunan mulai bertanduk pada atapnya, sungguh bernilai seni
tinggi. Daerah perbukitan seolah menjadi benteng kokoh dari daerah lain. Hijau
segar mengitari. Rimbun dedaun pohon - pohon besar tinggi, menutupi langit. Bus
memecah lorong bertudung dedaun pepohonan. Lereng dan bukit di kanan kiri. Perjalanan
panjang yang melelahkan jadi terobati dengan suguhan alamnya.
Melintasi kelokan tajam menuju tempat yang sudah
kutinggalkan puluhan tahun, kelok yang begitu terkenal di Indonesia. Kelok 44.
Memang sekianlah jumlahnya. Di satu sisi jalan, bertuliskan Asmaul Husna setiap
menemui keloknya. Sungguh warna Islam yang sangat lekat di sini. Mellihat kelok
yang sangat menikung dan menanjak, hanya doa selamat lah yang sepatutnya
diucapkan. Bunyi klakson sebagai penanda, bahwa ada kendaraan dari depan. Harus
tenang dan sabar ketika melintasinya. Juga harus orang yang paham benar dengan
lintasan. Jalan yang sempit, di salah satu sisinya adalah jurang, di sisi lain
adalah dinding perbukitan. Pepohon masih memancang kokoh. Namun tak jadi
penghalang untuk sekedar menikmati keindahan alam. Dari atas, danau maninjau nan
luas menantangku untuk menghampirinya. Di tepian terhiasi oleh keramba -
keramba, usaha penduduk setempat selain bercocok tanam. Mereka memanfaatkan
danau untuk budidaya ikan air tawar. Jika malam hari, lampu - lampu dari setiap
keramba menyiptakan kelap kelip indah. Seperti kepadatan lampu perkotaan yang
di lihat dari ketinggian. Begitu pula ketika memandangi kelok 44 di kala malam,
dari bawah terlihat titik - titik lampu yang menanjak rapi dan indah.
Aku adalah pengagum semesta dengan beragam fenomenanya. Pada
setiap langkah perjalanan, di tempat yang kusinggahi, senantiasa memberi kesan
yang berbeda. Meskipun seorang temanku pernah berkata bahwa langit di manapun
akan sama. Senja, di manapun tetap sama. Ada benarnya. Jika kita melihat dengan
sekejap saja. Namun jika kita bersedia menelusuri, tentu saja semua itu ada
perbedaan. Dari warna, suasana, juga kisah yang tercipta. Itu yang kurasakan.
Setiap orang memiliki kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya. Maka kebebasan
itu diizinkan, namun tetaplah santun. Dengan demikian kita beradab.
Setelah puluhan tahun tak menginjakkan kaki di kampung
halaman, maka di waktu yang terencana sampai juga raga ini mengunjungi negeri asal
para perantau. Apakah yang terjadi di sana? Ketika semua pengelana kembali
pulang, maka ditemuilah rumah yang makin rapuh. Di saat para jalan tanah
teraspal hitam, pepohon besar ditiadakan, rumah - rumah batu ditegakkan,
bangunan kayu kokoh puluhan tahun silam telah lapuk pada sisi tertentu. Itulah
bangunan yang tetap mewarisi cerita para pendahulu. Rumah Gadang.
Tentang sungai yang masih tetap
mengalirkan kejernihan ke seluruh rumah penduduk di kaki gunung, juga bebatuannya
yang tetap licin. Derasnya arus menggoyahkan kaki ketika melintasi. Juga
pepohonan besar yang masih asli, kicau burung bersahutan, desau angin memiliki
lagu sendiri. Melangkah lagi pada daratan tertentu, danau Maninjau biru
memesona. Membentang menantang langit yang biru juga. Panorama yang tak bisa
dimunculkan di tempat lain tentu saja.
Sawah hijau memunculkan harap
pada kehidupan. Gunung pemancang bumi yang mengelilingi, udara sejuk
melengkapi. Daun pohon kelapa berayun, awan - awan turun. Orang - orang
berkumpul di depan rumah. Yang lelaki bekopiah dan bersarung, para wanita
bertutup kepala. Berbincang santai. Kanak - kanak berlarian, berkejaran. Dari
kejauhan suara - suara yang sangat familiar terdengar. Percakapan bahasa Minang
yang khas. Di sini, pada rentang waktu yang sedikit, aku singgahi. Negeri para
perantau, yang memaksa mereka pergi, namun juga mengusik mereka untuk tetap
kembali.
Tulisan ini
adalah tugas dari kelas ngeblog seru #2 bersama Naqiyyah Syam
Kita semua adalah manusia berkesibukan, bahkan bisa
disimpulkan, sangat- sangat sibuk. Terlebih jika bekerja pada perusahaan
tertentu, yang mengharuskan kita berada di kantor dari pagi hingga sore hari.
jika bisa memilih, tentu kita ingin berada di rumah, menikmati keseharian
bersama keluarga, melihat peredaran matahari dan awan, serta perubahan cuaca
dengan keadaan nyaman di rumah. Penghasilan datang, kebutuhan terpenuhi. Namun
ini bukanlah kisah fiksi atau mimpi. Kehidupan kita pada kenyataannya dipenuhi
dengan beragam tuntutan dan kebutuhan. Terlebih bagi yang sudah berkeluarga,
aktivitas yang semula hanya berhubungan dengan diri sendiri, menjadi semakin komplek
dan bervariasi.
Dengan Hari Keluarga Nasional Kita Bangun Karakter Bangsa
Melalui Keluarga yang Berketahanan
Lampung, 13 Juli 2017
Aku sengaja memakai judul di atas, agar tetap mengingatkanku
bahwa ini adalah kegiatan resmi. Hmm.. memang bagaimana kegiatan yang tidak
resmi? Jadi begini teman - teman, aku sangat menyukai menghadiri seminar atau
pelatihan. Biasanya tentang pendidikan dan kepenulisan. Edisi hari ini adalah
pengkhususan. Lihatlah judulny, agak berbeda dengan aliranku, bukan? Tepat sekali.
Mengapa akhirnya aku bisa terlibat di aktivitas ini?
Hal ini bermula ketika aku pulang kampung ke Padang. Adik sepupuku
yang bekerja di BkkbN, Dinil Fauzia namanya, mendapatkan tugas untuk ikut serta
kegiatan yang diadakan oleh BkkbN untuk peringatan Hari Keluarga Nasional. Sejujurnya,
aku kurang perhatian dengan agenda seperti ini. Jika terkait sastra atau DuPen
(Dunia Pendidikan) biasanya aku akan melincah ke sana. Tapi, ini adalah edisi
spesial. Niatku awalnya adalah berjumpa kembali dengan adik sepupukku. Dia juga
hendak ke Lampung Timur, untuk bertemu dengan keluarga besar di sana. Tentu aku
sudah menyiapkan eaktu dan juga beragam persiapan. Terkait transportasi dan
penyambutan lainnya. Maklum, adikku ini sudah puluhan tahun tak ke Lampung
Timur. Melewati saja yang sering. Ia tinggal di Sulawesi. Bertugas di sana.
Maka sampailah di hari yang ditentukan. Sungguh di luar
dugaan, Dinil tidak jadi ke Lampung. Karena ia sudah kebanyakan cuti ketika Idul
Fitri, maka tugas ke Lampung dialihkan ke rekan kerja yang lain. Baiklah, tidak
mengapa. Semoga kami masih bisa bersua di lain kesempatan. Aamiin… aku tetap
berangkat e Hotel Horison siang itu. Setelah mutar - mutar mengikuti jalur
angkot, tentu saja memakan waktu yang lama, sampai juga aku di sana.
Acara sudah dimulai. Pembicara sudah menyampaikan materi. Teman
- teman dari Tapis Blogger sudah memadati kursi. Mereka mulai berkesibukan. Memainkan
senjata ampuh, smart phone. Mereka diundang untuk menyemarakkan acara hari ini.
menebarkan informasi terkait kegiatan Harganas. Aku, terlibat di dalamnya. Sibuk
memotret, memposting, potret lagi, posting lagi. Kuota? Tak ada masalah. Difasilitasi
wifi yang lancar jaya dari Horison. Maka tak ada kendala teknis, Alhamdulillah…
Acara yang dihadiri 10 Club fotografi, 30 Pusat informasi
kesehatan Remaja, juga 50 orang dari komunitas blogger ini menjadi kesibukan
yang menggembirakan. Ada lomba tweetpic juga. Kau bisa bayangkan Teman, betapa
sibuknya peserta di sini. Mendengarkan pembicara, juga mengikuti kompetisi di
tempat. Sepertinya kami adalah makhluk luar biasa kala itu. Hasilnya tentu mencengangkan.
Informasi di dapat, juga kesempatan menjadi pemenang. Tapi ada satu hal yang
sungguh menohok ketika itu. Pemateri menyiarkan tentang kedekatan keluarga. Bahwa
hal yang terpenting adalah keluarga. Nilai dalam keluarga adalah yang tertinggi
dibanding gadged. Beliau Deputi KSPK, Ibu Ambar Rahayu, M. M., juga menegaskan
tentang perilaku beberapa peserta yang sejak tadi hanya sibuk memegang gadged. Sedikit
sekali interaksi dengan teman di sampingnya. Aku mendongak. Benar juga. Tapi,
kami dalam tugas, Bu. Ingin sampaikan demikian. Namun tak jadi masalah bagiku. Aku
hentikan menggunakan smart phone. Ingin fokus mendengarkan pemaparan beliau.
Intinya tentu saja, harus ada perencanaan dalam keluarga. Termasuk
dalam kelahiran bayi. Penekanannya adalah dua anak cukup. Agar pembiayaan untuk
menghidupi kebutuhan anak tercukupi. Oke, namanya juga pemaparan demikian,
disajikan pada banyak orang tentu ada yang pro dan kontra. Bagaimana denganmu? Aku
tergelitik dengan pernyataan temanku: iya, dua anak cukup. Dua anak laki - laki
dan dua anak perempuan. Hmm… bagus juga. Terus ada lagi: Dua anak awalnya,
selanjutnya terserah anda. Ini juga bagus. Bagaimana pendapat ini: Banyak anak,
banyak rezeki? Ada juga benarnya. Sebagai manusia yang selalu bergejolak, yang
paling penting adalah pendewasaan diri. Dengan dewasanya diri, tentu bijak pula
pemahaman. So, tak perlu mencemaskan perihal ini. Mereka sudah punya pengaturan
yang baik dalam keluarga masing - masing. Jika masih ada yang berantakan dalam
mengatur rumah tangga, maka sesungguhnya mereka belum dewasa.
Perjalanan hidup manusia berputar seperti roda. Suatu saat akan berhenti, bila telah tiba di tujuan. Namun, adakalanya roda itupun berhenti karena hambatan. Hidup beserta masalah adalah lumrah. Memang demikian adanya. Hidup tanpa masalah mungkin juga ada. Akan tetapi, itulah masalahnya, mengapa bisa tidak ada masalah? Normalkah?
Maka kembali pada bagaimana kita menyikapi. Terbelit dalam kerumitan, pikirkanlah solusi; bukan kesulitannya. Karena hal ini akan menjelma beban.
Serahkan pada sang Penguasa semesta, karena Allah swt maha berkehendak. Entah bagaimana penyelesaiannya, terkadang tak pernah sedikitpun terbayang dalam pikiran. Lantas untuk apa lagi ragu? Bila tak sanggup membina diri, bersama iman dan taqwa padaNya, tunggulah kebinasaan itu dari jalan yang tak disangka -sangka.