Selasa, 16 Januari 2018

Setangkai Diksi di Bakso Soni


-->
Desma Hari Yanti
Kupersembahkan karya ini untuk sahabat – sahabatku di kelas puisi FLP Lampung. Terinspirasi oleh kelas puisi tanggal 22 februari 2009, di bakso Soni.
“ Kodrat kita adalah ini. Dianggap mati bagi mereka yang merasa hidup. Begitu pasrah akan tugas yang diemban. Sejujurnya, gua telah sungguh letih.”
Sudahlah, untuk apa kau berceloteh yang sama setiap pagi. Dan malam nanti kau akan merasa letih dan terus latih.”
“ Lu lihat, si Rio. Dari tadi wajahnya terlipat – lipat. Apa karena baru satu pengunjung yang datang? Dia kan ga’ bakal rugi. Justru dia ga’ perlu susah – susah meladeni pembeli. Ga’ perlu repot nyuci mangkok dan gelas.”
“ Bukan karena itu. Tapi semalam adiknya nangis – nangis minta dibeliin HP, yang ada kameranya lagi. Dia kan belum gajian. Lagipula, gajinya ga’ cukup untuk beli itu HP.”
“ Lu jangan sok tahu!”
“ Aku dengar tadi si Rio cerita sama si Amar.”
“ Kasihan juga si Rio. Begitulah teknologi, semakin canggih malah semakin bikin repot.”
“ sudahlah, tuh ada pengunjung lagi. Tiga bidadari euy! Hey, mereka ke arah kita. Aku yakin, mereka pasti akan memilih duduk dekatku.”
“ Ah, elu memang selalu beruntung. Posisilu sangat menguntungkan. Andai gua bisa berpindah.”
“ Sudahlah, tuh ada bidadari lagi yang datang.’
“ Ah, dia duduk di dekat lu lagi.”
“ He…he… tenang, kau lihat seorang bapak yang berwibawa itu? Ia menuju ke arahmu.”
“ Alhamdulillah…Akhirnya, ada juga yang menyandarkan tangannya padaku. Untung Rio sudah melap ku dengan bersih. Jadi aku tak mengecewakan pengunjung. Btw, mereka mau ngapain, ya?”
“ Entahlah, kasihan si rio dari tadi bolak – balik nanyain mereka mau pesan apa, jawaban mereka selalu nanti. Masih nunggu teman. Wajah si Rio makin mengkerut, tuh.”
Beberapa menit kemudian, muncullah seorang bidadari lagi. Akhirnya bidadari itu pun memesan bakso, es jeruk, dan jus melon. Sembari menunggu, mereka mulai berdiskusi.
“ Apa sih yang mereka kerjain. Ga’ guna kale.. merangkai kata yang ga’ jelas. Buang – buang waktu aja! Males deh gua.”
“ Ssst.. jangan berisik. Coba kau salami makna dari tiap kata – kata itu. Begitu dalam dan menyentuh.
Melukis Malam*
Ini malam ingin kulukis malam
Lewat sapuan halus perlahan
Pada kanvas putih
Lewat warna aku menjadikannya berbagai makna
Biru, kulihat langit begitu lembut merayu awan
Putihpun hadir memberi jawaban
Kuning keemasan adalah restu bulan
Orkestrasi serangga malam
Ciptakan semarak pesona malam
Hitam, di sudut lain
Seorang putri menangis
Linang air matanya adalah bahagia
Sebab ini sudah takdirnya
Ini adalah puisi terbaik yang pernah kudengar.”
“ Karena di sini emang ga’ pernah ada yang baca puisi sebelumnya, kan? Di sini orang cuma isi perut, hilangin haus, ngobrolin bisnis, ngegosip. Ah, gua jadi buka aib orang!”
“ Makanya, lebih baik kau pahami bait – bait yang mereka ucapkan.
Menunggu Pulang**
Kabut menyelimuti ragu
Menyebar pilu pada satu rindu
Menepis rasa yang telah diabaikan
Pada jiwa yang hancur berantakan
Biaralah raga, semakin asing pada dunia
Agar tak banyak meminta
Biarlah ruh, kian kaku pada rangka
Agar tak lagi sayang meninggalkannya
Bila kelak berpulang
Aduhai, ternyata manusia juga memikirkan matinya, telah berangsur mempersiapkan kepulangannya dengan mengasingkan diri dari dunia. Apakah kita juga akan mati kelak?”
“ Elu ini, kitakan emang benda mati!”
“ Begitukah? Tapi mengapa kita bisa mendengarkan, melihat, dan mengerti mereka? Dan mengapa kita bisa memahami kata – kata itu? Pernahkah kau pikirkan?”
“ Ah, sudahlah. Elu ini sudah teracuni puisi. Tuh lihat, seorang bidadari pergi. Mau le undangan nikahan.”
“ Aduhai, sebentar lagi mereka pasti beranjak. Padahal kata – kata mereka telah melekat di sini.”
“ Pliz…deh, elu jadi ketularan manusia – manusia itu.”
“ Duhai para pujangga, kapan lagi kalian tiba, aku ingin sambut penuh rasa cinta. Rajutan bait – bait kata, yang bertabur makna. Kalian dating memberi warna. Dalam ruang yang ini – ini saja. Kalian menjadi pembeda. Dari pengunjung – pengunjung lainnya, yang pernah menumpahkan sambal dipermukaanku, menyisakan percik kuah bakso, atau jus – jus aneka rasa.
Kalian meninggalkan luka, yang luka itu ada pada kalian penawarnya. Meskipun kalian berkelana dan mengabaikanku suatu ketika di tempat penuh romantika, aku akan tetap menorehkan kalian dalam cerita, bahwa di sudut ini, di dua meja ini, enam orang pujangga pernah singgah untuk berbagi kata.”
Kampung Baru; sabtu, 4 April 2009
* puisi karya pak Edi
** puisi karya Desma

Setangkai Diksi di Bakso Soni


-->
Desma Hari Yanti

Kupersembahkan karya ini untuk sahabat – sahabatku di kelas puisi FLP Lampung. Terinspirasi oleh kelas puisi tanggal 22 februari 2009, di bakso Soni.

“ Kodrat kita adalah ini. Dianggap mati bagi mereka yang merasa hidup. Begitu pasrah akan tugas yang diemban. Sejujurnya, gua telah sungguh letih.”
Sudahlah, untuk apa kau berceloteh yang sama setiap pagi. Dan malam nanti kau akan merasa letih dan terus latih.”
“ Lu lihat, si Rio. Dari tadi wajahnya terlipat – lipat. Apa karena baru satu pengunjung yang datang? Dia kan ga’ bakal rugi. Justru dia ga’ perlu susah – susah meladeni pembeli. Ga’ perlu repot nyuci mangkok dan gelas.”
“ Bukan karena itu. Tapi semalam adiknya nangis – nangis minta dibeliin HP, yang ada kameranya lagi. Dia kan belum gajian. Lagipula, gajinya ga’ cukup untuk beli itu HP.”
“ Lu jangan sok tahu!”
“ Aku dengar tadi si Rio cerita sama si Amar.”
“ Kasihan juga si Rio. Begitulah teknologi, semakin canggih malah semakin bikin repot.”
“ sudahlah, tuh ada pengunjung lagi. Tiga bidadari euy! Hey, mereka ke arah kita. Aku yakin, mereka pasti akan memilih duduk dekatku.”
“ Ah, elu memang selalu beruntung. Posisilu sangat menguntungkan. Andai gua bisa berpindah.”
“ Sudahlah, tuh ada bidadari lagi yang datang.’
“ Ah, dia duduk di dekat lu lagi.”
“ He…he… tenang, kau lihat seorang bapak yang berwibawa itu? Ia menuju ke arahmu.”
“ Alhamdulillah…Akhirnya, ada juga yang menyandarkan tangannya padaku. Untung Rio sudah melap ku dengan bersih. Jadi aku tak mengecewakan pengunjung. Btw, mereka mau ngapain, ya?”
“ Entahlah, kasihan si rio dari tadi bolak – balik nanyain mereka mau pesan apa, jawaban mereka selalu nanti. Masih nunggu teman. Wajah si Rio makin mengkerut, tuh.”
Beberapa menit kemudian, muncullah seorang bidadari lagi. Akhirnya bidadari itu pun memesan bakso, es jeruk, dan jus melon. Sembari menunggu, mereka mulai berdiskusi.
“ Apa sih yang mereka kerjain. Ga’ guna kale.. merangkai kata yang ga’ jelas. Buang – buang waktu aja! Males deh gua.”
“ Ssst.. jangan berisik. Coba kau salami makna dari tiap kata – kata itu. Begitu dalam dan menyentuh.

Melukis Malam*
Ini malam ingin kulukis malam
Lewat sapuan halus perlahan
Pada kanvas putih
Lewat warna aku menjadikannya berbagai makna
Biru, kulihat langit begitu lembut merayu awan
Putihpun hadir memberi jawaban
Kuning keemasan adalah restu bulan
Orkestrasi serangga malam
Ciptakan semarak pesona malam
Hitam, di sudut lain
Seorang putri menangis
Linang air matanya adalah bahagia
Sebab ini sudah takdirnya
Ini adalah puisi terbaik yang pernah kudengar.”

“ Karena di sini emang ga’ pernah ada yang baca puisi sebelumnya, kan? Di sini orang cuma isi perut, hilangin haus, ngobrolin bisnis, ngegosip. Ah, gua jadi buka aib orang!”
“ Makanya, lebih baik kau pahami bait – bait yang mereka ucapkan.

Menunggu Pulang**
Kabut menyelimuti ragu
Menyebar pilu pada satu rindu
Menepis rasa yang telah diabaikan
Pada jiwa yang hancur berantakan
Biaralah raga, semakin asing pada dunia
Agar tak banyak meminta
Biarlah ruh, kian kaku pada rangka
Agar tak lagi sayang meninggalkannya
Bila kelak berpulang

Aduhai, ternyata manusia juga memikirkan matinya, telah berangsur mempersiapkan kepulangannya dengan mengasingkan diri dari dunia. Apakah kita juga akan mati kelak?”
“ Elu ini, kitakan emang benda mati!”
“ Begitukah? Tapi mengapa kita bisa mendengarkan, melihat, dan mengerti mereka? Dan mengapa kita bisa memahami kata – kata itu? Pernahkah kau pikirkan?”
“ Ah, sudahlah. Elu ini sudah teracuni puisi. Tuh lihat, seorang bidadari pergi. Mau le undangan nikahan.”
“ Aduhai, sebentar lagi mereka pasti beranjak. Padahal kata – kata mereka telah melekat di sini.”
“ Pliz…deh, elu jadi ketularan manusia – manusia itu.”
“ Duhai para pujangga, kapan lagi kalian tiba, aku ingin sambut penuh rasa cinta. Rajutan bait – bait kata, yang bertabur makna. Kalian dating memberi warna. Dalam ruang yang ini – ini saja. Kalian menjadi pembeda. Dari pengunjung – pengunjung lainnya, yang pernah menumpahkan sambal dipermukaanku, menyisakan percik kuah bakso, atau jus – jus aneka rasa.
Kalian meninggalkan luka, yang luka itu ada pada kalian penawarnya. Meskipun kalian berkelana dan mengabaikanku suatu ketika di tempat penuh romantika, aku akan tetap menorehkan kalian dalam cerita, bahwa di sudut ini, di dua meja ini, enam orang pujangga pernah singgah untuk berbagi kata.”

Kampung Baru; sabtu, 4 April 2009

* puisi karya pak Edi
** puisi karya Desma

TEACHING READING COMPREHENSION THROUGH COOPERATIVE LEARNING BY USING THINK – PAIR – SHARE TECHNIQUE AT SMAN 1 BANDAR SRIBHAWONO LAMPUNG TIMUR


-->
By
DESMA HARI YANTI

SMA curriculum states that reading was focused on comprehending certain texts. In order to get information from the text, the students should comprehend the text, and they must answer the questions related to the text. Ironically, they were lazy to read long text. Beside that, their lack of vocabulary mastery limited their comprehension. So, the teacher should be creative in choosing certain technique in teaching reading in the class. 

Cooperative Learning can encourage the students to be more responsible to their duty. Every students have crucial contribution for the success of their own groups. This responsibility makes their group working better. Five elements of Cooperative Learning can support the students’ improvement in order to finish their duty (Positive interdependency, Face-to-face interaction, Individual and group accountability, Interpersonal and small-group skills, and Group Processing).

Think – Pair – Share (TPS) technique was applied in this research in order to know the increase of students’ reading comprehension achievement. She used two classes. One class was as an experimental class (X1, used TPS technique), and one class was as a control class (X2, used Discussion, the ordinary teacher’s technique), in SMAN 1 Bandar Sribhawono, Lampung Timur. The material was focused on Narrative text. The treatment was done in two meetings, in both of classes. Instrument used in this research was objective tests which were administered in pretest and posttest. The data gained from this research were statistically analyzed by using Independent T – test through SPSS 10.0.

The result of the research showed that there was no significant difference of students’ reading comprehension achievement between those taught through Think – Pair - Share (TPS) and those taught through Discussion. The value of two tail significant was p = 0.164. The mean of the two classes decreased after the treatment. Although there was no significant increase of the students’ reading comprehension achievement in both of classes, the students’ results in the experimental class was better than in the control class. It could be seen from the difference of the students’ total decrease. The experimental class total decrease was 0,24 while the control class was 0,32.

After applying Think – Pair – Share (TPS) technique in the experimental class, there was no significant increase of the students’ reading comprehension achievement. The hypothesis test also showed that the value of two tail significant was p = 0.926. So, the Ho was accepted. It could be concluded that teaching reading through Cooperative Learning using TPS technique did not increase students’ reading comprehension achievement in this school.

Key words: reading comprehension, cooperative learning, think – pair – share.

Surat Cinta Untuk Kartini





Habis Gelap terbitlah Terang, membaca judul ini saja, semua pembaca sudah paham kemana arah pembicaraan. Perjalanan seorang kartini, siapalah yang tak mengetahui. Dari surat - surat yang telah ia tuliskan, membawa warna baru bagi wanita Indonesia. Ada perubahan yang tak pernah terbayangkan, bahkan berimbas hingga kini. Seorang wanita akhirnya memiliki kesempatan juga untuk mengenyam pendidikan. Sehingga kemuliaan seorang wanita menjadi gemilang dengan kecerdasan keilmuan yang dimiliki. Seperti itulah wanita Indonesia kini. Diawali kegigihan seorang R. A. Kartini, perubahan berjalan dengan sendirinya. Merambat, menyebar ke seluruh negeri Indonesia.

Surat Cinta Untuk Kartini, adalah film yang menceritakan tentang perjuangan Kartini di masa beliau. Hanya sudut pandang yang diambil kali ini berbeda. Membuktikan kreatifitas yang tinggi. Jika diambil dari sudut pandang yang sudah - sudah, seperti sejarah yang telah tersampaikan di bangku - bangku sekolah, akan terasa bosan. Namun sudut pandang yang berbeda menjadikan film ini istimewa. Kisah fiktif, namun tidak menutup kemungkinan hal semacam ini terjadi. Kita tidak tahu kisah di masa itu. Terlebih pada film ini juga diberikan gambaran bahwa ada cerita di masa itu. Sepasang kekasih saling berkirim surat. Namun pada akhirnya, mereka tidak menikah. Si wanita malah menikah dengan sang pengantar surat, orang yang ditemuinya setiap hari. 

Penonton digiring untuk berimajinasi, ada kenakalan apa yang akan dimunculkan si penulis cerita? Tapi, sampai akhir film, saya tetap berdecak kagum. Tidak ada sejarah yang dinodai dengan tambahan kisah fiksi. Tidak terjadi cinta yang dilebih - lebihkan antara sang pengantar surat dengan sosok Kartini. Semua berjalan sewajarnya, santun, namun tetap menyisipkan pesan bagi para penonton.

Film ini layak ditonton semua kalangan. Terlebih, ada alur yang maju mundur dalam penyampaian kisahnya. Membuat saya pribadi tidak merasa jenuh. Selalu muncul rasa penasaran, ada kisah apa lagi selanjutnya setelah bagian ini? Surat Cinta Untuk Kartini bisa menjadi alternatif tontonan film sejarah untuk anak didik, meskipun sebaiknya tetap harus ada pendampingan ketika mereka menyaksikan film ini, sebagai asupan informasi agar sejarah yang mereka terima adalah yang benar, dan tidak sekedar secuplik kisah, yang mungkin nilai – nilai luhurnya belum tersampaikan dengan tajam.


Bandarlampung, 17 Januari 2018

Senin, 08 Januari 2018

GURU HEBAT, YANG TAK TERGANTIKAN





JIKA ENGKAU MENGALAMI KESULITAN, MAKA SESUNGGUHNYA ITU JALAN SURGAMU.

Sengaja kalimat pembuka kuhadirkan demikian, agar terbentang di pemikiran, tentang dua hal yang berbeda: KESULITAN dan SURGA. Namun keduanya begitu terkait. Ada catatan yang masih tertohok di benak. Serangkaian pengetahuan yang luar biasa yang kudapatkan di pertemuan ketika itu. Agar tak membias, kemudian terhapus, maka kutuliskan.

Akhir Desember tahun lalu aku berkesempatan mengikuti Musyawarah Kerja Wilayah yang diselenggarakan oleh Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT) Wilayah Lampung. Mendapat kepercayaan untuk terlibat di bidang Humas. Satu bidangku berjumlah empat orang. Bu Indri, Pak Sumarman, Pak Ramzil, dan aku. Sempat kucandai ketika bidang ini presentasi. Bisa dibilang tim Keluarga Berencana, terdiri dari Bapak, Ibu, kakak, dan adik. Berbeda dengan tim yang lain, jumlahnya banyak, bisa membentuk kesebelasan atau lainnya.
Tema dari Mukerwil yang diadakan di Hotel De Green, Bandarlampung (25 sampai dengan 26 Desember 2017) adalah “Tingkatkan Soliditas Menuju Kerja Berkualitas”. Dihadiri oleh Ketua Umum JSIT Indonesia, Mohammad Zahri, M. Pd. Beliau adalah orang yang luar biasa. Materi padat yang beliau sampaikan berjudul Menggerakkan SIT Menuju Efektif dan Bermutu Sehingga Berdaya Saing Global. Berikut ringkas pemaparan dari beliau yang menurutku sangat penting untuk diulas kembali. Dijadikan pengingat dan pembelajaran.

Guru adalah seorang da’i. Kita sudah punya deskripsi masing - masing tentang da’i tentu saja. Dengan kebaikan akhlak, keilmuan, dan juga peran; karena akan menjadi teladan, seorang dai bukanlah jabatan sembarangan. Nah, sudahkah kita sebagai guru demikian? Sebagai gambaran, mari kita jawab dengan penuh keikhlasan. Sudah berapa macam siroh yang kita baca? Adakah yang sudah khatam membaca tafsir? Ada berapa banyak macam tafsir yang kita ketahui? Hal ini seharusnya dikuasai, karena kita adalah dai. Kalau belum dipahami, berarti sesungguhnya masih banyak utang kita terhadap Islam. Ada berapa kumpulan hadist yang pernah dibaca? Ada berapa banyak buku di perpustakaan pribadi kita? Bisa disimpulkan bahwa pijakan utama kita yang lemah. Ada distorsi yang tidak terasa. Sebagai contoh, kita akan kebingungan jika ditanya di tahun Hijriah ke berapa kita lahir. Jangan - jangan, ada juga yang tidak hafal nama - nama bulan Hijriah.

Sungguh berat tugas seorang dai. Ya, sangat berat. Dan begitulah guru. Mengapa berat, karena sesungguhnya menjadi guru adalah jalan tercepat menuju Surga. Tidak mudah memang, karena surga diraih dengan perjuangan. Yang kita hadapi bukan hanya satu generasi, tapi berkelanjutan ke generasi berikutnya. Dari satu generasi akan terus mentransfer ilmu yang diterima. Berkelanjutan, hingga sang guru nanti tiada. Tapi ingat, ini adalah guru seorang da’i. Bukan guru yang sekedar menjadi “Tukang Ngajar”. Setelah kerja minta bayaran. Tambah kerja, tambah lagi bayaran.

Untuk itu, kita harus melakukan lompatan. Hal yang beda dari biasanya. Memerlukan energi yang lebih dari biasanya. Karena kita akan melompat, melewati jalan yang harusnya kita lalui langkah demi langkah. Harus diawali, dan harus berani. Apakah kita bisa kerjakan sendiri perubahan itu? Bisa, tapi sebaiknya ada partner. Sehingga ada yang mengingatkan ketika di tengah perjalanan nanti kita melemah. JANGAN PERNAH TAKUT UNTUK PUNYA IDE. Berani, sangat penting. Jangan hanya: sudahlah, kemudian sudahlah. Tapi, ingat. Kembali luruskan niat di awal. Tekadkan. Tanyakan: adakah kepentingan pribadi dari langkah kita tadi? Jika tidak, berarti aman. Lanjutkan! BUTUH KEBERANIAN UNTUK MELAKUKAN SESUATU.

Selagi belum ada lompatan, dari kondisi kita yang lalu – lalu, maka kita akan terjebak di sana - sana lagi. Perubahan, bukanlah hal ringan. Jika dikerjakan sendiri - sendiri, tidak akan jalan. Jangan merasa paling sengsara. Jangan merasa paling banyak berkorban. Kalau kita bekerja keras, dan terus bekerja keras, serta bertaqwa kepada Allah, inshaaAllah kita bisa. Dan ini pekerjaan seorang dai, bukan seorang “Tukang”. Dari lompatan tersebut, akan bermunculan prestasi - prestasi. Jika ingin berkualitas, mari kembali ke awal. Lihat lagi niat. Perbaiki kembali kesiapan kita untuk melangkah, agar tercipta lompatan. 

HENTI SEJENAK TAK APA, JIKA DENGAN HENTI TADI, KITA BISA MELAKUKAN LOMPATAN, YANG SEHARUSNYA JARAK ITU KITA LINTASI DENGAN BERJALAN.


Bandarlampung, Januari 2018

TERIMAKASIH TELAH SINGGAH

Perjalanan hidup manusia berputar seperti roda. Suatu saat akan berhenti, bila telah tiba di tujuan. Namun, adakalanya roda itupun berhenti karena hambatan. Hidup beserta masalah adalah lumrah. Memang demikian adanya. Hidup tanpa masalah mungkin juga ada. Akan tetapi, itulah masalahnya, mengapa bisa tidak ada masalah? Normalkah?

Maka kembali pada bagaimana kita menyikapi. Terbelit dalam kerumitan, pikirkanlah solusi; bukan kesulitannya. Karena hal ini akan menjelma beban.

Serahkan pada sang Penguasa semesta, karena Allah swt maha berkehendak. Entah bagaimana penyelesaiannya, terkadang tak pernah sedikitpun terbayang dalam pikiran. Lantas untuk apa lagi ragu? Bila tak sanggup membina diri, bersama iman dan taqwa padaNya, tunggulah kebinasaan itu dari jalan yang tak disangka -sangka.




Yang Akan Dibanggakan

Yang Akan Dibanggakan
Menara Siger Lampung