Rabu, 13 Juli 2022

Gedung Baru

 Oleh: Desma Hariyanti 


Perpindahan gedung IBS ke lokasi yang baru. Sungguh menguras energi dan pikiran. Pada akhirnya kami seperti membangun kembali peradaban. Jauh sekali tempatnya. Jika di google map terdeteksinya Hutan. Sungguh sesuatu sekali. Kemarin aku sempat bilang 3 T. Terjauh, Terindah, dan Terpercaya. Haha. 

Tapi hari ini 3 T negatif berubah. Sinyal Wi-Fi sudah ada. 

Covid 19

 Oleh: Desma H.



Perjalanan covid-19 tetap santer. Orang mencoba tak peduli, tapi tetap saja muncul. Sejak Juli 2021 terjangkit, 10 hari kemudian dinyatakan negatif. Namun indra penciuman belum kembali berfungsi. Tepat 40 hari pasca dinyatakan sembuh, aku kembali sesak napas. Kali ini posisi sedang di kampung. Tidak sakit, tidak ada pemicu Asma, tapi langsung sesak napas. Baru mereda di tengah malam. 

Saat itu aku merasa napas yang sulit. Pasrah, dan tetap mengingat Allah. Kemudian aku ambil Al-Qur'an, membacanya dengan tersengal-sengal. Sedangkan Emak menangis. Tak lama, napasku sedikit melanggar. Sekitar pukul setengah 3, baru bisa istirahat. Keesokan harinya info-info orang berpulang kembali marak. Tetangga satu desa, juga info-info di group WA. Setiap kabar kematian muncul, maka ketakutan menyergap. Meskipun jika ditanya ulang, kenapa takut? Yah, karena bekalan yang masih ngepres. 

Sudah lengkap vaksin. Tapi kena juga. Prokes, super rajin dan patuh. Tetap kena. Wallahu'alam. Tapi hikmah dari sakit ini, aku jadi tidak lagi mengonsumsi obat-obatan komia. Empat belas hari dalam covid, isolasi mandiri, serta desakan adik-adik yang nakes, memaksaku mengonsumsi obat-obatan. Tujuh butir sekali minum. Namun aku membandel. Yang kuminum hanya 3 butir. Karena, ada obat-obatan tertentu yang memang tidak bisa kukonsumsi. Tempo hari pernah sakit, kemudian minum obat tersebut, efeknya aku linglung. Maka, obat itu kublacklist. 

Ada lagi obat alergi yang memang sudah biasa kukonsumsi. Ketika isoman, efek obat ini cukup mengerikan. Badan tidak bisa digerakkan. Aku tak bisa bangkit dari tempat tidur. Maka, obat ini tidak lagi kukonsumsi, hingga saat ini. Sehingga saat isoman, hanya 3 butir obat yang kuminum. Kalau kata adikku, aku sendiri dokternya. Dosis atur sendiri. Sembari kesal. Kubiarkan saja. Karena badan yang merasakan kita sendiri. Jika terasa tidak baik, kenapa harus dimakan? Semakin ke sini, segalanya berjalan normal. Penciuman tidak balik juga, bahkan sudah 6 bulan pasca sembuh. Tempo hari pernah pulih sebentar, namun hilang kembali. Konsultasi dengan dokter, hasilnya hanya: dilatih terus. Ingin tertawa rasanya. Di meja kerja, perfume, minyak kayu putih, balsam, hand sanitizer, tersedia untuk terapi aroma. Tapi hasilnya sama. 

Satu hal lagi, tempo hari after vaksin, tangan kiriku tidak bisa diangkat. Sungguh tersiksa jika harus memakai pakaian model kaos oblong atau terusan. Sulit. Konsultasi ke dokter, cukup dengan dikompres. Wow... Nggak solutif. Rasa sakitnya benar-benar menghilang setelah 30 hari. 

Setelah covid, kondisi kesehatan makin memburuk. Hampir setiap bulan sakit. Dan di tanggal yang sama. Kemudian tangan yang divaksin selalu sakit duluan. Pekan depannya baru demam, atau asma kambuh. Tapi ini bukan karena Asma. Karena beda sesak napasnya. Yang pasti napas makin pendek. 

Sampai akhirnya Desember kemarin, ketika sedang tidur, tetiba sesak napas. Aku terjaga, mencoba menyamankan diri. Sembuh. Kemudian keesokan harinya kudengar kabar bahwa teman-teman yang terkena long covid pada kambuh. Wah, jadi serem.

Januari awal, info booster vaksin menggila. Seperti biasa di sekolahku, menjadi Wajib. Semua vaksin, terkecuali yang tidak ingin. Setelah Konsultasi dengan dokter, melihat kondisi kesehatan yang belum pulih, saya tidak ikut vaksin. 

Januari akhir, aku sakit. Dengan ciri-ciri yang sama dengan Covid. Adikku langsung mengklaim: covid. Tanpa swab. Kemudian saya ajak berbincang santai. 

"Dek, alat swabnya model baru atau masih sama seperti yang dulu?"

"Sama." Jawabnya lancar. 

"Terus gimana bedain hasilnya orang kena covid yang dulu, delta, atau omicron?"

Dia diam. Nggak bisa jawab. Oke, fixed. Aku tidak swab. Hanya dia berikan obat-obatan, dan dia pasti tahu aku tak akan minum. Tapi hari ke-2 akhirnya aku minum paracetamol. Lebih ngeri lagi, merk obatnya MIRASE. Dalam hati beristighfar. Ampuni aku ya Allah. Aku minum Miras*. Siangnya aku ragu mau minum obat lagi. Maka kepotong 2, hanya minum setengah. Ini adalah kali pertama minum okim setelah selesai Covid. Badanku masih belum bisa menerima obat-obatan. 

Hari ke-3 mulai batuk kering. Tapi masih ada kerasa lendir yang memang harus dikeluarkan. 

TERIMAKASIH TELAH SINGGAH

Perjalanan hidup manusia berputar seperti roda. Suatu saat akan berhenti, bila telah tiba di tujuan. Namun, adakalanya roda itupun berhenti karena hambatan. Hidup beserta masalah adalah lumrah. Memang demikian adanya. Hidup tanpa masalah mungkin juga ada. Akan tetapi, itulah masalahnya, mengapa bisa tidak ada masalah? Normalkah?

Maka kembali pada bagaimana kita menyikapi. Terbelit dalam kerumitan, pikirkanlah solusi; bukan kesulitannya. Karena hal ini akan menjelma beban.

Serahkan pada sang Penguasa semesta, karena Allah swt maha berkehendak. Entah bagaimana penyelesaiannya, terkadang tak pernah sedikitpun terbayang dalam pikiran. Lantas untuk apa lagi ragu? Bila tak sanggup membina diri, bersama iman dan taqwa padaNya, tunggulah kebinasaan itu dari jalan yang tak disangka -sangka.




Yang Akan Dibanggakan

Yang Akan Dibanggakan
Menara Siger Lampung