Lakukanlah perjalanan, agar lebih bijak pandang kita
terhadap kehidupan. Melincahlah, karena untuk memulai perjalanan panjang,
diperlukan satu langkah untuk mengawalinya.
Jika harus mencari waktu terluang untuk melakukan perjalanan
tentu saja akan sangat sulit. Kepadatan rutinitas membuatku sangat sesak jika
harus memikirkannya. Telah dipilih waktu yang ringkas. Libur kenaikan kelas,
bertepatan libur hari raya. Perjalanan menggunakan bus tentu memerlukan waktu
lama. Dua hari satu malam untuk sampai ke sini jika dari Lampung. Namun jika
bertemu macet lalu lintas, tentu bertambah lama.
Akan sangat terlihat perbedaan ketika memasuki perbatasan
Sumatera Barat. Bangunan mulai bertanduk pada atapnya, sungguh bernilai seni
tinggi. Daerah perbukitan seolah menjadi benteng kokoh dari daerah lain. Hijau
segar mengitari. Rimbun dedaun pohon - pohon besar tinggi, menutupi langit. Bus
memecah lorong bertudung dedaun pepohonan. Lereng dan bukit di kanan kiri. Perjalanan
panjang yang melelahkan jadi terobati dengan suguhan alamnya.
Melintasi kelokan tajam menuju tempat yang sudah
kutinggalkan puluhan tahun, kelok yang begitu terkenal di Indonesia. Kelok 44.
Memang sekianlah jumlahnya. Di satu sisi jalan, bertuliskan Asmaul Husna setiap
menemui keloknya. Sungguh warna Islam yang sangat lekat di sini. Mellihat kelok
yang sangat menikung dan menanjak, hanya doa selamat lah yang sepatutnya
diucapkan. Bunyi klakson sebagai penanda, bahwa ada kendaraan dari depan. Harus
tenang dan sabar ketika melintasinya. Juga harus orang yang paham benar dengan
lintasan. Jalan yang sempit, di salah satu sisinya adalah jurang, di sisi lain
adalah dinding perbukitan. Pepohon masih memancang kokoh. Namun tak jadi
penghalang untuk sekedar menikmati keindahan alam. Dari atas, danau maninjau nan
luas menantangku untuk menghampirinya. Di tepian terhiasi oleh keramba -
keramba, usaha penduduk setempat selain bercocok tanam. Mereka memanfaatkan
danau untuk budidaya ikan air tawar. Jika malam hari, lampu - lampu dari setiap
keramba menyiptakan kelap kelip indah. Seperti kepadatan lampu perkotaan yang
di lihat dari ketinggian. Begitu pula ketika memandangi kelok 44 di kala malam,
dari bawah terlihat titik - titik lampu yang menanjak rapi dan indah.
Aku adalah pengagum semesta dengan beragam fenomenanya. Pada
setiap langkah perjalanan, di tempat yang kusinggahi, senantiasa memberi kesan
yang berbeda. Meskipun seorang temanku pernah berkata bahwa langit di manapun
akan sama. Senja, di manapun tetap sama. Ada benarnya. Jika kita melihat dengan
sekejap saja. Namun jika kita bersedia menelusuri, tentu saja semua itu ada
perbedaan. Dari warna, suasana, juga kisah yang tercipta. Itu yang kurasakan.
Setiap orang memiliki kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya. Maka kebebasan
itu diizinkan, namun tetaplah santun. Dengan demikian kita beradab.
Setelah puluhan tahun tak menginjakkan kaki di kampung
halaman, maka di waktu yang terencana sampai juga raga ini mengunjungi negeri asal
para perantau. Apakah yang terjadi di sana? Ketika semua pengelana kembali
pulang, maka ditemuilah rumah yang makin rapuh. Di saat para jalan tanah
teraspal hitam, pepohon besar ditiadakan, rumah - rumah batu ditegakkan,
bangunan kayu kokoh puluhan tahun silam telah lapuk pada sisi tertentu. Itulah
bangunan yang tetap mewarisi cerita para pendahulu. Rumah Gadang.
Tentang sungai yang masih tetap
mengalirkan kejernihan ke seluruh rumah penduduk di kaki gunung, juga bebatuannya
yang tetap licin. Derasnya arus menggoyahkan kaki ketika melintasi. Juga
pepohonan besar yang masih asli, kicau burung bersahutan, desau angin memiliki
lagu sendiri. Melangkah lagi pada daratan tertentu, danau Maninjau biru
memesona. Membentang menantang langit yang biru juga. Panorama yang tak bisa
dimunculkan di tempat lain tentu saja.
Sawah hijau memunculkan harap
pada kehidupan. Gunung pemancang bumi yang mengelilingi, udara sejuk
melengkapi. Daun pohon kelapa berayun, awan - awan turun. Orang - orang
berkumpul di depan rumah. Yang lelaki bekopiah dan bersarung, para wanita
bertutup kepala. Berbincang santai. Kanak - kanak berlarian, berkejaran. Dari
kejauhan suara - suara yang sangat familiar terdengar. Percakapan bahasa Minang
yang khas. Di sini, pada rentang waktu yang sedikit, aku singgahi. Negeri para
perantau, yang memaksa mereka pergi, namun juga mengusik mereka untuk tetap
kembali.
Tulisan ini
adalah tugas dari kelas ngeblog seru #2 bersama Naqiyyah Syam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar