Karya: Emely Zakiya Amanda
Aku memandang angka yang berderet rapi di depanku. Kalender. Beberapa kuberi goresan tipis dengan spidol warna-warni. Menandakan hari-hari yang lalu. Sebentar lagi musim panas datang. Artinya, hujan tidak akan turun pada saat itu. Maksudku, pelangi tidak akan muncul tanpa hujan. Dan, aku benci itu. Warna-warni sesaat yang muncul di langit setelah hujan menjadi kegemaranku. Entahlah, apa yang aku lihat. Namun, warna-warni itu selalu tampak spesial di mataku.
“ Apa yang kau lihat?’’
Aku mendesah pelan
“ Tidak ada.’’
“ Menunggu musim panas? Liburan sekolah?” Ia melipat
kedua tangannya.
Tak berniat menanggapi, aku hanya menggeleng. Sebelum
ia kembali melontarkan pertanyaan, tetes-tetes air hujan jatuh perlahan. Aku tersenyum,
meraih payung, mengembangkannya, berlari. Meninggalkan Sana yang masih sibuk
menduga-duga.
Bau petrichor menyambutku.
Aku menadahkan telapaktangan, menyambut butir-butir hujan yang turun semakin
deras. Bahkan ketika hujan, halaman sekolah benar-benar sepi saat jam istirahat.
Aku menatap langit. Bukan, bukan hujan yang membuatku berlari. Warna-warni
pelangi. Itu saja. Payung bening yang kukenakan membuatku dapat melihat dengan
jelas rerintik hujan yang berjatuhan. Indah. Sebentar lagi warna-warni itu akan
muncul. Benar, warna-warni yang aku tunggu. Warna-warni indah yang menari di
langit cerah bersama hembusan angin.
“ Jadi, itu yang kau tunggu?” Suara itu
mengejutkanku.
Aku menoleh. Seorang gadis sebayaku dengan setelan
kemeja putih dan rok bermotif berdiri tak jauh dariku. Sana.
“ Mm…”. Aku
tak berhenti memandang langit.
Entah apa yang membuatnya berkata padaku bahwa kami
‘teman’, tapi, kurasa tidak ada yang benar-benar memperhatikan hal seperti itu,
mengingat bahwa mereka lebih suka memandangku dengan heran dan berkata bahwa
aku ‘aneh’. Mungkin selama beberapa saat aku hanya akan memandangi warna-warni
indah pelangi. Warna-warni pelangi yang membuatku berlari ke arahnya. Yang
membuatku memandang warna-warninya. Yang membuatku benar-benar terikat dengannya.
*
Belum lama sejak bulan memasuki musim panas. Aku
mengalami ketakutan hebat. Aku paham, aku menemui hal yang sama setiap n.
Namun, kali ini berbeda. Benar-benar berbeda. Selama beberapa hari terakhir aku
hanya berdiam diri di dalam kamar. Menatap keluar jendela. Menunggu
rintik-rintik hujan dan warna-warni kesukaanku. Aku akan mulai menggigit
kuku-kuku jariku atau menarik rembutku helai demi helai jika perasaan khawatir
itu datang. Entahlah, aku hanya khwatir. Khawatir tentang musim panas. Apa
musim panas kali ini akan berjalan lebih lama?
Apa musim panas kali ini akan benar-benar panas? Apa musim panas kali
ini hujan benar-benar tidak akan turun?
Selama beberapa hari pula aku menjalani terapi. Pria
dengan stelan jas putih yang ibuku panggil ‘dokter’ akan menanyaiku beberapa
hal seperti ‘’Apa yang kau rasakan?’’ ,
‘’Apa kau benar-benar bahagia ketika melihat pelangi?’’, ‘’Seberapa besar rasa terobsesimu dengan
pelangi?’’ atau ‘’Apa kau tidak
tertarik dengan hal lain selain pelangi?’’
karna ibuku berkata bahwa tujuanku ke sini adalah menjwab pertanyaan
dokter itu dengan jujur maka aku menjawabnya dengan, ‘’Aku merasa sangat takut’’, ‘’Amat sangat bahagia’’ , ‘’Sangat besar’’ dan, ‘’Tidak ada’’
Ada juga beberapa pertanyaan yang tidak sesuai dengan
apa yang aku rasakan. Seperti, ‘’Apa kau
tidak bisa melakukan apun tanpanya, seperti bersekolah?’’ untuk pertanyaan
seperti itu aku biasanya akan menjawab ‘’Tidak,
saya baik-baik saja. saya hanya benci musim panas.’’
Asperger
syndrome. Suatu ketika,
seusai terapi, ibu menyuruhku untuk keluar lebih dulu. Saat berjalan keluar
ruang terapi, tanpa sadar aku menjatuhkan ponselku, aku kembali untuk
mencarinya ketika sadar bahwa ia tidak ada di tasku. Aku tidak sengaja
mendengar dokter mengatakan itu. Aku tidak dapat berkata-kata ketika melihat
ibu begitu terkjut dan menutup mulut dengan kedua tangannya pada saat itu.
Entah apa maksud ‘asperger syndrome’ itu.
Kenapa ibu begitu terkejut? Apakah ini pertanda buruk? Apalagi ini. Syndrome? Apa aku benar-benar penderita syndrome?
Aku kembali ke rumah. Kini kamarku dipenuhi dengan
barang berwarna-warni. Di dindingnya, sebuah wallpaper pelangi terpampang.
Setumpuk buku mengenai pelangi memenuhi rak bukuku. Shal, baju. Aku juga mulai
mengkombinasinya menjadi warna-warni. Seperti pelangi dan warna-warninya.
Akhir-akhir ini aku kembali melihat pelangi. Dokter
menyarankan agar kami membuat tiruan pelangi. Aku membuat beberapa percobaan
dengan ensiklopedia sebagai
pemandunya. Ayah membuat tiruan pelangi dengan sistem pembiasan cahaya. Ibu
membawakan beberapa canvas dan banyak
cat air. Aku melukis pelangi yang kulihat di atasnya. Menyenangkan.
Aku juga kembali ke sekolah. Ayah mengizinkanku pergi
ke sekolah, ibu juga tak begitu khawatir mengingat dokter mengatakan bahwa
penderita asperger syndrome umumnya
memiliki IQ di atas rata-rata. Ibu membawakan sebuah bola kaca indah dengan
miniatur pelangi di dalamnya. Bentuknya bulat mengkilat, di bagian bawahnya
terdapat tombol kecil. Pelangi di dalam bolanya akan bersinar apabila aku
menekan tombolnya. Awalnya ibu mencoba meyakinkan kepala sekolah bahwa aku
hanya perlu mengikuti pelajaran sains dan
mendalami iklim dan cuaca. Tapi kemudian ibu mengizinkanku hanya
menggeluti satu mata pelajaran karna sekolah tidak mengizinkannya. Ayah
menyuruhku mencari sekolah alam, di sana aku dapat mempelajari cuaca, katanya.
Aku menolaknya, teringat Sana, yang mengatakan bahwa kami adalah ‘teman’. Yah,
setidaknya aku masih memiliki seorang yang dapat di sebut, teman.
Aku menghabiskan waktu istirahatku untuk membaca di
perpustakaan sekolah. Saat ini aku telah mehabiskan sekitar dua baris buku ensiklopedia cuaca dan gejala alam. Kemanapun
itu, aku menggenggam bola kaca pemberian ibu. Aku akan mulai menekan tombol
kecilnya apabila merindukan pelangi.
“ Menarik. Bola kaca yang indah. Kamu suka?” Sana duduk di depanku.
“ Mm..” Aku menatapnya sekilas kemudian kembali
membaca buku.
“ Apa menurutmu menyenangkan melihat pelangi seperti
ini?” Ia menekan tombol kecil di bagian
bawah bola kaca itu.
“ Mm, aku pendrita syndrome. Kau tahu itu sekarang.’’
Aku bergumam pelan sebelum kembali membaca buku di depanku.
“ Apa yang terjadi jika aku memecahkan bola
kacamu?’’ Ia mengangkat tinggi-tinggi bola kaca itu. Bersiap menghempaskanya ke
ubin yang keras.
Aku meliriknya,
“ Aku akan mati.” Kataku datar sebelum kembali menyisir buku besar ensiklopedia sains.
“ Ah..,” Ia meletakan kembali bola kacanya.
PRANGGG..!!!
Belum sempat Sana melanjutkan kata-katanya, sebuah
tangan menyenggol bola kaca pelangiku yang terletak di ujung meja. Bolanya.
Benar-benar pecah. Pelangi, pelangi di dalamnya, pecah.
Aku kacau. Ketika aku menutup mataku, mencoba
menarik nafas, warna-warni itu seperti muncul di depanku, tidak beraturan dan
saling bertabrakan. Tanganku mulai menarik rambut, kini bukan lagi sehelai demi
sehelai. Aku benar-benar kacau.
“ Akan ku tunjukan pelangi yang benar-benar hebat
padamu!’’ Sana mengangkat suaranya saat tanganku hendak menyentuh pecahan kaca
tersbut.
Aku menoleh. Ia mengangguk.
“ Lebih berkilau. dari pelangi.’’
Aku berpikir, apapun yang lebih berkilau dari
pelangi? Otakku sibuk berfikir. Mencari-cari jawaban dari perkataan Sana
sebelumnya. Hanya ada bintang, bulan, dan matahari yang benar-benar bersinar.
Ini waktunya matahari menerangi bumi, jadi tidak mungkin ia akan menunjukan
bulan atau bintang. Tapi, bukankah ia bilang tadi, pelangi?. Ia akan menunjukan
pelangi? Di musim panas?
Aku bangkit. Tanganku meninggalkan pecahan bola kaca
yang berserakan di ubin. Mendekat, mengikuti langkah Sana. Aku tak berkata sepatah katapun selama
berjalan. Aku hanya diam, menunduk. Menatap ubin yang tak berujung, sebelum
langkah sana di depanku berhenti.
“ Di sini. Tempat pelanginya.”
Aku mengangkat kepala. Dan yang ada di depanku
adalah.., pintu ruang kelas?. Apa ia bercanda? Aku hendak menoleh, dan
cepat-cepat bertanya pada Sana. Dengan gerakan secepat kilat, Sana menutup mataku.
“ Akan kubuka, ketika kita memasuki tempat
pelanginya.’’
Aku terdiam. Setelah itu, terdengar suara dar pintu
kelas di depanku. Pintu tua itu biasanya akan mengeluarkan suara berderitnya
apabila seseorang mencoba untuk membuka atau menutupnya. Aku terkesiap.
Orang-orang yang ada di kelas sontak menoleh ke arahku. Setelah Sana
menyingkirkan tanganya dan membiarkan mataku melihat, aku tidak menemukan
pelangi. Tidak ada. Sama sekali. Mereka tersenyum.
Ah, tunggu dulu. Tersenyum?
Sejak kapan mereka tersenyum padaku?
“ Di sini. Di sini tempat pelanginya.” Ia
mengedarkan pandanganya ke seluruh kelas.
“ Memang bukan seperti pelangi yang kau bayangkan.”
Ia mulai berjalan memasuki kelas. Tanpa aba-aba. Aku
mengikutinya. Mungkin semacam reflex, atau apalah itu. kakiku tetap
mengikutinya.
‘’Kepribadian yang berbeda. Dengan warna yang
berbeda. Mengerti, kamu akan melihat kilau di dalam diri mereka hanya ketika
kamu mengerti. Kilau dari setiap warna-warni yang berbeda. Bukankah sesuatu
yang berwarna dan berkilau dalam satu irama adalah pelangi? Warna warni yang
berbeda yang di miliki setiap orang. Kilau istimewa dari setiap warna, keistimewaan
dari dalam diri setiap orang masing-masing, dari setiap sisi tersendiri di
dalam diri mereka. Kamu tak perlu menunggu musim penghujan untuk menjumpai
pelangi. Bahkan ketika badai salju sekalipun, kamu dapat menemui pelangi. Karena
yang kamu butuhkan bukan pelangi yang di atas sana. Tapi warna-warni pelangi
yang ada di sini, pelangi yang ada di dalam diri setiap orang.”
Sana menyelesaikan ucapannya dan berhenti tepat di
depan mejaku. Aku menatap meja yang penuh dengan sticker bertuliskan ‘welcome
back’ di atasnya. Mejaku. Jadi, inikah pelangi yang dimaksud Sana? Warna-warni
indah yang aku butuhkan? Ini kah?
Setetes air jatuh perlahan. Bukan dari langit. Kali
ini tetes air itu jatuh dari mataku. Kilau pelanginya, kilau pelanginya
benar-benar indah. Bersinar, pelanginya bersinar. Kilau hangatnya berhasil
meruntuhkan es paling dingin yang ada dalam diriku. Aku tersenyum. Menatap pelangi
di depanku sekali lagi. Mengusap setetes air yang jatuh ke pipiku. Lalu berani
berkata.
‘’Aku tidak butuh pelangi di langit mendung’’
Catatan:
Petrichor: bau sesaat yang muncul setelah hujan.
Asperger syndrome: syndrome yang menyebabkan
seseorang teramat sangat terobsesi dengan
suatu hal, umumnya penderita tidak tertarik pada hal lain selain hal
yang membuatnya terobsesi, kebanyakan penderita kesulitan dalam berbahasa namun
kebanyakan memiliki IQ di atas rata-rata. Sering di temui pada anak-anak yang
pada umumnya mengidap autisme.
Biodata Penulis:
Emely
Zakia Zalfa Amanda, dilahirkan di Semarang pada 7 April 2003. Putri pertama dari
pasangan Bapak Yunada Wiratama dan Ibu Sri Murwaningsih. Memiliki satu adik
perempuan. Tinggal di Pramuka jl.Musyawarah
11, Bandar Lampung. Amanda duduk di bangku kelas 9 di SMPIT PERMATA BUNDA. Tulisan ini telah terbit di harian Radar Lampung, kolom SMS (Sastra Milik Siswa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar