Berisi peristiwa yang terekam, dan tersajikan dalam sesingkat tulisan. Tak sempurna, karena ingatan miliki batasan. Maka pengikatnya adalah catatan.
Sabtu, 19 Desember 2009
Belajar
"minggu kemarin aku patah hati."
"memang kapan kau jadinya? telah patah hati?"
"desma, patah hati itu, ketika kita berharap, tapi ternyata yang diharapkan itu tak mungkin lagi."
"sakit, atau tertusuk mungkin bahasa lebih tepatnya?"
"ah, elu ini belum pernah ngerasain ya?"
diam saja aku.
"kata Bu Rosita(beliau dosen Bahasa Inggris mata kuliah Drama dan Literature), pembelajaran ada 2 hal. pembelajaran langsung dan tak langsung. kata beliau akan lebih baik bila kita merasakan dari pembelajaran tak langsung."
"maksudmu, aku akan lebih belajar bagaimana rasanya sakit hati itu dari ceritamu tentang sakit hati, daripada aku mengalaminya sendiri?"
"iya, tapi menurut gua, ...bla..bla..dst.."
bagaimana isi dialog itu aku sedikit lupa, hanya sebenarnya yang menusukku adalah:
"bu Rosita pernah bilang seperti itu? di kuliah apa ya?"
"desma, kemana aja lu waktu di kelas. tidur ya?"
"nggak lah, mungkin ingatanku yang terbatas. aku sudah lupa."
sebelumnya sahabatku ini juga pernah bercerita tentang pengalaman dosenku di kelas, dan aku lupa. satu kesadaranku, kemana saja aku selama ini? ternyata aku sudah cukup lama di sini. dan hari - hari yang lalu terlupa saja. kemana aku di 2005 -2007? aku berada di bundaran city dengan cerita yang sudah nyaris lupa pula.
Kamis, 03 Desember 2009
Di Bawah Garis Malam 2
Sedang kita telah menjelma jadi kunang – kunang.
Pada pekat, aroma dedaunan mencucurkan embun dari ujungnya,
Diterima tanah gembur tanpa bahasa.
Kecoklatan, tanah basah menyusupkan kesegaran
Setelah lama gersang berpesan.
Usai hari ini, kita akan menjalani hari dengan sayap.
Seperti yang dimiliki malaikat.
Dan dalam pekat tanpa bintang,
Kita membuyarkan resah penghuni di bawah pijakan manusia.
Serpihkan dulu, seuntai cahaya.
Kita akan hiasi malam – malam selanjutnya,
Dalam kodrat yang sebenarnya.
19 Oktober 2009
Sabtu, 24 Oktober 2009
Di Atas Titian Jahannam
merah hitam pudar warna
sedikit cahaya mencuat - cuat
dari bisikan - bisikan terlihat
sabtu, 24 Oktober 2009
Senin, 12 Oktober 2009
a slice of words
You will not find many inks in order to paint your life, but creating your many problems as some colorful shadows, will realize that exactly, your world is not only black and white.
Minggu, 11 Oktober 2009
Selasa, 11 Agustus 2009
Kelopak Rapuh di Perantauan
Rumah semut menyembul dari deretan paping rapi. Sudah bertahun – tahun dipasang dan akhirnya pagi ini dapat kutelisik jua satu misteri. Mungkin ada hawa panas muncul dari tumpukan tanah merah di FKIP itu. Sehingga para semut berduyun – duyun memutuskan mencari persinggahan yang baru. Pembangunan melesat dalam hitungan detik. Negara berkembang atau mungkin maju sudah sangat tepat untuk dilekatkan kepada negeriku tercinta Indonesia Raya. Namun bagaimana dengan peradaban hati sekumpulan otak – otak yang menghuni kepala – kepala makluk bernama manusia Indonesia? Sangat jauhkah dari peradaban yang mencuatkan pemikiran maju untuk sebuah perbaikan? Atau hanya dalam rangka maju untuk melegalkan kepentingan pribadi dengan menyusupkan nama baru sebagai paradigma hebat, kemudian terekayasa sebagai kepentingan bersama. Aku memerlukan jalan yang tak menipu. Jalan yang tak penuh genangan air keruh saat hujan menetes di setumpuk hunian penduduk, dan juga bukan penduduk. Tapi aku juga memerlukan tanah pendakian untuk aku titi, dalam rangka menyematkan bintang harapan di satu sudut langit. Dan hanya manusia berperasaan saja yang bisa menjumpai sudut langit yang sebenarnya bisa dilirik dari atas genting rumah nyaris roboh. Itu adalah rumah impianku. Yang sudah kuhibahkan kepada rayap – rayap di muka bumi yang telah kehabisan tempat bersembunyi.
Manusia dalam hari tuanya adalah tergopoh – gopoh menjejali jalanan. Melintasi sejajar jalanan aspal bersama asap – asap pagi yang berdansa tarian ramah. Ucapan selamat pagi dipelintir menjadi semangat pagi. Apakah si renta bisa tetap bersemangat sedang ia sebatang kara? Meskipun ilmu di otaknya bercongkol mengalahkan sosok presiden di pemerintahan, namun tetap saja ia diabaikan angin berderai menyambut zaman dan penapak baru kehidupan. Hanya untuk yang muda, ya, hanya untuk yang muda. Yang bisa menjerat langit dengan cita – cita, dan membuat waktu gemetar untuk sekedar berlalu. Hanya untuk yang muda, yang bisa memanah matahari dengan semangat pagi, kemudian membawa kepingannya kepada anak – anak burung kelaparan di atas tiang listrik, kehilangan tempat berteduh. Sang induk menitikkan air mata doa, diantarkan kepada malaikat, sampailah kepada Tuhan, dan Tuhan tersenyum melihat anak muda yang tetap duduk di tepian batu hitam sungai. Air jernih, aliran tenang. Ia asyik menghitung buih yang singgah di betisnya, kemudian mengumpulkan dedaunan kering hanyut di telapak tangannya. Meletakkan serpihan – serpihan hancur itu di atas puncak gunung bisu. Merangkaikan sejenak tulisan arab Allahu Akbar. Dalam keyakinan itu, hanya yang muda, yang mampu. Hanya yang berkeyakinan yang bisa bertahan untuk tetap muda, dan untuk tetap merasakan bahwa semuanya mudah.
09:05 WIB
Jumat, 03 April 2009
Setangkai Diksi di Bakso Soni
Desma Hari Yanti
Kupersembahkan karya ini untuk sahabat – sahabatku di kelas puisi FLP Lampung. Terinspirasi oleh kelas puisi tanggal 22 februari 2009, di bakso Soni.
“ Kodrat kita adalah ini. Dianggap mati bagi mereka yang merasa hidup. Begitu pasrah akan tugas yang diemban. Sejujurnya, gua telah sungguh letih.”
Sudahlah, untuk apa kau berceloteh yang sama setiap pagi. Dan malam nanti kau akan merasa letih dan terus latih.”
“ Lu lihat, si
“ Bukan karena itu. Tapi semalam adiknya nangis – nangis minta dibeliin HP, yang ada kameranya lagi. Dia
“ Lu jangan sok tahu!”
“ Aku dengar tadi si
“ Kasihan juga si
“ sudahlah, tuh ada pengunjung lagi. Tiga bidadari euy! Hey, mereka ke arah kita. Aku yakin, mereka pasti akan memilih duduk dekatku.”
“ Ah, elu memang selalu beruntung. Posisilu sangat menguntungkan. Andai gua bisa berpindah.”
“ Sudahlah, tuh ada bidadari lagi yang datang.’
“ Ah, dia duduk di dekat lu lagi.”
“ He…he… tenang, kau lihat seorang bapak yang berwibawa itu? Ia menuju ke arahmu.”
“ Alhamdulillah…Akhirnya, ada juga yang menyandarkan tangannya padaku. Untung Rio sudah melap ku dengan bersih. Jadi aku tak mengecewakan pengunjung. Btw, mereka mau ngapain, ya?”
“ Entahlah, kasihan si rio dari tadi bolak – balik nanyain mereka mau pesan apa, jawaban mereka selalu nanti. Masih nunggu teman. Wajah si
Beberapa menit kemudian, muncullah seorang bidadari lagi. Akhirnya bidadari itu pun memesan bakso, es jeruk, dan jus melon. Sembari menunggu, mereka mulai berdiskusi.
“ Apa sih yang mereka kerjain. Ga’ guna kale.. merangkai kata yang ga’ jelas. Buang – buang waktu aja! Males deh gua.”
“ Ssst.. jangan berisik. Coba kau salami makna dari tiap kata – kata itu. Begitu dalam dan menyentuh.
Melukis Malam*
Ini malam ingin kulukis malam
Lewat sapuan halus perlahan
Pada kanvas putih
Lewat warna aku menjadikannya berbagai makna
Biru, kulihat langit begitu lembut merayu awan
Putihpun hadir memberi jawaban
Kuning keemasan adalah restu bulan
Orkestrasi serangga malam
Ciptakan semarak pesona malam
Hitam, di sudut lain
Seorang putri menangis
Linang air matanya adalah bahagia
Sebab ini sudah takdirnya
Ini adalah puisi terbaik yang pernah kudengar.”
“ Karena di sini emang ga’ pernah ada yang baca puisi sebelumnya,
“ Makanya, lebih baik kau pahami bait – bait yang mereka ucapkan.
Menunggu Pulang**
Kabut menyelimuti ragu
Menyebar pilu pada satu rindu
Menepis rasa yang telah diabaikan
Pada jiwa yang hancur berantakan
Biaralah raga, semakin asing pada dunia
Agar tak banyak meminta
Biarlah ruh, kian kaku pada rangka
Agar tak lagi sayang meninggalkannya
Bila kelak berpulang
Aduhai, ternyata manusia juga memikirkan matinya, telah berangsur mempersiapkan kepulangannya dengan mengasingkan diri dari dunia. Apakah kita juga akan mati kelak?”
“ Elu ini, kitakan emang benda mati!”
“ Begitukah? Tapi mengapa kita bisa mendengarkan, melihat, dan mengerti mereka? Dan mengapa kita bisa memahami kata – kata itu? Pernahkah kau pikirkan?”
“ Ah, sudahlah. Elu ini sudah teracuni puisi. Tuh lihat, seorang bidadari pergi. Mau le undangan nikahan.”
“ Aduhai, sebentar lagi mereka pasti beranjak. Padahal kata – kata mereka telah melekat di sini.”
“ Pliz…deh, elu jadi ketularan manusia – manusia itu.”
“ Duhai para pujangga, kapan lagi kalian tiba, aku ingin sambut penuh rasa cinta. Rajutan bait – bait kata, yang bertabur makna. Kalian dating memberi warna. Dalam ruang yang ini – ini saja. Kalian menjadi pembeda. Dari pengunjung – pengunjung lainnya, yang pernah menumpahkan sambal dipermukaanku, menyisakan percik kuah bakso, atau jus – jus aneka rasa.
Kalian meninggalkan luka, yang luka itu ada pada kalian penawarnya. Meskipun kalian berkelana dan mengabaikanku suatu ketika di tempat penuh romantika, aku akan tetap menorehkan kalian dalam cerita, bahwa di sudut ini, di dua meja ini, enam orang pujangga pernah singgah untuk berbagi kata.”
Kampung Baru; sabtu, 4 April 2009
* puisi karya pak Edi
** puisi karya Desma
Senin, 09 Februari 2009
Tanda kutip (“…”)
Disekujur ragaku yang rapuh
Skeleton ini sudah terlanjur terburai…
Ada pada sendi – sendinya merintih,
Menjerit, tapi
Tak bersuara
Berteriak, tapi berbisik…
Aku takut, sungguh
Bundaran, 30 Mei 2008. 23: 27 WIB
Kisah diselembar malam
Hanya ada segelintir orang yang memperhatikan,
Bergulirnya bumi menuju peraduan,
Sedikit demi sedikit beranjak menyerpih.
Serpihannya kian membuat bumi kokoh,
menjadi keropos.
Hilang makna,
Dilembar akhir malam ini,
Suara makhluk – makhluk ciptaanNya,
Tiada rela beralih dari penantian,
Terhadap cinta sepanjang masa,
Berkeyakinan akan pertemuan disana..
tak cukup.
Lantas, dilembar malam yang akhir,
Tetap basah dalam sujud, lidah tak lagi kerontang,
Oleh sumpah - serapah.
Sudah berganti dengan sucinya perenungan…
Dilembar terakhir malam…
Bertasbihnya alam,
Dan…
Hilang makna,
Dilembar akhir malam ini,
Lelap, lelap,…
Aku cukup fakir untuk bertemu denganNya…
Astaghfirullah al adziim…
01:01 WIB, 9 Mei 2008; Bandar Lampung
Pahlawan Belia
Riuh, kilatan cahaya kamera begitu marak. Aku hanya tertunduk. Sesekali aku menutup wajah. Bukan karena malu, tapi cahaya itu menyilaukan. Siapa kalian?! Kalian hanya mencuri sensasi yang kuciptakan! Harusnya kupunya hak paten, bahwa berita ini hanya aku yang boleh mempublikasikan. Kalian pikir aku ini apa?! Aku bukan manusia langka yang patut dipertontonkan! Aku ini…
“ Fara, apapun yang terjadi, jangan pernah berlaku konyol. Kau percaya aku, kan? Aku kan kembali. Aku pasti kembali.”
Suaramu begitu dalam terasa.seperti kau masih disisiku. Merasuki pemikiranku, menghapuskan kecurigaanku, dan yang pasti melunturkan rasa rinduku. Aku memang perlu waktu, untuk mencoba meyakini janji. Janji yang menurutmu suci. Tapi, menurutku itu hanya ocehan sampah. Yang kau bungkus sebegitu indah. Kutimang dan kusanjung janji itu dihati. Kupamerkan pada keluargaku dengan bangga. Bahwa hatiku telah dipersunting sosok rupawan, yang tak tertandingi. Dilihat dari segi apapun, ia sempurna. Jangan pandangi wajahnya, karena akan membirukan hari. Dan jangan pernah kalian curi senyumnya satu lirikan saja, karena kalian kan dahaga. Mencari sosoknya perlu jenjang waktu berhari – hari. Sanggupkah bertahan untuk itu? Ya, jangan sampai kalian dengar senandung hatinya, karena kan membuat raga mati suri. Dalam kematian itu, tak akan ditemui jalan kembali kedunia ini. Kalian akan terjebak dan merangkak menuju hadirnya dengan segala pengorbanan, sampai dapat. Ia terlalu populer dikampus, dengan mudah dapat menjerat dan melepaskan.
“ Fara ,waktu yang menjadi saksi. Aku takkan pernah mengecewakanmu. Seetelah apa yang terjadi, yakinlah bahwa ini adalah bukti sucinya hati kita…”
Suci?! Gombal! Suci, menurutmu. Dalam naluriku ini tetap sampah! Busuk! Bau! Apa itu yang kau anggap suci? Dimana kau belajar makna suci? Nafsu yang sedemikian kumuh kau bilang suci? Suci itu sakral maknanya. Suci itu tak ternoda, begitu putih bersih. Jika dibuat tingkatan, maka suci adalah peringkat pertama dari kesekian putih yang ada didunia. Jika kucongkel hati dalam tubuhmu kala itu kuyakin juga kotor. Bukan hanya itu, otakmu juga kotor, pikiranmu juga kotor! Lakumu juga kotor!
Sudahlah! Hentikan menatapku seperti itu! Kalian menganggapku menjijikkan? Aku ini ciptaan Sang Maha! Kalau kalian menghinaku, berarti kalian menghina penciptaku. Kalian tahukan siapa penciptaku? Ya, benar! Penciptaku adalah waktu. Waktu dan dunia yang bergejolak. Lingkungan yang amburadul. Petaka yang ku emban. Janji yang kupertahankan dijiwa yang bersih namun ternoda.
Aku malu, mengatakan Ia adalah Sang Penciptaku. Ia menciptakanku dengan janji, bahwa aku harus mengabdi untuk mendapatkan surga diakhir nanti. Maka aku harus berbudi selama nafasku berhembus. Bijak bukan? Tapi, aku berkhianat. Sepenuh kasih Ia menjagaku dari sebelum janin sampai begini, tapi aku pongah. Aku merasa dunia tak lagi berpenghuni. Seolah Ia menelantarkanku digurun gersang, dalam kehausan dan penuh derita. Aku sudah ucapkan doa, namun Ia abaikan aku! Padahal aku sudah sepenuh harap dalam penantian. Aku terhenyak dikericuhan hari yang hampa. Sampai kutemukan keteduhan pada dirinya yang hadir menentramkan ditengah kehausanku. Ia menerima hatiku yang resah dengan terbuka. Sosoknya mengayomiku. Aku sudah lupakan Dia Sang Maha, yang menaungi jagad raya beserta isinya. Bagiku cerita – cerita cinta padaNya, yang dulu kubanggakan dihadapan khalayak adalah omong kosong. Karena aku tetap saja bertanya, mengapa aku tak berkesudahan memautkan rindu yang tak berbalas? Akhir nanti? Kapan?! Duniaku selama ini berada dalam kungkungan ruang, penuh tumpukan buku – buku tebal, kitab – kitab yang katanya merupakan jalan penerang menuju cintaMu. Aku tetap tak dapatkan.
Sudah kulenyapkan ruang sumpek itu. Kuganti dengan ruang yang benar – benar menggairahkan. Foto – foto mu kupajang dimeja, didinding, disampul buku. Semua ada tentang dirimu. Boneka – boneka lucu, surat dengan syair penyembuh rindu. Sering kubaca ulang saat tengah malam ketika mata sulit terpejam. Menyebut nama dan mengangankanmu, saat lolongan binatang malam menyeruak mengantarkan berita kematian dan membuatku bergidik. Dirimu melengkapi dan menyempurnakanku
Mengapa kalian masih memandangiku? Oh…aku cantik? Ya, aku memang cantik. Apalagi ketika aku masih diawal menjadi mahasiswa. Mereka bilang aku anggun dengan jilbabku. Terlebih senyumku yang menggetarkan hati. Senyum yang telah membuat hati terkapar penuh harap bahwa senyumku akan muncul tersaji untuk mereka. Tapi sayang, senyum ini pun hanya kubingkiskan untuknya. Aduhai, kau telah membuatku ada dan kau pula yang telah membuatku mati.
Terngiang lagi disaat aku begitu layu dihadapanmu. Ditiupan angin pantai yang panas. Kita masih berjalan beriringan. Sesekali rangkulanmu kembali menentramkan.
“ Aku tak mungkin begini terus…”
“ Kau harus bertahan, Fara. Bersabarlah. Setelah aku diterima S2 di Australia, aku akan memboyongmu. Tak peduli orangtuaku dan keluargamu. Kita akan memulai hidup kita, hidup yang baru bersama cinta kita…”
“ Aku tak mungkin menyembunyikan…”
“ Kau tak perlu sembunyikan cinta kita. Ungkapkanlah kejujuran. Toh kita memulai dengan cinta. Kita harus menjaganya dengan cinta. Ia adalah bukti cinta kita.”
Pembohong! Kemana kau saat aku sendiri. Kau bisa berucap cinta. Tapi ia berada dalam ragaku! Aku, tanpa disuruh pun dituntut mencintainya. Andai ia tak berada ditubuhku, bebas aku berkelana mengejarmu kelempengan bumi lain disana. Katamu, menuntut ilmu? Sayangku, aku malu membiarkan tubuh ini membengkak karena cinta kita. Keluargaku mulai bertanya macam – macam. Keluargamu kian memusuhiku. Menyembunyikan keberadaanmu. Menceramahi dengan berjuta nasehat pedih menusuk. Kata mereka: Akhiri saja cinta ini. Dimana jiwa mereka? Kau juga adalah cinta mereka. Apa mereka tega melenyapkanmu? Tidak, kan? Bahkan mereka melindungimu, menyembunyikanmu dari tuntutan tanggung jawab. Kenapa kalian masih menatapku? Kalian kini jijik dengan jilbabku? Barusan aku memakainya, setelah sujudku di sepertiga malam terakhir. Aku baru sadari, setelah ragam peristiwa yang kualami. Sungguhnya aku masih punya hati.
Sayangku, aku telah mengakhiri cinta kita. Setelah perjuangannya menembus dan bertengger dirahimku, bertahan dalam cerca dan gunjingan, dalam hina dan kutukan, dan setelah ia berhasil membuat janji dengan Sang Pencipta dan mendapatkan nyawa, cinta ini pun berhasil keluar merasakan dunia. Tapi aku menelantarkannya, hingga ia menderita. Aku mencintainya. Itu sebab aku takut ia akan menderita. Aku takut ia akan lebih tersiksa didunia yang ganas ini. Aku tak rela cinta suciku mengalami kisah sepertiku. Yang gamang mencari cinta didunia, padahal Sang Maha Pencipta sudah menjanjikan cinta abadi di hari akhir.
Lebih baik ia bersama cinta Sang Maha Pencipta yang takkan mungkin ingkar janji. Melewati tahap – tahap dirahimku, ia adalah pejuang tangguh. Menemui dunia bersama nyawa adalah bukti keperkasaannya. Bagiku, ia adalah pahlawan belia. Memasuki dunia kubur yang gelap sendiripun bukti kepahlawanannya. Ia adalah pahlawan belia yang tak terkalahkan.
Tinggal aku didunia ini. Setelah melepas pahlawan beliaku, sapaan ayah dan bunda menyergap. Mereka tak izinkan aku menyertainya. Mereka melarang aku menusukkan belati dijantung ini, seperti yang kulakukan padanya. Bukankah mati harus dibalas mati? Ayah dan bunda kembali menawarkan cinta Sang Maha Segala. Setelah seluruh jasad teracuni, aku kembali dipersunting cinta Sang Khalik. Aku kembali menemui ruang hampa seperti dulu. Namun tidak bersama tumpukan buku – buku tebalku yang mencerdaskan. Dibalik teralis besi ini aku tersudut, setelah pengakuanku dihadapan mereka usai persidangan yang banyak menarik mata. Bersama makian, hinaan, dan kutukan dari berjuta lidah. Setidaknya aku telah membebaskan pahlawan beliaku dari cerca dunia. Omong kosong, mereka berdalih akan merawat cintaku daripada ditikam. Orang –orang itu berlidah elastis. Kata – kata terlontar semaunya. Mudah ditarik ulur. Aku tak peduli. Hanya Dialah yang maha mengetahui betapa beratnya hati ini mengemban getirnya cinta dalam tubuh. Dia Sang Maha yang begitu bijaksana mengulurkan kembali janjiNya kepada setiap pendosa…
“ Sesungguhnya Aku Maha Pengampun…”
“ Sesungguhnya Aku amatlah dekat…”
Rasanya tak ingin lagi aku menuntut cinta yang lain. Cukuplah bagiku janjiNya. Kuharap ada terluang jalan ampunanku dikehidupan yang masih akan terus kutapaki. Agar ada aku bertemu pahlawan beliaku yang menanti bersamaNya.
Perpustakaan Unila, 18 Juni 2007
Segenggam Abu di Kampung Halaman
Desma Hari Yanti
Setelah melewati jalan mendaki, mobil ini akan memasuki kawasan perkebunan karet. Hijau menyejukkan mata. Setidaknya bisa mengurangi panas terik yang serasa tengah memanggang. Penuh sesak para penumpang. Mobil bermuatan 11 orang dijejali 20 nyawa. Berebut oksigen dengan beberapa balita dan bayi. Jok depan ada 4 penumpang beserta sopir. Begitu pula tiga deret jok di belakang, telah padat dengan 12 orang. Bayi dan balita duduk di pangkuan ibunya masing – masing. Aku sendiri kebagian jatah memangku seorang anak kecil, karena ibunya menggendong bayi. Posisiku terjepit antara si ibu dan seorang wanita yang tertidur. Sungguh posisi yang tak menguntungkan. Tak bisa bergerak. Aku telah banjir keringat. Untuk mengambil saputangan di tasku saja tak bisa. Kalau bukan karena petuah ayah, mungkin aku akan nekat pulang naik motor. Kematian Bintang, tetanggaku, menyisakan trauma orang sekampung. Motornya raib bersama pembunuhnya. Jasadnya diketemukan sudah membusuk dengan usus terburai di tempat pembuangan sampah. Hampir muntah aku mendengar cerita itu. Kajahatan kian meraja, rasa aman menjadi mahal di negeri ini. Rasa nyaman apalagi.
Di depan pabrik Japfa mobil berhenti. Bukan menurunkan penumpang, malah menaikkan penumpang. Laki – laki di depanku turun otomatis. Seorang wanita menggantikan posisinya. Laki – laki tadi bergantung di pintu mobil. “ Dahulukan wanita dan ibu hamil”, masih tetap berlaku di sini. Bau amis menyeruak ke dalam mobil. Tentu dari wanita itu. Pabrik Japfa ini menolah sisa – sisa produksi ikan kaleng menjadi pakan ternak. Spontan aku menutup hidung. Ia hanya membuang muka. Penumpang lain tak begitu peduli. Perutku mulai mual. Bau keringat, bau amis, dan yang lebih menjengkelkan lagi asap rokok dari si sopir, semua berbaur. Memenuhi rongga hidung para penumpang. Perlahan racun – racun itu menyusup ke dalam tubuh – tubuh manusia yang terperangkap dalam sesak. Dalam jangka waktu ke depan, kerusakan generasi adalah suatu yang pasti.
Kawasan gersang telah berganti. Pohon – pohon karet berbaris rapi. Membentuk lorong – lorong tanpa ujung. Tiang – tiangnya adalah batang – batang kokoh, daun – daunnya yang subur memayungi dari sinar sangar matahari. Mobil berhenti. Lima orang turun sekaligus, kemudian ibu dan anak – anaknya. Bebanku berkurang. Dudukpun sudah mulai lapang, meski belum nyaman. Asap rokok masih mengepul. Laju mobil bertambah kencang. Wanita di sebelahku menggeliat.
“ Turun di mana, Mas?” Sambil mengucek matanya.
“ Di Sidorejo, mba’ turun di mana?”
“ Di Pugung Raharjo. Di Unila ambil jurusan apa, Mas?”
“ Kimia.” Jawabku singkat.
Perlahan ku tutupi pin – pin Unila yang tersemat di tasku. Bangga sebenarnya. Hanya aku takut dibilang sombong, mentang – mentang kuliah di Unila. Karena bukan sembarang orang bisa masuk perguruan tinggi negeri ini. Di kampungku saja, hanya aku seorang. Selain itu aku malu juga, karena sudah nyaris enam tahun belum lulus S 1. sedang teman yang seangkatan denganku, ada yang hamper lulus S2.
“ Semester berapa, Mas?”
Gedubrak ! Pertanyaan yang membuatku makin sulit bernapas. Tak ada mendung dan hujan, namun pertanyaan ini lebih menggelegar dibanding petir dan halilintar. Lebih menusuk dibanding tusukan 1000 belati. Dan berpotensi membunuh seperti hujaman panah beracun.
“ Semester akhir.” Jawaban seorang pengecut.
Kupejamkan mata sejenak, mengatur napas agar jangan berhenti. Berharap pertanyaan itu tak mengusikku lagi. Tak ada obrolan. Para penumpang melepas letih. Pabrik – pabrik di kawasan Lampung Timur ini cukup menyerap tenaga kerja. Meskipun dampak limbahnya sangat mengganggu lingkungan. Namun masyarakat tak bisa berbuat apa – apa. Jika pabrik ditutup, mereka akan jadi pengangguran. Hendak makan apa? Sedang lahan tak punya. Maka tak heran jika tiba – tiba muncul maling dadakan, bahkan pengemis dadakan.
“ Lihat, Mas. Sampah di sini makin hari makin numpuk aja! Padahal dulu Cuma tempat sampah kecil. Sekarang malah memenuhi sepanjang jalan. Ga’ langsung dibakar sih! Dasar, orang – orang sekarang pada malas. Kalau begini terus kan bisa menimbulkan penyakit. Sebentar lagi pasti baunya mengganggu orang – orang yang lewat jalan ini.”
Di sisi kiri jalan, sampah telah menumpuk sepanjang 10 meter. Menutupi got – got aliran air.
“ Justru kalau dibakar bisa memperparah global warming, mba’. Lapisan ozon makin berkurang, dan dampaknya lebih parah lagi. Suhu bumi bisa lebih panas dari hari ini.” Komentarku seraya mengusap keringat.
“ Iya, Mas. Bener banget! Harusnya manusia lebih sadar dan bertanggung jawab. Saya pernah baca artikel yang ditulis seorang mahasiswa teknik kimia, tentang pengelolaan sampah. Bagaimana proses pengelolaan sampah itu sehingga bisa menghasilkan gas yang bermanfaat sebagai bahan bakar. Selain itu juga bisa dijadikan pupuk. Cuma, saya bukan orang kuliahan. Saya ga’ tahu bahan – bahan yang diperlukan itu yang seperti apa. Padahal kalau ada yang mengarahkan, saya yakin masyarakat akan mencobanya.”
“ Sebenarnya tidak sulit kok, mba’. Cukup buat lubang besar, kemudian masukkan sampah – sampah organik ke dalam lubang tadi dan tutup dengan plastik besar atau terpal, agar gas metan yang dihasilkan sampah – sampah itu terperangkap. Setelah beberapa hari terpal itu akan mengembang, berarti gas metan sudah terbentuk. Kita tinggal menyiapkan drum tempat penampungan gas metan ini, dan 2 pipa. Satu untuk slang yang menyalurkan gas dari tempat penghasil gas ke drum, dan satu lagi diberi kran dan slang untuk mengalirkan gas ke kompor. Ini yang disebut biogas, mba’.”
“ Mana aku tahu apa itu miogas, metan, organik? Sebaiknya memang ahli – ahli kimia itu terjun langsung. Jadi mereka tahu sampah – sampah mana yang bisa dijadikan pupuk, yang didaur ulang, yang bisa dibuat gas tadi. Kalau sekarang, yang jadi tukang sampah itu orang kere, kadang orang yang udah ringkih, yang ga’ punya ilmu apa – apa selain ngandelin otot. Dan nrimo dengan upah kecil. Di desa saya juga sampah – sampah yang menggunung itu dibakar. Kalau lewat tempat itu, baunya…ampun. Padahal lokasinya dekat pasar. Disana banyak yang jual makanan, sayuran, ikan. Kabayangkan, Mas bahayanya?”
Aku hanya diam. Sesekali mobil berguncang karena jalanan rusak. Padahal belum ada beberapa bulan diperbaiki.
“ Memang seharusnya yang jadi tukang sampah, ya para ahli kimia itu. Biar pengelolaannya baik dan tepat. Untuk apa mereka sekedar ngoceh – ngoceh ngasih ceramah dan teori – teori. Kita ga’ bakal ngerti dengan istilah – istilah orang – orang pinter itu. Syukur – syukur tamat SMA, kadang juga SD sudah berhenti. Lebih baik ilmu mereka itu langsung diterapkan dan bisa bermanfaat untuk lingkungannya, gitu kan, Mas?”
Sekali anggukan untuk mendukung pernyataan wanita itu. Meski di sudut hati aku tergelitik membayangkan para ahli kimia, yang kuliah bertahun – tahun, dengan biaya besar, ternyata jadi tukang sampah dengan gaji kecil. Tapi, memang begitu seharusnya. Jika ingin pengelolaan yang baik, maka harus dihandle oleh yang berkompeten. Benarkah ada yang seperti itu? Semua orang sekolah tinggi – tinggi bertujuan agar kelak bisa hidup senang. Dengan ilmu yang mereka miliki tak perlu kerja susah, tapi bisa hidup mewah. Ayah akan marah besar jika setelah lulus, aku jadi tukang sampah. Keliling kampung dengan gerobak, memunguti sampah – sampah penuh penyakit. Dikerumuni lalat – lalat, bukan para wartawan atau penggemar yang salut dan kagum dengan penemuan baru. Alamak! PR unik untuk generasi pewaris negeri. Wanita itu turun di perempatan Pugung Raharjo, setelah itu naik seorang laki – laki tua. Si calo mendatangi sopir, meminta uang. Si sopir memberi sambil mengumpat. Segala kutukan tertuju pada calo itu.
“ Enak amat dia. Ongkang – ongkang kaki minta duit. Kita ngumpulin dari pagi sampai sore, belum untuk setoran. Biar, pokoknya saya ga’ ikhlas!”
“ Ya, ga’ apa – apa lah, pir. Daripada ribut…” Kata bapak di sampingku.
“ Iya, Pak. Saya Cuma ga’ mau ribut. Bayanginlah, ongkos ke Sidorejo 3000, eh… dia ambil 2000. saya Cuma dapat 1000. apa ngga’ keterlaluan?! Mau protes sama siapa saya ini, kalau ga’ dikasih nanti panjang urusannya.”
Mobil melaju kencang, meninggalkan kutukan pada angin dan malaikat yang setia mencatat. Langit biru masih memayungi bumi. Panas terik menciptakan fatamorgana di aspal. Genangan air di permukaan jalan tak akan pernah dijumpai meskipun telah sampai di tampat awal terlihat. Pohon – pohon telah jarang. Tiang – tiang listrik berdiri pongah, ruko – ruko menjulang di kanan kiri jalan menandaskan pembangunan yang megah. Meskipun di daerah Lampung, rumah panggung sudah tidak ada di sini. Satu kebudayaan masyarakat telah punah. Mereka lebih memilih bangunan modern daripada rumah panggung yang unik. Hanya rumah informasi Taman Purbakala yang tetap kokoh berdiri dalam bentuk panggung, di Pugung Raharjo. Simbol ketegaran yang tak lapuk dimakan zaman.
“ Turun mana, Mas?”
Lamunanku membuyar.
“ Pasar Sidorejo. Bapak turun di mana?”
“ Sama. Ikut kebakar ga’ rumahmu semalam?”
Aku mengerutkan dahi.
“ Kebakar? Kebakar gimana, Pak?”
“ Lho? Kamu ga’ tahu ya?”
Hanya gelengan kepala sebagai jawabanku.
“ Ratusan ruko di sana terbakar semalam. Api baru padam pagi tadi. Toko saya ludes semua. Ga’ ada sisa. Saya ga’ sempat menyelamatkan dagangan. Lha wong rumah saya di pugung. Berita sampai ke saya sudah jam 11 malam…”
Pikiranku melesat pada perbincangan dengan ayah sebulan yang lalu. Tentang keputusan pasar inpres. Semua pemilik pasar tak resmi itu harus segera hengkang tanpa ganti rugi. Kalau mau tinggal di sana harus menebus ruko yang akan didirikan di tanah tersebut, dengan harga tinggi. Tentu masyarakat menolak. Demonstrasi besar – besaran pun terjadi. Aku saja ikut orasi ke balai desa. Membuat tulisan – tulisan protes di karton, menyuarakan kepedihan ratusan warga, melantangkan isak harap yang selama ini tertindas. Akhirnya masyarakat menang kala itu. Pegawai kelurahan hanya bisa pucat dan tertunduk. Wajah merah mereka memendam misteri. Misteri yang menurutku telah terpecahkan hari ini.
Bandarlampung; Sabtu, 10 Januari 2009
Jumat, 23 Januari 2009
Bintang Berkabut di Tanah Lampung
Desma Hari Yanti
Kau tak hadir menyambutku?
Lunglai rangka rapuh. Bertahun – tahun dinding penjara dan jarak memisahkan. Kudapati gubuk reot tempatmu berlabuh telah hampir roboh. Tak tahukah kau hari ini aku bebas? Ah, mungkin kau telah lupa. Siapalah aku ini? Hanya seorang brandal yang banyak omong. Banyak ulah. Pembuat onar.
Pohon jambu biji tinggal ranting berkait. Daunnya jarang, kalah dengan parasit yang menghijau. Sarang – sarang burung menghias juga di percabangan. Ulat – ulat daun bergelantungan. Semut – semut hitam membuat barisan. Batu besar, sisa muntahan krakatau masih tetap di sana. Dulu kita bersandar di bawah naungan rindang daun – daun hijau jambu biji. Memakan buah – buahnya yang manis. Melempar biji – bijinya jauh – jauh, berharap beberapa tahun lagi bertunas. Kita akan menamai jalan ini dengan jalan Jambu. Kau selalu tersenyum. Senyum sangat menawan di wajahmu yang hitam manis. Bulu mata teratur, alis sedang. Kau biasa, sederhana. Namun bagiku kau adalah gelmbang dahsyat, yang mendebarkan jiwa. Gigimu tersimpan rapi dibalik bibir. Lidahmu melenggang sangat jarang. Menyiksaku yang selalu haus. Haus dengan ucapan – ucapan puitis. Kata – kata terangkai romantis. Dari mana kau belajar itu, Bulan? Aduhai, panggilan sayangku untukmu. Meski kau selalu ingin dipanggil Melati. Dan kau tak pernah memanggilku Bintang, meski memang itu namaku. Kau bilang pengagum Hamka, AA Navis, Alisjahbana, sekelompok nama yang baru kukenal di penjara. Aku banyak belajar disana, Bulan. Belajar tentang deretan kata – kata, yang dulu selalu ku cemooh. Adakah tulisan – tulisan itu masih? Ingin aku membacanya lantang. Untuk kuserahkan setangkai melati di pangkuanmu. Mulai hari ini, kuberjanji memanggilmu Melati, bukan Bulan lagi.
Kembangkan sayap, kekar dan lebar
Dan terbanglah, terbanglah,
Terus lurus membubung tinggi
Melampaui gunung memecah mega,
Menjelajah sawang lapang terbentang,
Tempat bintang berkelipan bertanya – tanya
Dan bulan tersenyum sayu – ria
Merenungkan rahasia kegaiban segala*
Kertas lusuh tulisan tanganmu kembali kusimpan. Di hatiku kata – kata ini telah terukir sebagai prasasti. Bagiku, pertemuan denganmu adalah kuasa Tuhan. Bertemunya hati kita adalah kegaiban, sedang perpisahan takkan tergoreskan pada dinding – dinding dunia yang mulai berlubang. Andai waktu sudi kembali, akan kutebas lebih dulu sebelum ia menebasku. Tapi, kekuatan cinta kita tak membuat waktu rela menunggu. Cinta itu hanya pelangi sesaat muncul. Tampaknya menghujam bumi, padahal semu. Bumi tak merasa sakit, langitpun tak kehilangan saat pelangi lenyap. Hanya rasa pedih menyayat di bagian gaib diri kita. Andai saja, aku tak nekat keluar kelas saat laki – laki itu menarik – narikmu, dan kawan – kawan sekelasku tak menghajarnya keroyokan, mungkin pertengkaran antar suku tak akan terjadi.
Kita yang merajut kisah. Kaum muda yang berkiprah. Pertengkaran kecil adalah lumrah. Perebutan kekasih adalah biasa. Tapi kaum tua menganggap beda. Ini aib suku. Orang tuaku punya piil. Sukumu punya kasta. Dan laki – laki itu punya kuasa untuk melemparku ke penjara. Mungkin kau menjalin kisah baru dengannya. Sedang di balik teralis, aku mengabadikan rasa yang terkoyak – koyak masa.
Dan langkah santun itu perlahan mengubur prasangka. Buyar semua kisah – kisah buruk tujuh tahun silam. Sarung bali merah menutup sampai mata kaki. Senteng kuning melilit di pinggang. Kebaya putih brokat yang berlapis. Kau tak pernah membiarkan kulitmu terlihat seperti gadis – gadis Bali kebanyakan. Di keningmu ada butiran beras kuning melekat. Bunga kamboja terselip di telinga. Rambut panjang terikat rapi. Sebelum duduk di sampingku, kau hadirkan senyum tertunduk. Mata kita tak bertemu, namun hati kita telah saling sapa.
“ Ku kira Kau lupa hari ini.”
“ Baru saja aku datang dari Way Lunik. Hari ini Kuningan.”
“ Aku sampai tak tahu hari. Rumahmu hampir roboh kulihat.”
“ Sejak kerusuhan itu, kami pindah ke kampung sebelah. Lebih nyaman memang tinggal di komunitas yang sama. Apa kabarmu, Bli?”
Kau masih memanggilku dengan sebutan itu. Meski artinya kakak, tapi aku sangat risih.
“ Aku makin kurus. Kau sendiri bagaimana?”
“ Akupun makin kurus, Bli…”
Sejenak aku terkekeh. Kau hanya mengulum senyum. Tak satupun gigimu terlihat. Masih tertunduk. Aku tetap kagumi sikapmu. Santun dan sederhana. Di saat para gadis memamerkan tubuhnya, kau menutupinya. Padahal agamaku sangat tegas akan hal ini. Ketika suara wanita melengking dengan gelak tawa, kau hanya menunduk tersenyum. Bagaimana kau bisa memiliki sikap seperti itu, Melatiku?
Angin berhembus semilir. Membawa daun – daun kering jambu biji ke permukaan bumi. Ranting – ranting patahpun makin berantakan di tanah. Namun hati kita tetap tak bisa bohong. Ini hanyalah di lempengan tanah Lampung di akhir Sumatra, bukan di tengah guguran sakura di Jepang sana.
“ Ada daun kering di kepalamu.”
Sigap kau mengambil. Lama kau pandangi. Kau remukkan, daun itupun bertaburan dihembus angin. Ada yang tersisa di telapak tangan. Ada yang berhambur ke pangkuanku. Ada pula yang terjatuh ke tanah, dan ada pula yang mungkin masih menari indah terbawa angin.
“ Seperti cinta kita, Bli. Telah kering dan tak berdaya. Dihembus ujian, kian porak poranda. Meski aku menyiraminya penuh kasih. Tapi benalu lebih menggerogoti. Setiap kita punya cinta. Cinta manusia hanya sampai dunia, ketika sesosok pergi, hanya luka tersisa. Luka karena tiada jumpa. Pedih karena rindu terlarang. Kau punya cinta di atas cinta. Akupun demikian. Aku tak ingin mengubah yakinmu. Akupun tak ingin mengubah yakinku. Dan jangan pernah berkeinginan untuk mengubah yakinmu karena aku.”
Kau berhenti. Kudengar desahan panjang napasmu.
Aku percaya. Kelak kita kembali pada Sang Pencipta. Hanya jalan yang ditempuh masing – masing berbeda. Aku percaya karma. Jika kita menanam baik, kitapun akan menerima yang baik. Jangan pula berharap agar aku mengubah yakinku. Aku keturunan resi. Perbedaan adalah takdir. Maka takdir ini harus diterima. Jalannya sudah ada, tinggal kita menapakinya.”
“ Mungkin takdirmu bersamaku, Melati?”
Kau menoleh ke arahku. Kutangkap mata bulat yang berkaca – kaca. Tetap menyajikan senyum. Baru kali ini kulihat gigi putihmu yang rapi. Kau menggigit bibirmu. Lantas butir – butir kristal meluncur di wajah bersih itu.
“ Mungkin di kehidupan yang lain…”
Ucapmu terisak. Kau tutup wajahmu yang berlinang air mata. Bahumu berguncang.
Menjelang senja kau lambaikan tangan. Melati putih kau terima. Tetap tersenyum meski wajah sembab. Langit jingga disergap malam. Nyamuk – nyamuk melafadzkan dzikir petang. Adzan berkumandang. Langkahku mantap menghadap Tuhan. Melewati rumah – rumah berpagar pura. Aroma dupa menyeruak. Gonggongan hewan berkaki empat mencekam, mendapati orang asing melintasi jalan. Tujuh tahun kutinggalkan kampung ini, ada rongga kosong dalam hidup yang harus segera kuisi. Masih banyak yang harus kuperbaiki.
Satu bintang muncul meskipun langit berkabut. Dingin angin malam kian merajut.
Bandarlampung, 12 Januari 2009
11: 45 WIB
* Dalam Lingkungan Keabadian, karya: S. Takdir Alisjahbana.
TERIMAKASIH TELAH SINGGAH
Maka kembali pada bagaimana kita menyikapi. Terbelit dalam kerumitan, pikirkanlah solusi; bukan kesulitannya. Karena hal ini akan menjelma beban.
Serahkan pada sang Penguasa semesta, karena Allah swt maha berkehendak. Entah bagaimana penyelesaiannya, terkadang tak pernah sedikitpun terbayang dalam pikiran. Lantas untuk apa lagi ragu? Bila tak sanggup membina diri, bersama iman dan taqwa padaNya, tunggulah kebinasaan itu dari jalan yang tak disangka -sangka.