Senin, 09 Februari 2009

Segenggam Abu di Kampung Halaman

Segenggam Abu di Kampung Halaman
Desma Hari Yanti


Setelah melewati jalan mendaki, mobil ini akan memasuki kawasan perkebunan karet. Hijau menyejukkan mata. Setidaknya bisa mengurangi panas terik yang serasa tengah memanggang. Penuh sesak para penumpang. Mobil bermuatan 11 orang dijejali 20 nyawa. Berebut oksigen dengan beberapa balita dan bayi. Jok depan ada 4 penumpang beserta sopir. Begitu pula tiga deret jok di belakang, telah padat dengan 12 orang. Bayi dan balita duduk di pangkuan ibunya masing – masing. Aku sendiri kebagian jatah memangku seorang anak kecil, karena ibunya menggendong bayi. Posisiku terjepit antara si ibu dan seorang wanita yang tertidur. Sungguh posisi yang tak menguntungkan. Tak bisa bergerak. Aku telah banjir keringat. Untuk mengambil saputangan di tasku saja tak bisa. Kalau bukan karena petuah ayah, mungkin aku akan nekat pulang naik motor. Kematian Bintang, tetanggaku, menyisakan trauma orang sekampung. Motornya raib bersama pembunuhnya. Jasadnya diketemukan sudah membusuk dengan usus terburai di tempat pembuangan sampah. Hampir muntah aku mendengar cerita itu. Kajahatan kian meraja, rasa aman menjadi mahal di negeri ini. Rasa nyaman apalagi.

Di depan pabrik Japfa mobil berhenti. Bukan menurunkan penumpang, malah menaikkan penumpang. Laki – laki di depanku turun otomatis. Seorang wanita menggantikan posisinya. Laki – laki tadi bergantung di pintu mobil. “ Dahulukan wanita dan ibu hamil”, masih tetap berlaku di sini. Bau amis menyeruak ke dalam mobil. Tentu dari wanita itu. Pabrik Japfa ini menolah sisa – sisa produksi ikan kaleng menjadi pakan ternak. Spontan aku menutup hidung. Ia hanya membuang muka. Penumpang lain tak begitu peduli. Perutku mulai mual. Bau keringat, bau amis, dan yang lebih menjengkelkan lagi asap rokok dari si sopir, semua berbaur. Memenuhi rongga hidung para penumpang. Perlahan racun – racun itu menyusup ke dalam tubuh – tubuh manusia yang terperangkap dalam sesak. Dalam jangka waktu ke depan, kerusakan generasi adalah suatu yang pasti.

Kawasan gersang telah berganti. Pohon – pohon karet berbaris rapi. Membentuk lorong – lorong tanpa ujung. Tiang – tiangnya adalah batang – batang kokoh, daun – daunnya yang subur memayungi dari sinar sangar matahari. Mobil berhenti. Lima orang turun sekaligus, kemudian ibu dan anak – anaknya. Bebanku berkurang. Dudukpun sudah mulai lapang, meski belum nyaman. Asap rokok masih mengepul. Laju mobil bertambah kencang. Wanita di sebelahku menggeliat.
“ Turun di mana, Mas?” Sambil mengucek matanya.
“ Di Sidorejo, mba’ turun di mana?”
“ Di Pugung Raharjo. Di Unila ambil jurusan apa, Mas?”
“ Kimia.” Jawabku singkat.
Perlahan ku tutupi pin – pin Unila yang tersemat di tasku. Bangga sebenarnya. Hanya aku takut dibilang sombong, mentang – mentang kuliah di Unila. Karena bukan sembarang orang bisa masuk perguruan tinggi negeri ini. Di kampungku saja, hanya aku seorang. Selain itu aku malu juga, karena sudah nyaris enam tahun belum lulus S 1. sedang teman yang seangkatan denganku, ada yang hamper lulus S2.
“ Semester berapa, Mas?”
Gedubrak ! Pertanyaan yang membuatku makin sulit bernapas. Tak ada mendung dan hujan, namun pertanyaan ini lebih menggelegar dibanding petir dan halilintar. Lebih menusuk dibanding tusukan 1000 belati. Dan berpotensi membunuh seperti hujaman panah beracun.
“ Semester akhir.” Jawaban seorang pengecut.
Kupejamkan mata sejenak, mengatur napas agar jangan berhenti. Berharap pertanyaan itu tak mengusikku lagi. Tak ada obrolan. Para penumpang melepas letih. Pabrik – pabrik di kawasan Lampung Timur ini cukup menyerap tenaga kerja. Meskipun dampak limbahnya sangat mengganggu lingkungan. Namun masyarakat tak bisa berbuat apa – apa. Jika pabrik ditutup, mereka akan jadi pengangguran. Hendak makan apa? Sedang lahan tak punya. Maka tak heran jika tiba – tiba muncul maling dadakan, bahkan pengemis dadakan.
“ Lihat, Mas. Sampah di sini makin hari makin numpuk aja! Padahal dulu Cuma tempat sampah kecil. Sekarang malah memenuhi sepanjang jalan. Ga’ langsung dibakar sih! Dasar, orang – orang sekarang pada malas. Kalau begini terus kan bisa menimbulkan penyakit. Sebentar lagi pasti baunya mengganggu orang – orang yang lewat jalan ini.”
Di sisi kiri jalan, sampah telah menumpuk sepanjang 10 meter. Menutupi got – got aliran air.
“ Justru kalau dibakar bisa memperparah global warming, mba’. Lapisan ozon makin berkurang, dan dampaknya lebih parah lagi. Suhu bumi bisa lebih panas dari hari ini.” Komentarku seraya mengusap keringat.
“ Iya, Mas. Bener banget! Harusnya manusia lebih sadar dan bertanggung jawab. Saya pernah baca artikel yang ditulis seorang mahasiswa teknik kimia, tentang pengelolaan sampah. Bagaimana proses pengelolaan sampah itu sehingga bisa menghasilkan gas yang bermanfaat sebagai bahan bakar. Selain itu juga bisa dijadikan pupuk. Cuma, saya bukan orang kuliahan. Saya ga’ tahu bahan – bahan yang diperlukan itu yang seperti apa. Padahal kalau ada yang mengarahkan, saya yakin masyarakat akan mencobanya.”
“ Sebenarnya tidak sulit kok, mba’. Cukup buat lubang besar, kemudian masukkan sampah – sampah organik ke dalam lubang tadi dan tutup dengan plastik besar atau terpal, agar gas metan yang dihasilkan sampah – sampah itu terperangkap. Setelah beberapa hari terpal itu akan mengembang, berarti gas metan sudah terbentuk. Kita tinggal menyiapkan drum tempat penampungan gas metan ini, dan 2 pipa. Satu untuk slang yang menyalurkan gas dari tempat penghasil gas ke drum, dan satu lagi diberi kran dan slang untuk mengalirkan gas ke kompor. Ini yang disebut biogas, mba’.”
“ Mana aku tahu apa itu miogas, metan, organik? Sebaiknya memang ahli – ahli kimia itu terjun langsung. Jadi mereka tahu sampah – sampah mana yang bisa dijadikan pupuk, yang didaur ulang, yang bisa dibuat gas tadi. Kalau sekarang, yang jadi tukang sampah itu orang kere, kadang orang yang udah ringkih, yang ga’ punya ilmu apa – apa selain ngandelin otot. Dan nrimo dengan upah kecil. Di desa saya juga sampah – sampah yang menggunung itu dibakar. Kalau lewat tempat itu, baunya…ampun. Padahal lokasinya dekat pasar. Disana banyak yang jual makanan, sayuran, ikan. Kabayangkan, Mas bahayanya?”
Aku hanya diam. Sesekali mobil berguncang karena jalanan rusak. Padahal belum ada beberapa bulan diperbaiki.
“ Memang seharusnya yang jadi tukang sampah, ya para ahli kimia itu. Biar pengelolaannya baik dan tepat. Untuk apa mereka sekedar ngoceh – ngoceh ngasih ceramah dan teori – teori. Kita ga’ bakal ngerti dengan istilah – istilah orang – orang pinter itu. Syukur – syukur tamat SMA, kadang juga SD sudah berhenti. Lebih baik ilmu mereka itu langsung diterapkan dan bisa bermanfaat untuk lingkungannya, gitu kan, Mas?”
Sekali anggukan untuk mendukung pernyataan wanita itu. Meski di sudut hati aku tergelitik membayangkan para ahli kimia, yang kuliah bertahun – tahun, dengan biaya besar, ternyata jadi tukang sampah dengan gaji kecil. Tapi, memang begitu seharusnya. Jika ingin pengelolaan yang baik, maka harus dihandle oleh yang berkompeten. Benarkah ada yang seperti itu? Semua orang sekolah tinggi – tinggi bertujuan agar kelak bisa hidup senang. Dengan ilmu yang mereka miliki tak perlu kerja susah, tapi bisa hidup mewah. Ayah akan marah besar jika setelah lulus, aku jadi tukang sampah. Keliling kampung dengan gerobak, memunguti sampah – sampah penuh penyakit. Dikerumuni lalat – lalat, bukan para wartawan atau penggemar yang salut dan kagum dengan penemuan baru. Alamak! PR unik untuk generasi pewaris negeri. Wanita itu turun di perempatan Pugung Raharjo, setelah itu naik seorang laki – laki tua. Si calo mendatangi sopir, meminta uang. Si sopir memberi sambil mengumpat. Segala kutukan tertuju pada calo itu.
“ Enak amat dia. Ongkang – ongkang kaki minta duit. Kita ngumpulin dari pagi sampai sore, belum untuk setoran. Biar, pokoknya saya ga’ ikhlas!”
“ Ya, ga’ apa – apa lah, pir. Daripada ribut…” Kata bapak di sampingku.
“ Iya, Pak. Saya Cuma ga’ mau ribut. Bayanginlah, ongkos ke Sidorejo 3000, eh… dia ambil 2000. saya Cuma dapat 1000. apa ngga’ keterlaluan?! Mau protes sama siapa saya ini, kalau ga’ dikasih nanti panjang urusannya.”

Mobil melaju kencang, meninggalkan kutukan pada angin dan malaikat yang setia mencatat. Langit biru masih memayungi bumi. Panas terik menciptakan fatamorgana di aspal. Genangan air di permukaan jalan tak akan pernah dijumpai meskipun telah sampai di tampat awal terlihat. Pohon – pohon telah jarang. Tiang – tiang listrik berdiri pongah, ruko – ruko menjulang di kanan kiri jalan menandaskan pembangunan yang megah. Meskipun di daerah Lampung, rumah panggung sudah tidak ada di sini. Satu kebudayaan masyarakat telah punah. Mereka lebih memilih bangunan modern daripada rumah panggung yang unik. Hanya rumah informasi Taman Purbakala yang tetap kokoh berdiri dalam bentuk panggung, di Pugung Raharjo. Simbol ketegaran yang tak lapuk dimakan zaman.
“ Turun mana, Mas?”
Lamunanku membuyar.
“ Pasar Sidorejo. Bapak turun di mana?”
“ Sama. Ikut kebakar ga’ rumahmu semalam?”
Aku mengerutkan dahi.
“ Kebakar? Kebakar gimana, Pak?”
“ Lho? Kamu ga’ tahu ya?”
Hanya gelengan kepala sebagai jawabanku.
“ Ratusan ruko di sana terbakar semalam. Api baru padam pagi tadi. Toko saya ludes semua. Ga’ ada sisa. Saya ga’ sempat menyelamatkan dagangan. Lha wong rumah saya di pugung. Berita sampai ke saya sudah jam 11 malam…”
Pikiranku melesat pada perbincangan dengan ayah sebulan yang lalu. Tentang keputusan pasar inpres. Semua pemilik pasar tak resmi itu harus segera hengkang tanpa ganti rugi. Kalau mau tinggal di sana harus menebus ruko yang akan didirikan di tanah tersebut, dengan harga tinggi. Tentu masyarakat menolak. Demonstrasi besar – besaran pun terjadi. Aku saja ikut orasi ke balai desa. Membuat tulisan – tulisan protes di karton, menyuarakan kepedihan ratusan warga, melantangkan isak harap yang selama ini tertindas. Akhirnya masyarakat menang kala itu. Pegawai kelurahan hanya bisa pucat dan tertunduk. Wajah merah mereka memendam misteri. Misteri yang menurutku telah terpecahkan hari ini.


Bandarlampung; Sabtu, 10 Januari 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERIMAKASIH TELAH SINGGAH

Perjalanan hidup manusia berputar seperti roda. Suatu saat akan berhenti, bila telah tiba di tujuan. Namun, adakalanya roda itupun berhenti karena hambatan. Hidup beserta masalah adalah lumrah. Memang demikian adanya. Hidup tanpa masalah mungkin juga ada. Akan tetapi, itulah masalahnya, mengapa bisa tidak ada masalah? Normalkah?

Maka kembali pada bagaimana kita menyikapi. Terbelit dalam kerumitan, pikirkanlah solusi; bukan kesulitannya. Karena hal ini akan menjelma beban.

Serahkan pada sang Penguasa semesta, karena Allah swt maha berkehendak. Entah bagaimana penyelesaiannya, terkadang tak pernah sedikitpun terbayang dalam pikiran. Lantas untuk apa lagi ragu? Bila tak sanggup membina diri, bersama iman dan taqwa padaNya, tunggulah kebinasaan itu dari jalan yang tak disangka -sangka.




Yang Akan Dibanggakan

Yang Akan Dibanggakan
Menara Siger Lampung