Senin, 09 Februari 2009

Pahlawan Belia

desma hari yanti


Riuh, kilatan cahaya kamera begitu marak. Aku hanya tertunduk. Sesekali aku menutup wajah. Bukan karena malu, tapi cahaya itu menyilaukan. Siapa kalian?! Kalian hanya mencuri sensasi yang kuciptakan! Harusnya kupunya hak paten, bahwa berita ini hanya aku yang boleh mempublikasikan. Kalian pikir aku ini apa?! Aku bukan manusia langka yang patut dipertontonkan! Aku ini…

“ Fara, apapun yang terjadi, jangan pernah berlaku konyol. Kau percaya aku, kan? Aku kan kembali. Aku pasti kembali.”

Suaramu begitu dalam terasa.seperti kau masih disisiku. Merasuki pemikiranku, menghapuskan kecurigaanku, dan yang pasti melunturkan rasa rinduku. Aku memang perlu waktu, untuk mencoba meyakini janji. Janji yang menurutmu suci. Tapi, menurutku itu hanya ocehan sampah. Yang kau bungkus sebegitu indah. Kutimang dan kusanjung janji itu dihati. Kupamerkan pada keluargaku dengan bangga. Bahwa hatiku telah dipersunting sosok rupawan, yang tak tertandingi. Dilihat dari segi apapun, ia sempurna. Jangan pandangi wajahnya, karena akan membirukan hari. Dan jangan pernah kalian curi senyumnya satu lirikan saja, karena kalian kan dahaga. Mencari sosoknya perlu jenjang waktu berhari – hari. Sanggupkah bertahan untuk itu? Ya, jangan sampai kalian dengar senandung hatinya, karena kan membuat raga mati suri. Dalam kematian itu, tak akan ditemui jalan kembali kedunia ini. Kalian akan terjebak dan merangkak menuju hadirnya dengan segala pengorbanan, sampai dapat. Ia terlalu populer dikampus, dengan mudah dapat menjerat dan melepaskan.

“ Fara ,waktu yang menjadi saksi. Aku takkan pernah mengecewakanmu. Seetelah apa yang terjadi, yakinlah bahwa ini adalah bukti sucinya hati kita…”
Suci?! Gombal! Suci, menurutmu. Dalam naluriku ini tetap sampah! Busuk! Bau! Apa itu yang kau anggap suci? Dimana kau belajar makna suci? Nafsu yang sedemikian kumuh kau bilang suci? Suci itu sakral maknanya. Suci itu tak ternoda, begitu putih bersih. Jika dibuat tingkatan, maka suci adalah peringkat pertama dari kesekian putih yang ada didunia. Jika kucongkel hati dalam tubuhmu kala itu kuyakin juga kotor. Bukan hanya itu, otakmu juga kotor, pikiranmu juga kotor! Lakumu juga kotor!

Sudahlah! Hentikan menatapku seperti itu! Kalian menganggapku menjijikkan? Aku ini ciptaan Sang Maha! Kalau kalian menghinaku, berarti kalian menghina penciptaku. Kalian tahukan siapa penciptaku? Ya, benar! Penciptaku adalah waktu. Waktu dan dunia yang bergejolak. Lingkungan yang amburadul. Petaka yang ku emban. Janji yang kupertahankan dijiwa yang bersih namun ternoda.

Aku malu, mengatakan Ia adalah Sang Penciptaku. Ia menciptakanku dengan janji, bahwa aku harus mengabdi untuk mendapatkan surga diakhir nanti. Maka aku harus berbudi selama nafasku berhembus. Bijak bukan? Tapi, aku berkhianat. Sepenuh kasih Ia menjagaku dari sebelum janin sampai begini, tapi aku pongah. Aku merasa dunia tak lagi berpenghuni. Seolah Ia menelantarkanku digurun gersang, dalam kehausan dan penuh derita. Aku sudah ucapkan doa, namun Ia abaikan aku! Padahal aku sudah sepenuh harap dalam penantian. Aku terhenyak dikericuhan hari yang hampa. Sampai kutemukan keteduhan pada dirinya yang hadir menentramkan ditengah kehausanku. Ia menerima hatiku yang resah dengan terbuka. Sosoknya mengayomiku. Aku sudah lupakan Dia Sang Maha, yang menaungi jagad raya beserta isinya. Bagiku cerita – cerita cinta padaNya, yang dulu kubanggakan dihadapan khalayak adalah omong kosong. Karena aku tetap saja bertanya, mengapa aku tak berkesudahan memautkan rindu yang tak berbalas? Akhir nanti? Kapan?! Duniaku selama ini berada dalam kungkungan ruang, penuh tumpukan buku – buku tebal, kitab – kitab yang katanya merupakan jalan penerang menuju cintaMu. Aku tetap tak dapatkan.
Sudah kulenyapkan ruang sumpek itu. Kuganti dengan ruang yang benar – benar menggairahkan. Foto – foto mu kupajang dimeja, didinding, disampul buku. Semua ada tentang dirimu. Boneka – boneka lucu, surat dengan syair penyembuh rindu. Sering kubaca ulang saat tengah malam ketika mata sulit terpejam. Menyebut nama dan mengangankanmu, saat lolongan binatang malam menyeruak mengantarkan berita kematian dan membuatku bergidik. Dirimu melengkapi dan menyempurnakanku

Mengapa kalian masih memandangiku? Oh…aku cantik? Ya, aku memang cantik. Apalagi ketika aku masih diawal menjadi mahasiswa. Mereka bilang aku anggun dengan jilbabku. Terlebih senyumku yang menggetarkan hati. Senyum yang telah membuat hati terkapar penuh harap bahwa senyumku akan muncul tersaji untuk mereka. Tapi sayang, senyum ini pun hanya kubingkiskan untuknya. Aduhai, kau telah membuatku ada dan kau pula yang telah membuatku mati.
Terngiang lagi disaat aku begitu layu dihadapanmu. Ditiupan angin pantai yang panas. Kita masih berjalan beriringan. Sesekali rangkulanmu kembali menentramkan.
“ Aku tak mungkin begini terus…”
“ Kau harus bertahan, Fara. Bersabarlah. Setelah aku diterima S2 di Australia, aku akan memboyongmu. Tak peduli orangtuaku dan keluargamu. Kita akan memulai hidup kita, hidup yang baru bersama cinta kita…”
“ Aku tak mungkin menyembunyikan…”
“ Kau tak perlu sembunyikan cinta kita. Ungkapkanlah kejujuran. Toh kita memulai dengan cinta. Kita harus menjaganya dengan cinta. Ia adalah bukti cinta kita.”

Pembohong! Kemana kau saat aku sendiri. Kau bisa berucap cinta. Tapi ia berada dalam ragaku! Aku, tanpa disuruh pun dituntut mencintainya. Andai ia tak berada ditubuhku, bebas aku berkelana mengejarmu kelempengan bumi lain disana. Katamu, menuntut ilmu? Sayangku, aku malu membiarkan tubuh ini membengkak karena cinta kita. Keluargaku mulai bertanya macam – macam. Keluargamu kian memusuhiku. Menyembunyikan keberadaanmu. Menceramahi dengan berjuta nasehat pedih menusuk. Kata mereka: Akhiri saja cinta ini. Dimana jiwa mereka? Kau juga adalah cinta mereka. Apa mereka tega melenyapkanmu? Tidak, kan? Bahkan mereka melindungimu, menyembunyikanmu dari tuntutan tanggung jawab. Kenapa kalian masih menatapku? Kalian kini jijik dengan jilbabku? Barusan aku memakainya, setelah sujudku di sepertiga malam terakhir. Aku baru sadari, setelah ragam peristiwa yang kualami. Sungguhnya aku masih punya hati.

Sayangku, aku telah mengakhiri cinta kita. Setelah perjuangannya menembus dan bertengger dirahimku, bertahan dalam cerca dan gunjingan, dalam hina dan kutukan, dan setelah ia berhasil membuat janji dengan Sang Pencipta dan mendapatkan nyawa, cinta ini pun berhasil keluar merasakan dunia. Tapi aku menelantarkannya, hingga ia menderita. Aku mencintainya. Itu sebab aku takut ia akan menderita. Aku takut ia akan lebih tersiksa didunia yang ganas ini. Aku tak rela cinta suciku mengalami kisah sepertiku. Yang gamang mencari cinta didunia, padahal Sang Maha Pencipta sudah menjanjikan cinta abadi di hari akhir.

Lebih baik ia bersama cinta Sang Maha Pencipta yang takkan mungkin ingkar janji. Melewati tahap – tahap dirahimku, ia adalah pejuang tangguh. Menemui dunia bersama nyawa adalah bukti keperkasaannya. Bagiku, ia adalah pahlawan belia. Memasuki dunia kubur yang gelap sendiripun bukti kepahlawanannya. Ia adalah pahlawan belia yang tak terkalahkan.

Tinggal aku didunia ini. Setelah melepas pahlawan beliaku, sapaan ayah dan bunda menyergap. Mereka tak izinkan aku menyertainya. Mereka melarang aku menusukkan belati dijantung ini, seperti yang kulakukan padanya. Bukankah mati harus dibalas mati? Ayah dan bunda kembali menawarkan cinta Sang Maha Segala. Setelah seluruh jasad teracuni, aku kembali dipersunting cinta Sang Khalik. Aku kembali menemui ruang hampa seperti dulu. Namun tidak bersama tumpukan buku – buku tebalku yang mencerdaskan. Dibalik teralis besi ini aku tersudut, setelah pengakuanku dihadapan mereka usai persidangan yang banyak menarik mata. Bersama makian, hinaan, dan kutukan dari berjuta lidah. Setidaknya aku telah membebaskan pahlawan beliaku dari cerca dunia. Omong kosong, mereka berdalih akan merawat cintaku daripada ditikam. Orang –orang itu berlidah elastis. Kata – kata terlontar semaunya. Mudah ditarik ulur. Aku tak peduli. Hanya Dialah yang maha mengetahui betapa beratnya hati ini mengemban getirnya cinta dalam tubuh. Dia Sang Maha yang begitu bijaksana mengulurkan kembali janjiNya kepada setiap pendosa…
“ Sesungguhnya Aku Maha Pengampun…”
“ Sesungguhnya Aku amatlah dekat…”
Rasanya tak ingin lagi aku menuntut cinta yang lain. Cukuplah bagiku janjiNya. Kuharap ada terluang jalan ampunanku dikehidupan yang masih akan terus kutapaki. Agar ada aku bertemu pahlawan beliaku yang menanti bersamaNya.


Perpustakaan Unila, 18 Juni 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERIMAKASIH TELAH SINGGAH

Perjalanan hidup manusia berputar seperti roda. Suatu saat akan berhenti, bila telah tiba di tujuan. Namun, adakalanya roda itupun berhenti karena hambatan. Hidup beserta masalah adalah lumrah. Memang demikian adanya. Hidup tanpa masalah mungkin juga ada. Akan tetapi, itulah masalahnya, mengapa bisa tidak ada masalah? Normalkah?

Maka kembali pada bagaimana kita menyikapi. Terbelit dalam kerumitan, pikirkanlah solusi; bukan kesulitannya. Karena hal ini akan menjelma beban.

Serahkan pada sang Penguasa semesta, karena Allah swt maha berkehendak. Entah bagaimana penyelesaiannya, terkadang tak pernah sedikitpun terbayang dalam pikiran. Lantas untuk apa lagi ragu? Bila tak sanggup membina diri, bersama iman dan taqwa padaNya, tunggulah kebinasaan itu dari jalan yang tak disangka -sangka.




Yang Akan Dibanggakan

Yang Akan Dibanggakan
Menara Siger Lampung