“
Obi! PR! Ayo kerjakan!” Teriak Chika kakakku.
Perkenalkan,
aku Obi. Obi Akroman nama lengkapku. Sekarang berusia 14 tahun. Hobiku adalah
main game. Biasanya teman - teman mengajakku main bola setiap sore. Ah, mereka
tak pernah bosan mengajakku. Dan aku juga tak pernah bosan menolak ajakan
mereka. Mudah saja, kukatakan aku sangat sibuk. Tentu sibuk main game. Kemudian
sosok yang berteriak tadi adalah, kakakku. Ia sangat perhatian dan terkadang
baik. Lebih sering ia seperti monster, yang suka membangunkanku dengan teriakan
yang mengerikan. Bisa membangunkan seisi rumah. Ia tak pernah terlewat untuk
melakukan itu. Aku juga tak pernah terlewat untuk menutup telinga dengan
bantal, jika suara adzan Subuh telah berkumandang. Itu pertanda teriakannya
akan dimulai. Oh, beragam alasan untuk aku menolak terjaga. Semua manusia
sepertinya mengakui bahwa suara adzan Subuh adalah kode, bahwa waktu paling
nikmat untuk tidur telah dimulai. Chika, kakakku itu tak akan tinggal diam. Ia
akan mengguyurku dengan segayung air tanpa basa - basi. Jika sudah sampai pada
tahapan ini, aku harus menyerah.
Daripada
tak bisa tidur karena kasur basah, lebih baik aku terjaga sejenak untuk sholat
Subuh. Tak lama, sekitar lima menit saja. Aku sudah hafal semua bacaan sholat
sejak TK. Kemudian melanjutkan tidur. Jika sudah begini, Chika akan berubah
bentuk menjadi seorang ustadzah. Semua hadits keluar. Hafalan Qurannya juga
langsung berbunyi.
‘
Janganlah menyia - nyiakan waktu, Obi. Jika sudah selesai urusan yang satu,
maka selesaikanlah urusan yang lain, Al Quran surat ke 94 ayat 7.’
Sebenarnya,
saat ini bukanlah usai sholat Subuh. Hari ini libur. Sudah menjadi kebiasaanku
untuk tetap berada di kamar untuk bermain game. Jadi begini, Teman. Aku adalah
seorang gamer sejati. Telah banyak mengikuti kejuaraan game. Memang belum
pernah menjadi juara, tapi aku tetap berusaha. Papa dan Mama sangat mendukung,
karena kata mama, orang yang pintar bermain game itu sebenarnya cerdas. Ia
banyak memiliki strategi - strategi. Perlu pemikiran dan analisa tinggi. Jadi,
kesimpulannya aku bisa bermain game. Apalagi di hari libur. Aku lebih senang
diam di kamar sambil membuka laptop. Sedangkan kakakku lebih sering bermain di
luar rumah bersama teman temannya.
“
Ya, 5 menit lagi!” Jawabku.
“
Terserah lah, kamu kan pintar jadi tak masalah. Tapi besok dikumpul!”
Teriak
Chika lagi. Aku keluar dari kamar sambil membawa buku dan pena, kemudian duduk
di sampingnya. Mulai mengerjakan PR IPA. Tak perlu waktu lama untuk
menyelesaikan kumpulan soal itu. Chika masih bergelut dengan kamus tebal Hasan
Shadili.
“
Ah, sial. Banyak sekali soalnya.” Keluh Chika.
Aku
melirik ke araknya. Lalu berdiri sambil membawa buku ke kamar.
“
Obi, mau ke mana?”
“
Main game.”
“
PR sudah selesai?”
“
Sudah.”
“
Berapa soal?”
“
80. Tenang saja, otakku sangat cemerlang. Apa mau mengecek PRku?”
Ia menggeleng. Kutinggalkan Chika
di ruang tamu. Sering sekali Chika kesal padaku. Karena beragam alasan. Mulai
tak mau makan, malas mandi, bangun kesiangan, dan lain lain. Beberapa kali Chika
menghancurkan laptopku, karena aku terlalu asyik main game. Aku selalu membeli
yang baru. Uangku banyak, warisan dari kakek dan nenek yang telah meninggal.
Dan untuk kali ini sepertinya Chika tak akan membiarkanku membeli laptop yang
baru karena dia telah mencuri uangku di malam hari.
KRIEET...
Chika tampaknya sudah selesai
mengerjakan PR. Aku melirik. CTARR! Laptopku di bantingnya, aku langsung
berdiri lalu meninjunya sekuat mungkin. Chika membalas. Sebenarnya ini
keterlaluan. Tapi aku harus membalasnya, seperti di game. Aku tak ingin
terkalahkan.
“ Ternyata kamu pandai beladiri,
dari mana kamu belajar?” Tanya Chika.
“ Game!” Jawabku singkat.
Kemudian Chika memegang kedua
bahuku dan membenturkannya di kaki kanannya. tiba – tiba…
PSTT JDARR DRRTT!
Laptopku yang tadinya rusak
bergetar mengeluarkan suara. Satu tangan yang besar keluar dari layar laptop
dan menarikku entah kemana.
Aku bangun di tengah rumput
rindang di mana sebuah laptop dan earphone tergeletak di samping. Aku langsung
memakainya dengan senang tanpa mempedulikan siapa pemiliknya. Saat di buka, isi
laptop itu hanya game. Dengan wajah riang aku memainkan salah satu permainan
berjudul “ Point Blank”, tiba - tiba
segerombolan orang membawa pistol besar menembaki. Aku terkejut melihat darah
di sekujur tubuh, tetapi aku tak mati.
Aku tahu cara bermain game ini. Laptop ini adalah kuncinya, aku hanya perlu
duduk diam memainkan game, jika laptop ini hancur diserang musuh. Berakhirlah
game ini. Begitu juga nyawaku di dunia virtual dan dunia asli. Game ini
mempertaruhkan nyawa bagi yang menganggap ini serius. Seketika ada seorang
berbaju hitam mendekatiku.
“ Kamu seorang pemain yang hebat.
Bergabung lah denganku!” Ajaknya sambil mengulurkan tangan.
“ Yosh.. aku Obi.”
“ Senturi.”
***
Setelah 5 tahun berada di game
itu, aku dan Senturi memasuki game level terakhir. Sembari melihat daftar nama
pemain di sana, dari 1637 player hanya tersisa 300 player yang masih hidup. Aku
tahu game ini mempertaruhkan nyawa. Aku sama sekali tak mempedulikannya, karena
aku muak hidup di dunia yang busuk itu. Tapi sekarang berbeda, aku dapat hidup
lebih berwarna di sini. Dan inilah game terakhir yang bisa kumainkan.
Kali ini aku memilih icon di
laptopnya dengan tulisan “ SWORD”, lalu muncul sebuah pedang di tanganku dan
perintah kali ini adalah ‘Bertarung
dengan patner sendiri’. Kami bertarung tidak melalui laptop, melainkan
bertarung manual. Tak ada rasa takut sedikitpun. Aku lihat Senturi sudah siap
dengan pedangnya. Dengan cepat aku menyerang Senturi menggunakan pedang elucidator milik Kirito di anime Sword
Art Online. Hampir tak terlihat gerakannya dan langsung saja terlihat sebuah
pedang menancap di tanah. Aku melirik ke belakang mencari Senturi yang hilang
tiba. Di kejauhan sana Senturi sedang membersihkan tangannya. Aku mendekat.
Tiba - tiba, aku jatuh di arena dengan luka di perut. Aneh, aneh sekali.
Bagaimana mungkin ini terjadi? Kesadaranku belum hilang.
“ Pernahkah kamu melihat kedalam
menu utama? Player terkuat di sana adalah.”
Senturi membuka menu utama dan
mengklik kata ‘play’ dan memperlihatkannya padaku, itu adalah menu yang
memperlihatkan para player terkuat.
“ Kira? Itu, kamu?” Tanyaku
terkejut.
“ Kamu tak akan bisa pergi dari
game ini sebelum aku membunuh mu!”
Senturi sudah siap dengan
pedangnya.
“ Siapa kamu sebenarnya? Siapa
nama samaranmu yang lain?!”
“ Maaf ya, tapi sekarang kita tak
perlu ada rahasia lagi. Ada satu hal yang harus kamu ketahui.”
“ Apa?!”
“ Sebenarnya namaku bukanlah
Senturi ataupun Kira. Aku ini, Chika.”
Dengan cepat Senturi ah… bukan, Chika
mengambil pedang excalibur yang tertancap di tanah. Sepertinya ia berniat
menusuk jantungku. Pedang itu mendekat dan aku seperti terkunci. SLEP!
“ Tak semudah itu, Kakak.”
Dengan berlumuran darah di
tanganku karena menahan pedang excalibur milik Chika alias Senturi, aku
memegang erat pedang itu sampai Chika tak bisa mengambilnya, tanpa ragu aku
menusukan pedan elucidatorku ke jantungnya. Dan selesai sudah Chika yang mulai
menghilang menjadi butiran kristal.
“ Berhasilkah?”
Tiba- tiba sebuah pedang besar
menghantam kakiku, pedih rasanya, secepat kilat aku mengambil pedang milik Chika
yang tergeletak di depannya walau berlumuran darah.
“ Ternyata game ini belum
selesai!”
Alkku sudah lelah. Dengan
menggunakan ‘ skill sword double’ aku memotong kedua kaki monster yang memegang
pedang besar itu. Aneh, bukannya mati, malah jumlah monster itu bertambah
banyak. Berkali - kali aku menyerang monsteri itu tetapi nyawanya bertambah
drastis.
“ NPC? Pasti NPC!” Yakinku dengan
pikiranku yang kelelahan. Tapi dengan cepat monster itu menyerang laptopku dan
selamat tinggal dunia untukku.
***
“ Bangun, Obi! Sudah mau magrib.
Kamu ini keterlaluan sekali. Dari tadi dibangunin, benar - benar tidak bangun
juga.”
“ Senturi! Kamu Senturi!”
“ Senturi? Makanya jangan ngegame
terus. Sudah dibilangin jangan tidur kalau selepas ashar. Bisa linglung. Sana
cepatan mandi. Siap - siap sholat magrib.”
“ Magrib?”
“ Jangan - jangan kamu belum
sholat Ashar?”
Aku mengangguk. Wajahnya berubah.
Sebelum hal yang lebih mengerikan terjadi, cepat - cepat kuberanjak.
“ Obi..!”
Teriakannya terdengar sudah jauh.
Kulihat jam dinding, sudah setengah enam. Kepalaku berdenyut. Memangnya aku
tadi tidur jam berapa? Benar - benar tidak ingat. Berjalan terhuyung menuju
kamar mandi. Tadi sepertinya semua nyata. Aku masih baik - baik saja. Kulihat kalender,
masih 2016. Sungguh perjalanan yang lama. Alhamdulillah, aku masih bisa
kembali. Dari mana saja aku sebenarnya tadi? Nanti kupikirkan.
Bandarlampung, 6 Agustus 2016
Biodata
Penulis
Assalamu’alaikum WR.WB
Hai! Namaku Aishalza Nahdia Al-Kasturi! Aku
dilahirkan di Kotabumi,19 September 2003. Keluargaku dilengkapi oleh Ibu yang
bernama Sriwidarti, Ayah yang bernama M.Kastur dan kakak laki laki bernama
M.Ardan Al-Kasturi aku anak ke-2 dari 2 bersaudara.Maniak Anime dan Manga Jepang.
Hobiku
yang paling utama adalah menggambar selain itu adalah membuat komik,
menulis,membaca komik atau novel, menonton film atau anime, bermain game,
bermain laptop, karena itu aku menjadi minus 5. Cita citaku menjadi Dokter,
hafidzoh,Komikus ,animator,Pengusaha, pelukis, dan masih banyak lagi.Sekarang
aku bersekolah di SMPIT Permata Bunda Islamic Boarding School, kelas 9 Umu
Salamah, makanan dan minuman kesukaan ku terserah aja sih, yang penting halal.
Jika ingin mengenalku lebih dekat Facebook Aishalza Nahdia!
Ini adalah cerpen seorang murid saya, yang telah diterbitkan di Koran Radar Lampung, Minggu, 16 September 2017, kolom Sastra Milik Siswa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar