Bagaimana harimu, Teman - teman? Semoga selalu dalam keadaan
yang baik. Kali ini aku ingin menceritakan sedikit kisahku tentang kopi. Wah,
nampaknya ini akan menjadi angin segar bagi para pencinta kopi. Tapi
sebelumnya, pecinta kopi itu yang seperti apa ya? Apakah para pecinta kopi
adalah para peminum kopi? Dan benarkah para peminum kopi adalah pecinta kopi?
Nah, ini harus dilakukan penelitian khusus. Jangan hanya dilihat dari satu atau
dua sampel. Terlebih lagi kalau sudah membicarakan tentang cinta.
Malam itu, aku diajak oleh teman - teman. Sebenarnya di lain
hari sudah pernah diajakin. Tapi karena masih ada urusan yang harus
diselesaikan, maka tertunda.
Gadis Misterius :
“
Oya, senin malam selasa kalo mau ngikut ngopi miss di kedai kopi pacar hitam..
ana lg program diet minum espresso ^_^ dan sekarang lg efeknya.”
Desma :
“ Kopi pacarku ada ga?”
Gadis Misterius:
“
Soon miss abis akad ^_^”
Ini perbincanganku dengan sang pengajak. Akhirnya di hari
nan tak terduga. Jadi pula aku mengunjungi kedai kopi pacarnya, eh bukan Pacar
Hitam. Lewat jam delapan malam, motor yang kutumpangi melintas. Jalan masih
ramai, tapi memasuki gang PU, tentu sudah tak seberapa. Sembari berbincang di
kendaraan, aku mulai mengamat - amati sekelililng. Jika suatu ketika ke lokasi
sendiri saja, takkan nyasar. Lurus saja masuk Gang PU, setelah agak lama, belok
kanan. Tibalah di lokasi.
Kedai kopi yang lumayan unik. Dinding berwarna hitam, ada
hiasan lukisan di temboknya. Seperti lukisan labirin tampak dari atas. Tak
banyak kudapatkan penjelasan tentang lukisan itu. Lukisan yang satu lagi lebih
unik. Pohon kopi. Pohon kopi yang kita tahu, berbuah kecil - kecil, bukan? Nah,
lukisan yang ini biji kopinya membesar. Sehingga kalau dari pemikiran orang
yang berbeda, nampak beda juga gambarnya. Bahkan aku juga berkomentar bahwa biji
kopinya lebih mirip seperti gambar burger.
Meja terbuat dari drum, dicat merah. Kombinasi apik dengan
tembok, memberi kesan kuat dan tajam. Ada sedikit buku - buku bacaan di rak
kecil pojokan. Terpancang pada dinding. Bukan majalah atau komik tentu saja.
Seolah menyisipkan pesan bahwa para peminum kopi adalah pemikir sejati. Pada
meja tempat membuatnya, ada beberapa toples kecil berisi biji - biji kopi,
telah ditandai pada tempelan kertas untuk pembeda jenisnya. Juga beberapa alat
yang unik. Di sini, biji kopi baru digiling ketika hendak disajikan. Takaran
airnya juga ada ukuran. Bukan perkara sembarangan, Teman. Untuk hasil terbaik,
memang demikianlah proses yang harus dilintasi.
Berkenalan dengan si peracik kopi, namanya Kak Firman.
Ternyata beliau juga seorang penulis kisah perjalanan. Nanti di lain waktu
inshaaAllah kuceritakan juga tentang tulisan beliau. Sempat bingung ketika
ditanya hendak minum kopi apa? Arabica, Espresso, Kerinci? Selama ini aku
selalu minum kopi sachet yang sudah jadi. Takaran kopi, gula, susu dalam satu
kemasan. Tinggal seduh dengan air panas. Jadi deh. Menanggapi pertanyaan
demikian, maka jawaban yang paling bijak adalah kembali dengan pertanyaan.
Alhasil, kopi Arabica tersaji di hadapan. Tenang, kawan. Bagi yang terbiasa
dengan kopi sachet yang rasanya bersahabat, kopi yang tengah terhidang ini akan
menjadi kejutan. Itulah yang kurasakan. Tanpa ada tambahan gula, susu, dan krim.
Rasanya yang tercecap di awal, pahit. Sepahit cintaku padanya. Eits, apalah!
Obrolan santai berlangsung damai. Topik tentang kopi lumayan
menambah wawasan.
Ternyata beliau juga peserta Lacofest (Lampung Coffee Festival)
yang diadakan di Lampung beberapa waktu lalu. Pantas saja, auranya beda.
Terlihat sangat mengusai tentang kopi, dari sejarah, juga cara mereaciknya.
Meskipun dari pengakuannya, belum lama juga beliau mempelajari tentang kopi.
Sesekali tawa tercipta. Bahkan beliau tak sungkan untuk bersenandung bersama
petikan gitar. Lagu - lagu mengalun mewarnai suasana sekitar yang sudah mulai
lengang. Sejak tadi hanya ada satu pengunjung lain yang minta dibuatkan kopi.
Sepi juga, hal inipun diakui oleh kak Firman. Mengapa demikian? Tentu setiap
orang memiliki alasan. Secangkir kopi Rp. 15.000, untuk segala proses dan
hasilnya, menurutku sangatlah lumrah. Tapi bisa saja bagi sebagian orang
lumayan jauh selisihnya jika dibandingkan dengan kopi sachet di kisaran Rp. 2.000.
Itu pilihan.
Kopi pada cangkir hijau masih menantang untuk kuteguk. Rasa
pahit yang sampai ke otak telah lekat. Ada rasa penasaran untuk kembali pada
tegukan selanjutnya, ketika melihat kedua temanku begitu menikmati. Maka
kuteguk lagi, lagi, dan lagi. Memang benar, ada perubahan kesan pada setiap
tegukannya. Untuk kelanjutannya bukan lagi pahit. Ada rasa sepat, biasa saja,
namun tercampur dalam lidah. Sehingga ada kebingungan hendak menyimpulkan
bauran rasa yang dihadirkan kopi ini. Senandung lagu Dona - Dona, muncul. Aku mendengarkan. Sayang sekali, hanya sejenak
untuk kemudian beliau menyudahi. Yah, padahal suara beliau bagus. Bayya,
temanku beralih mengambil gitar, dipetiknya ragu - ragu. Tanpa suara,
sepertinya nyanyian itu khusus untuk hatinya.
Akhirnya aku berhasil menghabiskan secangkir kopi Arabica
racikan Kak Firman. Mayya, seorang temanku lagi, membaui cangkir yang telah
kosong. Ada aroma lain yang baru muncul. Hmm, benar - benar penuh misteri.
Hingga akhir, tetap memancing rasa penasaran. Sempat menebak aromanya, tapi
belum tepat. Jadi semakin ingin untuk belajar.
Sudah dua jam singgah di kedai kopi Pacar Hitam. Jalanan
makin sepi. Para pengelana harus melanjutkan perjalanan. Aku, Bayya, dan Mayya
berpamitan. Kami tinggalkan kak Firman bersama pasukan kopi dan bala tentaranya
di kedai itu. Dalam perjalanan, terbelit tanya: Aku pecinta kopikah? Sudah
sedalam apa kecintaanku pada kopi? Sebanyak apa pengetahuanku tentangnya? Atau
sekedar peneguk saja, sebagai teman canda saat memerangi malam?
Bandarlampung, 23 September 2017.