Oleh: Desma H.
Film yang sedang ramai dibincangkan di dunia. Selesai topik covid, vaksin, dan huru-haranya, manusia yang kebanyakan terpuruk dalam ruang kesakitan dan kehilangan, akhirnya mencari ranah hiburan agar tetap menjaga rasa bahagia. Imun bisa terjaga, konon katanya begitu. Sehingga peluncuran film ini, menjadi gayung bersambut. Meskipun, tak semua manusia mengapresiasi. Akan tetapi, film ini berhasil menarik perhatian. Ramai dibicarakan, dibedah, dilihat dari beragam sudut pandang. Bahkan, di Indonesia sudah banyak yang memparodikannya. Foto di atas saya ambil dari surat kabar online. Di Yogyakarta, boneka ini berdiri sebagai penanda rambu lalu lintas di jalan raya. Wow, sampai sebegitunya. Ini juga jadi sarana publikasi film tersebut, bukan? Meskipun setelah dikonfirmasi, keberadaan boneka ini hanya editan. Orang yang tak paham, akan mencari tahu. Langsung buka telepon genggam, mulai pencarian, akan langsung bersua infonya. Meskipun, tak semua mengapresiasi hadirnya film ini. Mengapa demikian?
Ada beberapa poin yang bisa disimpulkan dari film Korea ini.
Tentu film ini terdiri dari beberapa episode. Kita harus luangkan waktu khusus untuk menyaksikan. Akan tetapi, jika sekedar hendak tahu alur cerita, melihat reviunya sudah cukup mewakili. Meskipun, tak keseluruhan detail film dapat kita nilai. Keunggulan dan kelemahan film tersebut.
Beberapa waktu lalu, sengaja saya ikut webinar yang menghadirkan Bunda Sinta Yudisia, seorang guru, psikolog, dan penulis. Juga Ustadz Aditya Abdurrahman, seorang dosen dan penulis. Berikut adalah ringkasannya.
1. Adegan kekerasan
Kekerasan verbal, berupa caci maki selalu muncul antar tokohnya, sehingga menjadi hal yang biasa sepanjang film ini berlangsung. Kekerasan psikis, kekerasan fisik, dan kekerasan seksual. Sehingga hal ini secara tidak langsung mengangkat fakta tentang lemahnya mental para tokohnya.
2. Gambaran yang merendahkan perempuan
Pemain 212 selalu menawarkan tubuhnya sebagai strategi dalam permainan. Ironisnya, ini bisa menjadi sebuah ide, yang bisa diadaptasi oleh perempuan-perempuan dalam realita hidup, yang sudah putus asa dan tak punya cara untuk mendapatkan penghasilan. Bayangkan jika itu anak-anak, yang mungkin dalam berpikir belum begitu matang. Film ini bisa menjadi pemberi sumbangsih ide gila, yang akan membuat masa depan mereka, jauh lebih gila.
3. Betapa hina dunia
Orang yang atheis terlihat lebih kuat dibanding karakter religius. Mentalnya lebih lemah dalam menghadapi hidup. Seperti contoh pemain nomor 24 dan 067. Maka penonton yang masih labil, bisa membuat kesimpulan yang negatif.
Di bagian lain ada juga perumpamaan yang sangat menohok, dimana orang-orang mengejar harta, setelah didapat toh akhirnya mereka tidak juga bahagia. Para pengejar dunia banyak yang frustasi dalam film ini, sedangkan sosok yang tawakal seperti digambarkan oleh ibunya Gi Hun, malah menjalani hidup dengan tenang. Ia bekerja, dan tetap bisa hidup tanpa grasah grusuh.
4. Gambaran jahatnya kaum kapitalis terhadap orang miskin
Film ini merupakan representasi kondisi masyarakat kita. Orang kaya miliki kemampuan atur dunia. Orang miskin dibentuk oleh kapitalis. Misalnya begini: Dibuatlah perusahaan, rekrut para pekerja. Mereka akan mau saja kerja, karena tak punya penghasilan. Dibuatlah bank riba,udah pinjam dana, tapi sulit melunasi. Begitu terus. Mencekik, namun mereka punya kekuuatan, untuk tidak terjerat hukum.
Lantas siapa yang mengatur? Ada lapitalis yang mengelola orang-orang miskin, agar tak lepas dari cengkraman. Rakyat makin sengsara. Kapitalis makin kaya. Tapi, jika ditanya siapa sajakah orang-orang ini? Mereka tetap anonymous. Lihat pada film ini, mereka tetap sembunyi di balik penutup kepala. Terjaga identitas.
Jika mau ditelisik lagi, tentunya masih ada yang bisa diperbincangkan. Karena sejatinya media merupakan sarana paling multifungsi. Tak hanya untuk hiburan, tapi di sana ada peran lain: persuasif, contoh, pendidikan, dan banyak hal. Jika kita baru bisa menemukan bahwa film ini hanya sekedar hiburan, maka kita perlu mengupgrade diri untuk lebih peka mencernanya.
Terlepas dari hal-hal negatif, perjuangan penulis ceritanya yang tetap gigih sejak tahun 2009, membawa ide ini, juga patut diapresiasi.
Terpenting, jadilah penonton yang aktif. Sehingga bisa merespon cepat dari suatu tayangan. Harus membangun prinsip diri, karena orang yang miliki prinsip tak akan mudah terpengaruh oleh suatu film. Karena penonton yang aktif memiliki filter yang baik, justru bisa mengambil pelajaran dari setiap hal yang disaksikan.
Tayangan porno, berapapun usia kita tetaplah tidak boleh ditonton. Bagaimana penyikapannya? Bisa langsung skip, atau cukup melihat reviu biasanya sudah disampaikan di awal sehingga kita bisa lebih terjaga.
Mirisnya, saya mendapat informasi bahwa tayangan ini untuk 15+. Bagaimana menurutmu, Teman? Bergejolak di hati dan pikiran saja tidak cukup. Jadilah penonton yang aktif, cepat tanggap, pandai memilah, dan berani meneruskan pemahaman kepada orang lain.
Bandarlampung, Oktober 2021