Perkara Liksitera adalah cinta. Yang hanya penghuni bilik itu, mampu menjabarkannya. Pada waktu tertentu kita menghentikan gerak pena. Tepat di pergantian hari kita merasa lega.
Seperti itulah cinta kita, pada puisi nan kita susun layak suhuf-suhuf. Digelontorkan pada kurator. Kemudian kita terhenyak saat memandangi angka-angka. Aduhai, kita belum jadi paus sastra. Mungkin masih sebatas teri. Tapi, biarlah. Teri juga renyah berkawan kacang tanah dan cabai merah. Mengunyah nasi panas, ber huhhah, tapi tak mengurangi pedas.
Warna cinta begitu pula. Kita sembunyikan dalam puisi teramat rapi. Pada cinta yang terlanjur terjangkit. Kiranya mudah melerai, biarkan secara berkala. Agar tiada gontai, saat pengelana ini kembali tempuh pengembaraannya.
Suatu ketika, puisi takkan lagi dinamai. Tak bisa lagi dimaknai. Karena penopangnya, telah patah dikerumuni rayap dan dosa. Mari tidur, setelah juang panjang meramu puisi dengan tema yang menggila. Sehingga pertapaanku tak bisa melipat kata menjadi bait menghujam.
Sepertinya kurator esok, tak kapok meletakkan namaku kembali pada urutan terbawah.
Cordova, era corona, midnight.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar