/1/
Dalam
ruang redup lampu diesel
Dikayuh
mesin jahit tua, berisik suara
Tersintak
di garis malam
Lega,
bahwa ia masih terjaga.
Esok kembali
sama,
Tanpa ucap
disemainya doa.
Berkerumun
pikiran satu per satu meraba,
Sayap malaikat
memilih,
Pinta siapa nan
tiada letih
Oh, namanya
kembali ramai di langit,
Diceritakan
isaknya pada para bintang
Ia berkilau, di
jiwa kosong pemuja belia.
/2/
Para
hujan menggantung mendung,
Mencengkeram
ketakutan, meremasnya,
Membiarkan
usia terburai.
Kulit
renta, kerangka tiada daya.
Di
pembaringan berairmata.
Binar
kemenangan memintal senyum terakhir,
Dipandangi
wajah rindu nan tersapu,
Milik
para belia yang telah dewasa.
Berat
di dada menghempas,
Ia
teguh dalam dekapan.
“
Ayah, maafkan aku…”
Digelengkannya
kepala, perlahan tubuhnya damai.
/3/
Batu,
berwarna putih, bertinta hitam.
Bernama,
tak tertulis cita, hobi, dan pekerjaan.
Tak
lagi dibutuhkan, hunian akhir berkawan sepi,
Beriring
waktu, para tangis melupakan.
/4/
Di
bawah garis malam,
Hening,
detak jarum jam meraja.
Sesekali,
kuusap debu mesin jahit tua.
Lara,
ia telah tiada.
Bandarlampung,
10 Maret 2018
Diterbitkan dalam Antologi Puisi: Kenangan Masa Lalu, FAM, 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar