Mengapa waktu habis SIM itu berada tepat di tanggal lahir?
Jawabannya sederhana, agar mudah diingat. Jadi, jika sudah mendekati tanggal
itu, harus segera diluangkan waktu untuk membuatnya. Terlewat dari waktu yang
sudah ditetapkan, fatal akibatnya. Membuat SIM baru. Hmm, terbayang pasti
betapa repotnya mengurus SIM. Belum lagi harus pakai tes mengendarai kendaraan
pula. Tak bisa main - main. Terkecuali yang buat SIM nya tembak sana, tembak
sini. Ups, masih ada loh yang macam ini. harganya lebih mahal, tapi ringkas.
Tak pakai beribet. Duduk manis, siapkan uang. SIM jadi deh. Entah itu sidik
jari siapa, tanda tangan siapa, yang penting ada.
Maka aku berburu waktu di tanggal sebelum waktu kelahiran
tiba. Tak boleh pula sebulan lebih cepat. Setidaknya sepekan sebelum habis masa
berlaku. Dengan profesiku sebgai seorang guru, tentu tak mudah untuk
meninggalkan kelas. Setelah meminta izin dari Kepala Sekolah, ya aku sudah
memutuskan izin seharian. Karena sudah terbayang betapa antrinya, juga lamanya,
dan lain sebagainya. Perkara yang sudah biasa ditemui jika berurusan dengan
kedinasan begini. Adikku yang sudah berpengalaman langsung berpesan:
“ Datang pagi, siapkan fotokopi KTP. Nanti antri.”
Aku ikuti saja petuah keramat itu. Ternyata benar, aku
memilih jasa perpanjangan SIM keliling. Jadwal hari itu Senin, 4 Desember 2017.
Tempatnya berada di Museum Lampung. Tempat mangkal yang sudah terjadwal. Hanya
hari Senin. Selain hari itu Layanan SIM Keliling ini akan berpindah tempat.
antrian sudah panjang. Di halaman parkir museum lampung, berderet kendaraan
bermotor tertata rapi. Sudah ada petugas di sana yang mengarahkan. Aku
terbantu. Ada satu mobil kecil yang menyediakan jasa fotocopy dan tulis berkas.
Tak merepotkan. Membayar jasa Rp. 5.000. Cek kesehatan di depan mobil petugas
Sim keliling. Ada perawat yang melayani. Tensi darah, berat badan, sebagai data
kelengkapan berkas. Selesai. Yang menjadikan lama adalah proses antrinya.
Tempat yang panas, karena mentari semakin tinggi. Tiada tempat berteduh yang
baik. Berkenalan dengan beberapa orang yang mengantri. Dengan perbincangan,
tentu menjadikan waktu penantian tidak garing.
Memasuki waktu stirahat, para petugas henti. Pukul satu
dilanjutkan kembali. Kukunjungi masjid Al Wasi’i, tempat favorit untuk
beribadah, istirahat, dan juga makan siang. Bersama teman antriku. Kebetulan berpuasa, maka istirahat bisa lebih
lama. Kembali lagi ke museum. Antrian belum dimulai. Petugas sudah siap. Pak
Polisi memanggil nama pengantri. Dan tentu saja belum muncul. Si ibu yang duduk
di hadapanku meminta duluan, karena memang belum ada sejak tadi nama - nama
yang disebutkan. Lantas bagaiman respon petugas? Tetap sajikan keramahan,
santun, beliau menyampaiakn bahwa tak mungkin beliau memutus antrian. Nanti
bagaimana jika si bapak yang dipanggil mucul? Aku senang dengan jawaban
tersebut. Teladan yang baik, telah beliau contohkan.
Tibalah giliranku. Namaku dipanggil, kumasuki mobil besar
itu. Duduk di tempat yang sudah disediakan. Melakukan pengambilan gambar secara
otomatis. Kursi tak boleh digeser, sudah ditandai di lantainya. Sehingga aku
bisa mencari patokan. Usai berfoto, aih jangan tanya hasil foto. Tanpa bedak,
setelah berkeringat, juga kepanasan, efek kelam di wajah seolah sudah terjanjikan.
Kubiarkan saja. Yang penting SIM jadi, dan proses perpanjangan ini adalah yang
pertama kali bagiku. Hampir setengah tiga, acara perpanjangan sim selesai juga.
Langsung dicetak, sampai di tangan. Membayar Rp. 75.000. Berpamitan dengan
anggota pengantri, uruusanku selesai di hari itu. Alhamdulillah…
Sesungguhnya untuk proses di dalamnya tak memakan waktu
lama, yang menjadikan lama adalah menunggu untuk dipanggil. Yah, begitulah.
Dari urusan sederhana ini saja sudah diajarkan kita untuk menunggu. Sama
seperti kita yang menunggu panggilan dari Sang Maha. Mungkin sebaiknya
demikianlah kita menganalogikan. Dalam masa tunggu itu, ragam kebaikan harus
menghiasi perjalanan kita. Agar tiada celah, agar tak bernoda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar