Selasa, 14 November 2017

Sepeda Surga Rafli



Siang itu sangat terik. Rafli berjalan sendiri pulang sekolah. Teman - temannya menyapa dari motor dan juga mobil. Tidak seberapa pengaruh baginya. Tetap saja ia melangkah malas. Jarak rumah yang bisa dikatakan jauh dan tak juga dekat membuat ia bimbang untuk beralasan. Ayah tak bisa disalahkan. Beliau memang bertugas di luar kota. Seminggu sekali pulang. Ibu tak pandai mengendarai motor. Selain itu, setiap pagi ibu harus mengantar adiknya yang bersekolah dekat dengan rumah. 

Jarak setengah kilometer bisa ditempuhnya dalam waktu lebih kurang dua puluh menit. Lebih cepat lagi tentunya dengan berlari. Namun ia akan ngos - ngosan sampai di sekolah. Kalau terlalu lelah akan membuatnya haus dan lapar. Ini akan menjadi penyebab uang sakunya terpakai nanti. Jadi ia memilih berjalan santai, berangkat lebih awal agar tak terlambat sampai ke sekolah. Kedua kakinya adalah andalan, jika harus pergi kemanapun untuk jarak yang tak seberapa jauh. 

“ Assalamualaikum.”
“ Waalaikumsalam warohmatullah. Lemas amat, Nak?”
Rafli tersenyum. Pertanyaan itu sudah biasa ia dengar.
“ Tidak, Bu. Rafli semangat!”
Sembari mengepalkan tangan di depan bahu.
“ Nah, begitu. Ibu senang melihat Rafli. Jadi ketularan semangat.”
“ Alhamdulillah. Bu, kapan ayah pulang?”
Ibu mengerutkan dahi. Rafli meletakkan sepatu di rak, kemudian duduk di samping ibunya yang tengah mengiris bawang merah.
“ Maksud Rafli, pulang ke rumahnya bukan hari Sabtu.”
“ Memangnya ada apa, Nak? Ada acara di sekolah ya? Kan bisa ibu yang datang.”
“ Tidak, Bu. Rafli ingin mengambil tabungan yang di Bank Pasar. Kata petugasnya harus Ayah yang mengambil, karena yang membuatkan Ayah. Harus dicocokkan tandatangannya.”
“ Mengapa tabungannya diambil?”
“ Rafli mau beli sepeda, Bu.”
Wajah Rafli berbinar. Ibu masih memperlihatkan wajah bingung.
“ Memangnya sudah cukup untuk beli sepeda?”
“ Sudah, Bu. Lihat ini, sudah ada tiga juta!”
Ibu melirik buku tabungan yang Rafli tunjukkan. Tercengang sejenak, kemudian menghentikan mengiris bawang.
“ Masya Allah! Alhamdulillah, ini sudah cukup untuk beli sepeda. Baiklah, inshaaAllah besok ibu ambilkan, Nak.”
“ Memangnya ibu bisa?”
“ Yang membuat rekening tabungan itu kan Ibu. Tapi, ngomong - ngomong bagaimana tabungan Rafli bisa sebanyak ini?”
“ Uang saku Rafli setiap hari ditabung, Bu.”
“ Anak hebat. Ibu bangga pada Rafli.”
***

Tak sabar menunggu hari Sabtu. Ayah akan datang menemani Rafli membeli sepeda. Ia sudah tentukan warna dan merknya. Bahkan di toko mana ia akan membeli sepeda impian itu. Ia melihat jam tangan, masih lama untuk bel berbunyi. Semua tugas sudah ia selesaikan.
“ Rafli, mengapa lihat jam terus dari tadi?”
“ Dia mau beli sepeda baru, Bu!”
Rafli tersipu malu. Ia tersenyum ketika Bu Ida menanyakan.
“ Alhamdulillah, Rafli akan membeli sepeda baru dengan uang tabungannya sendiri. Ini sangat luar biasa! Senang ya, Rafli punya kendaraan sendiri?”
Rafli mengangguk. Teman - teman yang lain masih menggodanya.
“ Nah anak - anak yang lain juga punya kendaraan, kan?”
“ Iya, Bu!” Anak - anak menjawab serentak.
“ Dengan kendaraan itu, kita semua dipermudah untuk bepergian. Tak merasa kelelahan, meskipun jarak tempuh jauh.”
“ Iyalah, Bu. Kita bisa sambil tidur. Tiba - tiba sampai tujuan.”
“ Benar, Ihsan! Itu tadi adalah contoh kendaraan dunia.”
“ Kendaraan dunia?”
Mereka terbelalak, meminta penjelasan.
“ Karena kendaraan tadi masa pakainya, ya hanya ketika di dunia. Sedangkan nanti kendaraan tersebut tidak dibawa sampai akhirat.”
“ Memangnya ada kendaraan yang bisa sampai akhirat, Bu?”
“ Tentu saja ada. Orang - orang yang berkorban, maka hewan yang ia korbankan akan menjadi kendaraannya kelak di akhirat.”
“ Kata mama juga pahalanya banyak sekali ya, Bu Guru?”
“ Benar sekali Aisyah. Bulu dari hewan yang kita korbankan, darahnya, belum lagi daging yang dibagikan kepada fakir mikin dan orang yang berhak menerima, semuanya nanti akan menjadi pahala untuk kita. Sungguh sangat banyak sekali pahala yang akan kita dapatkan.”
“ Bu Guru, saya mau punya kendaraan di akhirat juga!”
“ Bagus, Ahmad. Siapa lagi yang mau punya kendaraan di akhirat?”
“ Saya, Bu!”

Ramai sekali anak – anak bersahutan. Sampai – sampai mereka maju ke depan dan mengerubungi Bu Ida. Pelajaran hari itu semakin seru, ketika Bu Ida menjelaskan kisah Nabi Ibrahim A. S. yang hendak menyembelih Nabi Ismail A. S. kemudian Allah mengganti dengan hewan sembelihan. Anak – anak terharu dengan kisah itu. Termasuk Rafli. Sampai perjalanan pulang, ia masih memikirkan kisah tadi, juga tentang kendaraan akhirat. Ia mempercepat langkah. Hari ini ayahnya pulang. Esok ia akan membeli sepeda. Seperti yang sudah direncanakan kemarin.
*** 

“ Ayo Rafli, kita berangkat.”
Ayah sudah rapi. Rafli juga sudah rapi, namun ia belum bersepatu.
“ Ayah, kita tak usah beli sepeda.”
Ayahnya terkejut. Beliau duduk di sebelah Rafli.
“ Kenapa? Kalau uangnya kurang nanti Ayah tambahkan.”
Rafli menggeleng. Masih terlihat kebingungan di wajah ayah. Rafli tersenyum.
“ Iya, Ayah. Rafli mau beli kendaraan surga.”
Ayah semakin bingung.
“ Uang ini kita belikan ke kambing saja, biar bisa dikurbankan. Banyak sekali pahalanya, kata Bu Guru. Jadi Rafli punya kendaraan nanti di akhirat.”
Ayah tertegun dengan penjelasan Rafli yang singkat. Beliau terharu.
“ Baiklah. Pakai sepatumu, Rafli pilih sendiri kendaraan ke surga untuk Rafli. Mau warna apa?”
“ Benar ini, Ayah?”
“ Iyalah.”
“ Alhamdulillah!”
Mereka bersiap berangkat.
“ Berarti Rafli tetap jalan kaki kalau ke sekolah?”
“ Tak apa, Ayah. Biar sehat.”
Rafli tertawa, ayah tersenyum bangga.
***

Bandarlampung, 9 September 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERIMAKASIH TELAH SINGGAH

Perjalanan hidup manusia berputar seperti roda. Suatu saat akan berhenti, bila telah tiba di tujuan. Namun, adakalanya roda itupun berhenti karena hambatan. Hidup beserta masalah adalah lumrah. Memang demikian adanya. Hidup tanpa masalah mungkin juga ada. Akan tetapi, itulah masalahnya, mengapa bisa tidak ada masalah? Normalkah?

Maka kembali pada bagaimana kita menyikapi. Terbelit dalam kerumitan, pikirkanlah solusi; bukan kesulitannya. Karena hal ini akan menjelma beban.

Serahkan pada sang Penguasa semesta, karena Allah swt maha berkehendak. Entah bagaimana penyelesaiannya, terkadang tak pernah sedikitpun terbayang dalam pikiran. Lantas untuk apa lagi ragu? Bila tak sanggup membina diri, bersama iman dan taqwa padaNya, tunggulah kebinasaan itu dari jalan yang tak disangka -sangka.




Yang Akan Dibanggakan

Yang Akan Dibanggakan
Menara Siger Lampung