Siang itu sangat terik. Rafli berjalan sendiri
pulang sekolah. Teman - temannya menyapa dari motor dan juga mobil. Tidak
seberapa pengaruh baginya. Tetap saja ia melangkah malas. Jarak rumah yang bisa
dikatakan jauh dan tak juga dekat membuat ia bimbang untuk beralasan. Ayah tak
bisa disalahkan. Beliau memang bertugas di luar kota. Seminggu sekali pulang.
Ibu tak pandai mengendarai motor. Selain itu, setiap pagi ibu harus mengantar
adiknya yang bersekolah dekat dengan rumah.
Jarak setengah kilometer bisa ditempuhnya dalam
waktu lebih kurang dua puluh menit. Lebih cepat lagi tentunya dengan berlari.
Namun ia akan ngos - ngosan sampai di sekolah. Kalau terlalu lelah akan
membuatnya haus dan lapar. Ini akan menjadi penyebab uang sakunya terpakai
nanti. Jadi ia memilih berjalan santai, berangkat lebih awal agar tak terlambat
sampai ke sekolah. Kedua kakinya adalah andalan, jika harus pergi kemanapun
untuk jarak yang tak seberapa jauh.
“ Assalamualaikum.”
“ Waalaikumsalam warohmatullah. Lemas amat, Nak?”
Rafli tersenyum. Pertanyaan itu sudah biasa ia
dengar.
“ Tidak, Bu. Rafli semangat!”
Sembari mengepalkan tangan di depan bahu.
“ Nah, begitu. Ibu senang melihat Rafli. Jadi
ketularan semangat.”
“ Alhamdulillah. Bu, kapan ayah pulang?”
Ibu mengerutkan dahi. Rafli meletakkan sepatu di
rak, kemudian duduk di samping ibunya yang tengah mengiris bawang merah.
“ Maksud Rafli, pulang ke rumahnya bukan hari
Sabtu.”
“ Memangnya ada apa, Nak? Ada acara di sekolah ya?
Kan bisa ibu yang datang.”
“ Tidak, Bu. Rafli ingin mengambil tabungan yang di
Bank Pasar. Kata petugasnya harus Ayah yang mengambil, karena yang membuatkan
Ayah. Harus dicocokkan tandatangannya.”
“ Mengapa tabungannya diambil?”
“ Rafli mau beli sepeda, Bu.”
Wajah Rafli berbinar. Ibu masih memperlihatkan wajah
bingung.
“ Memangnya sudah cukup untuk beli sepeda?”
“ Sudah, Bu. Lihat ini, sudah ada tiga juta!”
Ibu melirik buku tabungan yang Rafli tunjukkan.
Tercengang sejenak, kemudian menghentikan mengiris bawang.
“ Masya Allah! Alhamdulillah, ini sudah cukup untuk
beli sepeda. Baiklah, inshaaAllah besok ibu ambilkan, Nak.”
“ Memangnya ibu bisa?”
“ Yang membuat rekening tabungan itu kan Ibu. Tapi,
ngomong - ngomong bagaimana tabungan Rafli bisa sebanyak ini?”
“ Uang saku Rafli setiap hari ditabung, Bu.”
“ Anak hebat. Ibu bangga pada Rafli.”
***
Tak sabar menunggu hari Sabtu. Ayah akan datang
menemani Rafli membeli sepeda. Ia sudah tentukan warna dan merknya. Bahkan di
toko mana ia akan membeli sepeda impian itu. Ia melihat jam tangan, masih lama
untuk bel berbunyi. Semua tugas sudah ia selesaikan.
“ Rafli, mengapa lihat jam terus dari tadi?”
“ Dia mau beli sepeda baru, Bu!”
Rafli tersipu malu. Ia tersenyum ketika Bu Ida
menanyakan.
“ Alhamdulillah, Rafli akan membeli sepeda baru
dengan uang tabungannya sendiri. Ini sangat luar biasa! Senang ya, Rafli punya
kendaraan sendiri?”
Rafli mengangguk. Teman - teman yang lain masih
menggodanya.
“ Nah anak - anak yang lain juga punya kendaraan, kan?”
“ Iya, Bu!” Anak - anak menjawab serentak.
“ Dengan kendaraan itu, kita semua dipermudah untuk
bepergian. Tak merasa kelelahan, meskipun jarak tempuh jauh.”
“ Iyalah, Bu. Kita bisa sambil tidur. Tiba - tiba
sampai tujuan.”
“ Benar, Ihsan! Itu tadi adalah contoh kendaraan
dunia.”
“ Kendaraan dunia?”
Mereka terbelalak, meminta penjelasan.
“ Karena kendaraan tadi masa pakainya, ya hanya
ketika di dunia. Sedangkan nanti kendaraan tersebut tidak dibawa sampai
akhirat.”
“ Memangnya ada kendaraan yang bisa sampai akhirat,
Bu?”
“ Tentu saja ada. Orang - orang yang berkorban, maka
hewan yang ia korbankan akan menjadi kendaraannya kelak di akhirat.”
“ Kata mama juga pahalanya banyak sekali ya, Bu Guru?”
“ Benar sekali Aisyah. Bulu dari hewan yang kita
korbankan, darahnya, belum lagi daging yang dibagikan kepada fakir mikin dan
orang yang berhak menerima, semuanya nanti akan menjadi pahala untuk kita.
Sungguh sangat banyak sekali pahala yang akan kita dapatkan.”
“ Bu Guru, saya mau punya kendaraan di akhirat juga!”
“ Bagus, Ahmad. Siapa lagi yang mau punya kendaraan
di akhirat?”
“ Saya, Bu!”
Ramai sekali anak – anak bersahutan. Sampai – sampai
mereka maju ke depan dan mengerubungi Bu Ida. Pelajaran hari itu semakin seru,
ketika Bu Ida menjelaskan kisah Nabi Ibrahim A. S. yang hendak menyembelih Nabi
Ismail A. S. kemudian Allah mengganti dengan hewan sembelihan. Anak – anak
terharu dengan kisah itu. Termasuk Rafli. Sampai perjalanan pulang, ia masih
memikirkan kisah tadi, juga tentang kendaraan akhirat. Ia mempercepat langkah.
Hari ini ayahnya pulang. Esok ia akan membeli sepeda. Seperti yang sudah
direncanakan kemarin.
***
“ Ayo Rafli, kita berangkat.”
Ayah sudah rapi. Rafli juga sudah rapi, namun ia
belum bersepatu.
“ Ayah, kita tak usah beli sepeda.”
Ayahnya terkejut. Beliau duduk di sebelah Rafli.
“ Kenapa? Kalau uangnya kurang nanti Ayah
tambahkan.”
Rafli menggeleng. Masih terlihat kebingungan di
wajah ayah. Rafli tersenyum.
“ Iya, Ayah. Rafli mau beli kendaraan surga.”
Ayah semakin bingung.
“ Uang ini kita belikan ke kambing saja, biar bisa
dikurbankan. Banyak sekali pahalanya, kata Bu Guru. Jadi Rafli punya kendaraan
nanti di akhirat.”
Ayah tertegun dengan penjelasan Rafli yang singkat.
Beliau terharu.
“ Baiklah. Pakai sepatumu, Rafli pilih sendiri
kendaraan ke surga untuk Rafli. Mau warna apa?”
“ Benar ini, Ayah?”
“ Iyalah.”
“ Alhamdulillah!”
Mereka bersiap berangkat.
“ Berarti Rafli tetap jalan kaki kalau ke sekolah?”
“ Tak apa, Ayah. Biar sehat.”
Rafli tertawa, ayah tersenyum bangga.
***
Bandarlampung, 9 September 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar