Pada
langkah ke sekian, aku kembali pandangi papan besar di depan rumah sakit itu.
Ada berentet nama para dokter terpancang. Satu nama membuatku tertegun.
Perlahan senyum kusimpulkan. Akhirnya kutemukan, setelah sekian lama kutitipkan
kepada para awan, beragam pesan rindu.
Kotagajah,
2003
Sangat
damai belakangan ini. Selain alasan Ujian Nasional yang memang sudah terlewati,
aku merasa memiliki hari sepenuhnya. Ada langit biru yang bisa kusapa dengan
leluasa, juga beragam bunga nan bisa keteguk kecantikannya. Ada bunga tiga
bulan yang penuh pesona. Beberapa waktu lalu berwarna putih, kemudian merah
muda, sekarang telah menjadi ungu. Bunganya kecil - kecil berumpun. Dari sekian
bunga yang terjajar di halaman rumah ibu kost, hanya satu bunga ini yang
menarik perhatianku. Daunnya lebar dan kasar, namun bunganya lembut dan dalam
kesatuan. Seperti menggambarkan kepribadian, bahwa manusia yang kasar dan buruk
dalam rupa, bisa juga bersikap lembut dan mudah bersosialisasi.
Bersantai
di teras, kaki berselonjor. Dinginnya ubin membersamai hembusan angin. Dari
sini terlihat gedung sekolahku, SMAN 1 Kotagajah nan gagah. Sudah bertahun -
tahun sekolah itu melahirkan orang - orang hebat. Itu sebab, aku sengaja datang
dari Lampung Timur untuk bersekolah di sini. Meninggalkan kampung halaman yang
asri. Dedaun pohon jeruk di halaman, bergerak dengan irama teratur. Begitu juga
para bunga, dan sedikit rerumputan di tepi pagar. Sepertinya bapak kost lupa
membersihkannya. Segera kukenakan sandal, mendekati gerbang yang masih
terkunci. Mencabut rerumputan yang tak seberapa tinggi.
“ Ngapain kau, Des?”
Tak perlu berdiri untuk
menjawab sapaan Melani. Cukup menoleh sejenak, kemudian melanjutkan pekerjaan.
Ia teman sekelas. Tinggal di rumah pamannya di depan tempat kostku. Aku biasa
pergi dan pulang sekolah bersamanya, berjalan kaki.
“ Idih, ditanyain kok
malah diam saja.”
“ Bersih - bersih lah,
Mel.”
“ Hari gini bersih -
bersih? Des, kau nggak mikirin masa depan apa? Mentang - mentang ujian udah
selesai terus kau santai - santai di sini?”
“ Ya mau ngapain lagi?”
“ Nah, ini… bocah yang
hidup dengan penuh kesia - siaan.”
“ Apaan sih? Jangan
ngajak berantem deh!”
“ Kau lulus SMA mau
lanjut kemana, Des?”
“ Kuliah, lah!” Jawabku
ketus. Tak perlu memandangnya, aku tetap fokus mencabuti rumput liar.
“ Di mana? Jurusan
apa?”
“ Unila, Bahasa
Inggris.”
“ Wow keren pilihan
saudariku. Lihat di pamflet ini, grade Bahasa Inggris Unila itu tinggi. Lihat,
tahun kemarin hanya 40 mahasiswa yang diterima. Kemudian lihat di sini, peserta
yang mendaftar di jurusan ini ada 1500 orang lebih. Kau bayangkanlah
perbandingannya, Des. Satu kursi diperebutkan 40 orang, se-Indonesia. Ingat
SPMB ini untuk semua umat manusia se-Indonesia, bukan hanya untuk murid di
sekolah kita saja.”
“ Iya, aku tahu,
Butet!”
“ Nah, kau diberitahu
malah begitu. Ya sudahlah, sebagai teman aku hanya mengingatkan saja. Jauh -
jauh aku merantau dari Medan. Tentulah aku tak ingin mengecewakan orang tuaku
di sana.”
“ Jangan begitulah nada
bicaramu. Aku juga tak mau mengecewakan orang tuaku, Mel.”
“ Bagus itu, Des. Ya sudah,
ikut aku saja yuk ke Metro. Kita ikut bimbel, untuk persiapan SPMB.”
“ Alangkah jauhnya,
Mel.”
“ Des, dimana - mana
ember yang mendatangi sumur. Bukan sumur yang mendatangi ember. Kita ingin belajar
mencari ilmu, ayo kita datangi tempatnya. Sejauh apapun itu.”
“ Iya, Bu Guru.”
“ Nah, kau tahu cita -
citaku. Ayo cepatlah beringkas.”
“ Baru kali ini ada
orang Medan mau jadi guru. Biasanya pengacara.”
“ Biar aku bisa
ngajarin anaknya para pengacara itu, Des. Haha…”
Melani
tertawa. Kutinggalkan ia di teras. Berganti pakaian, kemudian menyiapkan tas.
Uang masih cukup untuk ongkos dan biaya pendaftaran bimbel. Biaya bulanannya
bisa diangsur bulan berikutnya, begitu tertulis di pamflet tadi. Aku
memberanikan diri untuk ikut bimbel di kota Metro. Bukanlah jarak yang dekat
dari Kotagajah. Namun benar juga kata Melani. Kitalah yang mendatangi
tempatnya.
*
Sudah
sepekan mengikuti bimbel di Sony Sugema College, lokasinya tak jauh dari Pasar
Cenderawasih. Sangat memudahkan jika dari Kotagajah. Turun angkot, berjalan
kaki sejenak, maka sampailah di sana. Hari ini ada Try Out. Diikuti oleh semua
siswa SSC. Pesertanya ratusan, dan sangat miris ketika melihat hasil. Masuk
sepuluh besar di urutan terbawah. Aku dan Melani tertawa lepas melihat hasil
yang telah diperoleh. Tak ada kekecewaan. Malah dipenuhi rasa syukur, bahwa
masih ada kesempatan SPMB yang sesungguhnya nanti. Sekarang masih ada waktu
untuk mempersiapkan diri.
“ Jalan - jalan bentar
yuk, Des?”
“ Kemana?”
“ Taman kota.”
Melani sudah berjalan
sebelum menerima pendapatku. Maka mengikuti langkahnya adalah keputusan
terbaik. Berjalan - jalan sejenak, mencari makan. Akhirnya langkahku terhenti
saat adzan Dhuhur berkumandang. Tempat singgah selanjutnya sudah dekat, Masjid
Taqwa.
Lantai
dingin teras Masjid Taqwa sungguh nyaman untuk disuguhkan bagi para pejalan
yang lelah. Bentang langit tanpa pembatas langsung sampai di pandang mata.
Menara bak pena nan siap menorehkan kisah para pengelana di lembar biru
angkasa. Ada letih yang harus segera disudahi sebelum sempat dimulai. Aduhai,
perjalanan terasa makin panjang.
“ Bimbel di SSC juga?”
Seorang laki - laki di
sebelahku menyapa. Ia juga memegang modul yang sama. Agak kaget. Sejak kapan
sosok itu di sana? Apakah ia mengamatiku? Setelah sholat tadi, aku bersandar di
luar sembari memandang langit. Terkadang juga bergumam sendiri. Jika itu
dilihatnya, sungguh malu aku. Kujawab saja dengan anggukan pertanyaannya.
“ Ikut Try Out yang
tadi berarti ya?”
Kujawab lagi dengan
anggukan. Sosok berkacamata itu tersenyum.
“ Dapat nilai berapa?”
Kali ini tak mungkin
kujawab dengan anggukan.
“ Tapi soal - soalnya
tadi memang sulit.”
Belum sempat kujawab,
ia sudah membuat pernyataan baru.
“ Ikut bimbel hari apa?
Kita nggak pernah ketemu sepertinya.”
“ Des, ayo kita
pulang!”
Melani
baru keluar dari kamar kecil, wajahnya sudah nampak cerah. Aku berdiri,
selintas menoleh ke sosok yang duduk di sampingku tadi. Ia tersenyum,
mempersilahkan. Bahkan hingga akhirpun aku tetap tak bersuara. Lidahku terdiam.
Sepanjang langkah, batinku berkecamuk. Mereka - reka perbincangan tadi.
Harusnya kujawab begini dan begini, atau setidaknya begitu dan begitu. Sehingga
ada dialog tercipta.
“ Ngobrol sama siapa
tadi, Des?”
Aku menggeleng. Melani terbelalak,
kemudian terkekeh.
“ Ayo dong, jangan kaku
- kaku amat kau, Des. Menyapa orang lain itu kan nggak dosa.”
Aku tertunduk. Memang
tidak dosa, Mel. Tapi, aku tadi benar - benar tidak bisa, dan tanpa alasan.
Batinku masih belum tenang. Sampai di tempat kost pun, pikiranku masih tertuju
pada sosok itu. Siapa dia? Aku tak tahu. Namun wajahnya masih lekat di benak,
suaranya, juga kata - kata yang ia ucapkan, aku masih hafal.
*
Melani
menjengukku. Sudah tiga hari aku tak masuk bimbel. Sakit campak yang kuderita
membuatku tak bisa kemana - mana. Dokter menyuruhku istirahat.
“ Des, kau meninggalkan
modul di masjid Taqwa waktu itu. Ini, ada orang baik hati yang mengembalikan.”
“ Iyakah, Mel? Aku
malah baru ingat. Alhamdulillah, masih rezekiku modul ini.”
“ Iya, yang balikin
modul juga siapa tahu rezekimu, Des.”
“ Maksudmu, Mel?”
“ Namanya Tirta. Anak
SMAN 3 Metro. Dia kemarin sengaja datang ke kelas untuk balikin modul ini.
Sayang sekali kau tak ada. Tenang saja, sudah kusampaikan terimakasih, kubilang
juga bahwa kau sedang sakit.”
“ Terus, terus?”
“ Dia titip salam.
Semoga lekas sembuh katanya.”
“ Alhamdulillah…”
*
Bandarlampung,
2017
Setelah
kondisiku membaik kala itu, ayahku sakit. Kuputuskan untuk belajar mandiri di
Lampung Timur, sembari menunggu kabar pengumuman hasil UN. Melani pulang ke
Medan. Ikut SPMB di sana, dan tak pernah ada kabar. Beberapa waktu yang lalu,
Melani mengirimkan pesan via FB. Omelannya mencuat karena tak ada fotoku pada
profil. Ia sudah menjadi guru di sana. Anaknya sudah dua orang.
“ Des, Tirta ada di
Metro. Sudah ketemu dia?”
Berdesir di hati ketika
nama itu disebut.
“ Haruskah aku ke
Lampung, untuk mempertemukan kalian berdua?”
Cukup, Mel. Untuk kali
ini, izinkan hatiku menyapanya lebih dulu. Maka di hari yang terencana,
kusinggahi gedung itu.
*
Dokter
berkacamata itu melintas. Bertegur sapa dengan para perawat, sesaat menyapa
pasien. Senyumnya mengembang. Aku masih duduk di kursi tunggu. Bahkan hingga detik
ini pun aku masih belum sanggup untuk mengalahkan diamku. Lama terjebak di
sana. Kutinggalkan gedung itu bersama sosoknya, mungkin aku harus mengumpulkan
beragam kekuatan dari segala penjuru untuk bisa menyapanya. Langkahku mantap
menuju Masjid Taqwa, telah banyak berubah, sekian tahun kutinggalkan. Kembali duduk
di terasnya, bersandar pada dinding mewah, memandangi cakrawala. Ada langit
kelabu yang kian tua. Angin membawa kecemasan para manusia. Dilabuhkannya
kepada debu, hingga hambur ke udara. Di sini, beberapa tahun yang lalu, cerita
itu bermula.
*
Alhamdulillah, cerpen ini menjadi juara 1 lomba cerpen online yang diadakan oleh Perpusarsip Kota Metro tahun 2017, dalam rangka Hari Kunjung Perpustakaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar