Selasa, 14 November 2017

Menghidupkan Kerinduan





Pada langkah ke sekian, aku kembali pandangi papan besar di depan rumah sakit itu. Ada berentet nama para dokter terpancang. Satu nama membuatku tertegun. Perlahan senyum kusimpulkan. Akhirnya kutemukan, setelah sekian lama kutitipkan kepada para awan, beragam pesan rindu.

Kotagajah, 2003
Sangat damai belakangan ini. Selain alasan Ujian Nasional yang memang sudah terlewati, aku merasa memiliki hari sepenuhnya. Ada langit biru yang bisa kusapa dengan leluasa, juga beragam bunga nan bisa keteguk kecantikannya. Ada bunga tiga bulan yang penuh pesona. Beberapa waktu lalu berwarna putih, kemudian merah muda, sekarang telah menjadi ungu. Bunganya kecil - kecil berumpun. Dari sekian bunga yang terjajar di halaman rumah ibu kost, hanya satu bunga ini yang menarik perhatianku. Daunnya lebar dan kasar, namun bunganya lembut dan dalam kesatuan. Seperti menggambarkan kepribadian, bahwa manusia yang kasar dan buruk dalam rupa, bisa juga bersikap lembut dan mudah bersosialisasi. 

Bersantai di teras, kaki berselonjor. Dinginnya ubin membersamai hembusan angin. Dari sini terlihat gedung sekolahku, SMAN 1 Kotagajah nan gagah. Sudah bertahun - tahun sekolah itu melahirkan orang - orang hebat. Itu sebab, aku sengaja datang dari Lampung Timur untuk bersekolah di sini. Meninggalkan kampung halaman yang asri. Dedaun pohon jeruk di halaman, bergerak dengan irama teratur. Begitu juga para bunga, dan sedikit rerumputan di tepi pagar. Sepertinya bapak kost lupa membersihkannya. Segera kukenakan sandal, mendekati gerbang yang masih terkunci. Mencabut rerumputan yang tak seberapa tinggi. 

“ Ngapain kau, Des?”

Tak perlu berdiri untuk menjawab sapaan Melani. Cukup menoleh sejenak, kemudian melanjutkan pekerjaan. Ia teman sekelas. Tinggal di rumah pamannya di depan tempat kostku. Aku biasa pergi dan pulang sekolah bersamanya, berjalan kaki.

“ Idih, ditanyain kok malah diam saja.”
“ Bersih - bersih lah, Mel.”
“ Hari gini bersih - bersih? Des, kau nggak mikirin masa depan apa? Mentang - mentang ujian udah selesai terus kau santai - santai di sini?”
“ Ya mau ngapain lagi?”
“ Nah, ini… bocah yang hidup dengan penuh kesia - siaan.”
“ Apaan sih? Jangan ngajak berantem deh!”
“ Kau lulus SMA mau lanjut kemana, Des?”
“ Kuliah, lah!” Jawabku ketus. Tak perlu memandangnya, aku tetap fokus mencabuti rumput liar.
“ Di mana? Jurusan apa?”
“ Unila, Bahasa Inggris.”
“ Wow keren pilihan saudariku. Lihat di pamflet ini, grade Bahasa Inggris Unila itu tinggi. Lihat, tahun kemarin hanya 40 mahasiswa yang diterima. Kemudian lihat di sini, peserta yang mendaftar di jurusan ini ada 1500 orang lebih. Kau bayangkanlah perbandingannya, Des. Satu kursi diperebutkan 40 orang, se-Indonesia. Ingat SPMB ini untuk semua umat manusia se-Indonesia, bukan hanya untuk murid di sekolah kita saja.”
“ Iya, aku tahu, Butet!”
“ Nah, kau diberitahu malah begitu. Ya sudahlah, sebagai teman aku hanya mengingatkan saja. Jauh - jauh aku merantau dari Medan. Tentulah aku tak ingin mengecewakan orang tuaku di sana.”
“ Jangan begitulah nada bicaramu. Aku juga tak mau mengecewakan orang tuaku, Mel.”
“ Bagus itu, Des. Ya sudah, ikut aku saja yuk ke Metro. Kita ikut bimbel, untuk persiapan SPMB.”
“ Alangkah jauhnya, Mel.”
“ Des, dimana - mana ember yang mendatangi sumur. Bukan sumur yang mendatangi ember. Kita ingin belajar mencari ilmu, ayo kita datangi tempatnya. Sejauh apapun itu.”
“ Iya, Bu Guru.”
“ Nah, kau tahu cita - citaku. Ayo cepatlah beringkas.”
“ Baru kali ini ada orang Medan mau jadi guru. Biasanya pengacara.”
“ Biar aku bisa ngajarin anaknya para pengacara itu, Des. Haha…”

Melani tertawa. Kutinggalkan ia di teras. Berganti pakaian, kemudian menyiapkan tas. Uang masih cukup untuk ongkos dan biaya pendaftaran bimbel. Biaya bulanannya bisa diangsur bulan berikutnya, begitu tertulis di pamflet tadi. Aku memberanikan diri untuk ikut bimbel di kota Metro. Bukanlah jarak yang dekat dari Kotagajah. Namun benar juga kata Melani. Kitalah yang mendatangi tempatnya.
*
Sudah sepekan mengikuti bimbel di Sony Sugema College, lokasinya tak jauh dari Pasar Cenderawasih. Sangat memudahkan jika dari Kotagajah. Turun angkot, berjalan kaki sejenak, maka sampailah di sana. Hari ini ada Try Out. Diikuti oleh semua siswa SSC. Pesertanya ratusan, dan sangat miris ketika melihat hasil. Masuk sepuluh besar di urutan terbawah. Aku dan Melani tertawa lepas melihat hasil yang telah diperoleh. Tak ada kekecewaan. Malah dipenuhi rasa syukur, bahwa masih ada kesempatan SPMB yang sesungguhnya nanti. Sekarang masih ada waktu untuk mempersiapkan diri.
“ Jalan - jalan bentar yuk, Des?”
“ Kemana?”
“ Taman kota.”
Melani sudah berjalan sebelum menerima pendapatku. Maka mengikuti langkahnya adalah keputusan terbaik. Berjalan - jalan sejenak, mencari makan. Akhirnya langkahku terhenti saat adzan Dhuhur berkumandang. Tempat singgah selanjutnya sudah dekat, Masjid Taqwa. 

Lantai dingin teras Masjid Taqwa sungguh nyaman untuk disuguhkan bagi para pejalan yang lelah. Bentang langit tanpa pembatas langsung sampai di pandang mata. Menara bak pena nan siap menorehkan kisah para pengelana di lembar biru angkasa. Ada letih yang harus segera disudahi sebelum sempat dimulai. Aduhai, perjalanan terasa makin panjang.
“ Bimbel di SSC juga?”
Seorang laki - laki di sebelahku menyapa. Ia juga memegang modul yang sama. Agak kaget. Sejak kapan sosok itu di sana? Apakah ia mengamatiku? Setelah sholat tadi, aku bersandar di luar sembari memandang langit. Terkadang juga bergumam sendiri. Jika itu dilihatnya, sungguh malu aku. Kujawab saja dengan anggukan pertanyaannya.
“ Ikut Try Out yang tadi berarti ya?”
Kujawab lagi dengan anggukan. Sosok berkacamata itu tersenyum.
“ Dapat nilai berapa?”
Kali ini tak mungkin kujawab dengan anggukan.
“ Tapi soal - soalnya tadi memang sulit.”
Belum sempat kujawab, ia sudah membuat pernyataan baru.
“ Ikut bimbel hari apa? Kita nggak pernah ketemu sepertinya.”
“ Des, ayo kita pulang!”

Melani baru keluar dari kamar kecil, wajahnya sudah nampak cerah. Aku berdiri, selintas menoleh ke sosok yang duduk di sampingku tadi. Ia tersenyum, mempersilahkan. Bahkan hingga akhirpun aku tetap tak bersuara. Lidahku terdiam. Sepanjang langkah, batinku berkecamuk. Mereka - reka perbincangan tadi. Harusnya kujawab begini dan begini, atau setidaknya begitu dan begitu. Sehingga ada dialog tercipta.
“ Ngobrol sama siapa tadi, Des?”
Aku menggeleng. Melani terbelalak, kemudian terkekeh.
“ Ayo dong, jangan kaku - kaku amat kau, Des. Menyapa orang lain itu kan nggak dosa.”
Aku tertunduk. Memang tidak dosa, Mel. Tapi, aku tadi benar - benar tidak bisa, dan tanpa alasan. Batinku masih belum tenang. Sampai di tempat kost pun, pikiranku masih tertuju pada sosok itu. Siapa dia? Aku tak tahu. Namun wajahnya masih lekat di benak, suaranya, juga kata - kata yang ia ucapkan, aku masih hafal.
*
Melani menjengukku. Sudah tiga hari aku tak masuk bimbel. Sakit campak yang kuderita membuatku tak bisa kemana - mana. Dokter menyuruhku istirahat.
“ Des, kau meninggalkan modul di masjid Taqwa waktu itu. Ini, ada orang baik hati yang mengembalikan.”
“ Iyakah, Mel? Aku malah baru ingat. Alhamdulillah, masih rezekiku modul ini.”
“ Iya, yang balikin modul juga siapa tahu rezekimu, Des.”
“ Maksudmu, Mel?”
“ Namanya Tirta. Anak SMAN 3 Metro. Dia kemarin sengaja datang ke kelas untuk balikin modul ini. Sayang sekali kau tak ada. Tenang saja, sudah kusampaikan terimakasih, kubilang juga bahwa kau sedang sakit.”
“ Terus, terus?”
“ Dia titip salam. Semoga lekas sembuh katanya.”
“ Alhamdulillah…”
*

Bandarlampung, 2017
Setelah kondisiku membaik kala itu, ayahku sakit. Kuputuskan untuk belajar mandiri di Lampung Timur, sembari menunggu kabar pengumuman hasil UN. Melani pulang ke Medan. Ikut SPMB di sana, dan tak pernah ada kabar. Beberapa waktu yang lalu, Melani mengirimkan pesan via FB. Omelannya mencuat karena tak ada fotoku pada profil. Ia sudah menjadi guru di sana. Anaknya sudah dua orang.
“ Des, Tirta ada di Metro. Sudah ketemu dia?”
Berdesir di hati ketika nama itu disebut.
“ Haruskah aku ke Lampung, untuk mempertemukan kalian berdua?”
Cukup, Mel. Untuk kali ini, izinkan hatiku menyapanya lebih dulu. Maka di hari yang terencana, kusinggahi gedung itu.
*
Dokter berkacamata itu melintas. Bertegur sapa dengan para perawat, sesaat menyapa pasien. Senyumnya mengembang. Aku masih duduk di kursi tunggu. Bahkan hingga detik ini pun aku masih belum sanggup untuk mengalahkan diamku. Lama terjebak di sana. Kutinggalkan gedung itu bersama sosoknya, mungkin aku harus mengumpulkan beragam kekuatan dari segala penjuru untuk bisa menyapanya. Langkahku mantap menuju Masjid Taqwa, telah banyak berubah, sekian tahun kutinggalkan. Kembali duduk di terasnya, bersandar pada dinding mewah, memandangi cakrawala. Ada langit kelabu yang kian tua. Angin membawa kecemasan para manusia. Dilabuhkannya kepada debu, hingga hambur ke udara. Di sini, beberapa tahun yang lalu, cerita itu bermula.
*

Alhamdulillah, cerpen ini menjadi juara 1 lomba cerpen online yang diadakan oleh Perpusarsip Kota Metro tahun 2017, dalam rangka Hari Kunjung Perpustakaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERIMAKASIH TELAH SINGGAH

Perjalanan hidup manusia berputar seperti roda. Suatu saat akan berhenti, bila telah tiba di tujuan. Namun, adakalanya roda itupun berhenti karena hambatan. Hidup beserta masalah adalah lumrah. Memang demikian adanya. Hidup tanpa masalah mungkin juga ada. Akan tetapi, itulah masalahnya, mengapa bisa tidak ada masalah? Normalkah?

Maka kembali pada bagaimana kita menyikapi. Terbelit dalam kerumitan, pikirkanlah solusi; bukan kesulitannya. Karena hal ini akan menjelma beban.

Serahkan pada sang Penguasa semesta, karena Allah swt maha berkehendak. Entah bagaimana penyelesaiannya, terkadang tak pernah sedikitpun terbayang dalam pikiran. Lantas untuk apa lagi ragu? Bila tak sanggup membina diri, bersama iman dan taqwa padaNya, tunggulah kebinasaan itu dari jalan yang tak disangka -sangka.




Yang Akan Dibanggakan

Yang Akan Dibanggakan
Menara Siger Lampung