Puisi adalah kegemaranku. Aku suka membaca puisi kemudian
mencoba menelaah makna yang disembunyikan oleh penulisnya. Tidaklah terlalu
sulit jika kata - kata yang digunakan adalah kata - kata yang biasa. Yang
paling mengerutkan dahi adalah ketika harus mencoba mencari tahu kata yang lama
namun jarang digunakan dalam percakapan keseharian. Tentu menilik konteksnya,
dan juga memperhatikan kata - kata lain yang mendahului dan menyudahi.
Suatu kehormatan ketika aku diminta ikut terlibat dalam
penjurian naskah peserta lomba cipta puisi kemerdekaan yang diadakan oleh DPD
PKS Bandarlampung. Dari 159 naskah yang masuk, aku harus mengumpulkannya dalam
satu file. Memberikan nomor pada naskah, dan membuat salinan pada form lain
yang berisi nomor naskah, nama naskah, serta judul naskah. Usai menyatukan
naskah keseluruhan, barulah kusebar kepada dua orang juri yang lain. Isbedy
Stiawan ZS (sastrawan Lampung) dan Ninuk Endah Susanti (DPD PKS Bandarlampung,
Bidang Seni dan Budaya) adalah dua partnerku dalam pejurian kali ini. wow, ini
bukan lagi lomba internal yang sudah – sudah. Biasanya dalam penjurian aku
mengambil langkah sederhana. Karena dalam waktu yang singkat, nama pemenang
sudah harus dikumpulkan kepada panitia acara. Oh, ternyata untuk kali ini, hal
tersebut tidaklah berlaku. Ini sudah skala nasional. Bisa dikatakan begitu.
Terlebih, juri kali ini adalah orang yang sudah malang mellintang di dunia
perpuisian.
Maka tahap awal yang dilakukan adalah, membaca keseluruhan
naskah. Aduhai, diperlukan waktu yang cukup lama untuk menuntaskah naskah
sebanyak itu. Setiap juri harus menentukan nominasi. Nanti di hari yang
ditentukan, nomminasi tersebutlah yg akan dipertimbangkan karyanya. Sungguh tak
berlaku penilaian matematis yang selama ini sering kubuat untuk memberikan penilaian
puisi di lomba - lomba tingkat sekolah. Ya, memang kondisinya berbeda. Aku
hanya pilu saja ketika membayangkan ribuan naskah yang harus dibaca oleh juri.
Sungguh, pekerjaan juri benar - benar memerlukan mata yang bagus.
Ditetapkanlah hari Rabu, 6 September 2017 sebagai rapat
dewan juri. Tempatnya di Lamban Sastra Isbedy. Belum pernah ke sana sebelumnya,
tapi dimudahkan dengan fasilitas gojek. Meskipun sempan nyasar, namun tak
seberapa sulit untuk menemukannya. Kebetulan sekali letak Lamban sastra di tepi
jalan. Pada Googe map juga sudah dilengkapi foto tampak muka. Cukup membantu.
Para juri sudah berkumpul. Perbincangan langsung dimulai. Disuguhi secangkir
kopi oleh Mba Fitri, istri Isbedy Stiawan, penjurian menjadi santai tapi
serius. Rumit juga ketika di antara juri tak menemukan jagoan yang sama. Maka
di sanalah naskah harus dikunyah kembali. Ada yang awalnya menganggap suatu
puisi biasa, ternyata ketika dibaca lagi untuk ke sekian kali, malah menjadi
berbeeda. Mirip juga dengan minum kopi. Alamak, jadi berbeda pembahasannya.
Tapi memang begitulah.
Alhasil, pada sore terlalu lewat, menjelang maghrib,
tersimpulkanlah para pemenang untuk lomba. Tiga saja, diraih oeh para puisi
yang memang berbeda dibanding yang lain, yang banyak berupa pernyataan - pernyataan
gelora semangat layak orang berpidato. Jadi belajar lagi tentang menulis puisi.
Menambah ilmu baru dari penyair sohor tanah Lampung ini.
Bandarlampung, 12 September 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar