Jumat, 28 Juli 2017

Obon, Si Boneka Beruang



Apa yang ada dalam benak kita ketika melihat boneka beruang? Pasti lembut, menggemaskan. Boneka ini tak hanya disukai anak - anak, orang dewasa juga suka. Terlebih jika warna bulunya sudah bervariasi. Putih, merah muda, biru, dan ungu. Semakin bersahabat untuk siapa saja. Tak ada lagi kesan seram dan mengerikan dari sosok beruang yang sebenarnya merupakan binatang buas. Jika dilihat dari ukuran boneka beruang yang juga beragam, menjadikan boneka ini benar - benar bermasyarakat. Dari ukuran gantungan kunci, sampai setinggi lemari. Sudah ada. Menarik bukan? Aku punya cerita tersendiri terkait boneka beruang. Kisahku dan Tsaqif, keponakanku. Ketika itu usianya masih satu tahun lebih. Dimana ia mulai bisa bicara terpatah - patah.

Sang Ibu memiliki boneka beruang berwarna cokelat. Ukurannya besar, tinggi sekitar satu meter. Lebar badannya tentu besar. Karakter boneka beruang adalah besar dan gembul. Namun tetap ada senyum di wajahnya. Itulah yang mungkin sangat berkesan bagi anak kecil. Kita yang dewasa pun merasa begitu.

“ Ini namanya Obon. “

Sembari aku menunjukkan boneka beruang cokelat besar itu. Ukurannya jauh lebih besar dibanding badan keponakanku. Tsaqif tersenyum kemudian tertawa. Aku mengajaknya bermain bersama Obon. Seolah Obon adalah bagian dariku dan Tsaqif. Ikut berkejar - kejaran. Berpelukan, duduk, juga berbaring. Terus diulang - ulang. Tsaqif semakin mengerti. Keesokan harinya, ketika kutanya dimana Obon, ia berlari menuju kamar. Dengan susah payah ia membawa Obon ke hadapanku. Aku bahagia, Tsaqif sudah belajar satu hal yaitu Obon. Boneka beruang besar itu bernama Obon. Mengapa bukan Teddy, Pooh, dan yang lainnya? Sepertinya itu sudah pasaran. Aku ingin ada nama lain untuk boneka beruang itu. Nampaknya Tsaqif sepakat.

Beberapa hari kemudian, adikku membuka obrolan.

“ Uni Yanti, Uham (suami adikku, ayahnya Tsaqif) ngajarin Tsaqif kalau itu namanya beruang. Bukan Obon. Dia nggak mau ngajarin yang salah untuk anaknya.”

Aku terbelalak, kemudian terkekeh. Ternyata adik iparku tidak sepakat dengan penamaan Obon pada boneka itu. Ia juga khawatir kalau anaknya salah mengenali hewan. Ia ingin mengajarkan kepada tsaqif bahwa itu adalah beruang. Bentuknya seperti itu. Apakah aku diam saja? tentu tidak. Dengan kesigapan langsung kutanggapi,

“ Dek, sampaikan ke Uham. Uni Yanti nggak ada maksud untuk mengajarkan yang salah. Lagipula kalau boneka itu dibilang beruang kan lebih salah. Kenapa namanya Obon? Karena itu berasal dari boneka. Biar ringkas dipakai saja penggalannya, Bon. Jadi, Obon ini adalah boneka. Benar, kan? Kalau si Obon dibilang beruang, malah itu yang salah. Yang benar adalah boneka, lebih tepat lagi boneka dengan bentuk beruang.”

Adikku tertawa. Ia membenarkan penjelasanku. Pastilah nanti akan ia sampaikan juga ke suaminya. Tak perlu diperpanjang perdebatan kata. Toh, yang paling penting adalah kita tidak mengajarkan yang salah. Ajarkanlah kebenaran, karena itu adalah bekal untuk mereka di kemudian hari dalam menjalani kehidupan. Tak hanya satu generasi, namun kelak akan terwariskan pada generasi berikutnya. Lantas, bagaimana jika telah terlanjur keliru? Segera lakukan perbaikan. Selalu ada kesempatan untuk memperbaiki, meskipun sedikit, pergunakanlah. Karena yang dipertaruhkan adalah beberapa generasi, maka lakukan segera, jangan terlewati.

Itu adalah kisahku bersama keponakan kecilku dan Obon. Sekarang usianya sudah hampir empat tahun. Bicaranya makin lancar. Lalu, bagaimana kabar Obon? Ia tetap menjadi sahabat Tsaqif. Menjadi bantal ketika tidur, menjadi pesaing ketika sedang makan, bahkan terkadang menjadi teman berbincang (aku menjadi pengisi suara bagi Obon). 

Apakah namanya berubah menjadi beruang? Tidak, namanya tetap Obon. 



Sumber gambar: google.
Tulisan ini bertema Hari Anak Nasional, sebagai tugas Kelas Menulis Blog Seru #2


6 komentar:

TERIMAKASIH TELAH SINGGAH

Perjalanan hidup manusia berputar seperti roda. Suatu saat akan berhenti, bila telah tiba di tujuan. Namun, adakalanya roda itupun berhenti karena hambatan. Hidup beserta masalah adalah lumrah. Memang demikian adanya. Hidup tanpa masalah mungkin juga ada. Akan tetapi, itulah masalahnya, mengapa bisa tidak ada masalah? Normalkah?

Maka kembali pada bagaimana kita menyikapi. Terbelit dalam kerumitan, pikirkanlah solusi; bukan kesulitannya. Karena hal ini akan menjelma beban.

Serahkan pada sang Penguasa semesta, karena Allah swt maha berkehendak. Entah bagaimana penyelesaiannya, terkadang tak pernah sedikitpun terbayang dalam pikiran. Lantas untuk apa lagi ragu? Bila tak sanggup membina diri, bersama iman dan taqwa padaNya, tunggulah kebinasaan itu dari jalan yang tak disangka -sangka.




Yang Akan Dibanggakan

Yang Akan Dibanggakan
Menara Siger Lampung