Apa yang ada dalam benak kita ketika melihat boneka beruang?
Pasti lembut, menggemaskan. Boneka ini tak hanya disukai anak - anak, orang
dewasa juga suka. Terlebih jika warna bulunya sudah bervariasi. Putih, merah
muda, biru, dan ungu. Semakin bersahabat untuk siapa saja. Tak ada lagi kesan
seram dan mengerikan dari sosok beruang yang sebenarnya merupakan binatang
buas. Jika dilihat dari ukuran boneka beruang yang juga beragam, menjadikan boneka
ini benar - benar bermasyarakat. Dari ukuran gantungan kunci, sampai setinggi
lemari. Sudah ada. Menarik bukan? Aku punya cerita tersendiri terkait boneka
beruang. Kisahku dan Tsaqif, keponakanku. Ketika itu usianya masih satu tahun
lebih. Dimana ia mulai bisa bicara terpatah - patah.
Sang Ibu memiliki boneka beruang berwarna cokelat. Ukurannya
besar, tinggi sekitar satu meter. Lebar badannya tentu besar. Karakter boneka
beruang adalah besar dan gembul. Namun tetap ada senyum di wajahnya. Itulah yang
mungkin sangat berkesan bagi anak kecil. Kita yang dewasa pun merasa begitu.
“ Ini namanya Obon. “
Sembari aku menunjukkan boneka beruang cokelat besar itu. Ukurannya
jauh lebih besar dibanding badan keponakanku. Tsaqif tersenyum kemudian
tertawa. Aku mengajaknya bermain bersama Obon. Seolah Obon adalah bagian dariku
dan Tsaqif. Ikut berkejar - kejaran. Berpelukan, duduk, juga berbaring. Terus diulang
- ulang. Tsaqif semakin mengerti. Keesokan harinya, ketika kutanya dimana Obon,
ia berlari menuju kamar. Dengan susah payah ia membawa Obon ke hadapanku. Aku bahagia,
Tsaqif sudah belajar satu hal yaitu Obon. Boneka beruang besar itu bernama
Obon. Mengapa bukan Teddy, Pooh, dan yang lainnya? Sepertinya itu sudah
pasaran. Aku ingin ada nama lain untuk boneka beruang itu. Nampaknya Tsaqif
sepakat.
Beberapa hari kemudian, adikku membuka obrolan.
“ Uni Yanti, Uham (suami adikku, ayahnya Tsaqif) ngajarin
Tsaqif kalau itu namanya beruang. Bukan Obon. Dia nggak mau ngajarin yang salah
untuk anaknya.”
Aku terbelalak, kemudian terkekeh. Ternyata adik iparku
tidak sepakat dengan penamaan Obon pada boneka itu. Ia juga khawatir kalau
anaknya salah mengenali hewan. Ia ingin mengajarkan kepada tsaqif bahwa itu
adalah beruang. Bentuknya seperti itu. Apakah aku diam saja? tentu tidak. Dengan
kesigapan langsung kutanggapi,
“ Dek, sampaikan ke Uham. Uni Yanti nggak ada maksud untuk
mengajarkan yang salah. Lagipula kalau boneka itu dibilang beruang kan lebih
salah. Kenapa namanya Obon? Karena itu berasal dari boneka. Biar ringkas
dipakai saja penggalannya, Bon. Jadi, Obon ini adalah boneka. Benar, kan? Kalau
si Obon dibilang beruang, malah itu yang salah. Yang benar adalah boneka, lebih
tepat lagi boneka dengan bentuk beruang.”
Adikku tertawa. Ia membenarkan penjelasanku. Pastilah nanti
akan ia sampaikan juga ke suaminya. Tak perlu diperpanjang perdebatan kata. Toh,
yang paling penting adalah kita tidak mengajarkan yang salah. Ajarkanlah
kebenaran, karena itu adalah bekal untuk mereka di kemudian hari dalam
menjalani kehidupan. Tak hanya satu generasi, namun kelak akan terwariskan pada
generasi berikutnya. Lantas, bagaimana jika telah terlanjur keliru? Segera lakukan
perbaikan. Selalu ada kesempatan untuk memperbaiki, meskipun sedikit, pergunakanlah.
Karena yang dipertaruhkan adalah beberapa generasi, maka lakukan segera, jangan
terlewati.
Itu adalah kisahku bersama keponakan kecilku dan Obon. Sekarang
usianya sudah hampir empat tahun. Bicaranya makin lancar. Lalu, bagaimana kabar
Obon? Ia tetap menjadi sahabat Tsaqif. Menjadi bantal ketika tidur, menjadi
pesaing ketika sedang makan, bahkan terkadang menjadi teman berbincang (aku
menjadi pengisi suara bagi Obon).
Apakah namanya berubah menjadi beruang? Tidak, namanya tetap
Obon.
Sumber gambar: google.
Tulisan ini bertema Hari Anak Nasional, sebagai tugas Kelas Menulis Blog Seru #2
Obon oh obon, kenapa kamu diam? Bagaimana aku tak diam, obon cuma boneka.hehe
BalasHapusIye, Mba..
HapusWah, salam kenal Obon pasti senang sekali ya dicintai ama Tsaqif
BalasHapusSenang, senang, senang..
HapusObooon... Selalu ada di hati Tasqif... Sweet banget
BalasHapusAlhamdulillah...
Hapus