Rabu, 18 april 2012
Aku ingin menjadikanmu
seperti dulu,
Dekat yang tak perlu lagi
diragukan, bagaimana hati kita bertemu dan berbincang.
Sebenarnya aku ingin lagi
seperti dulu, bersama kita dalam segala penghambaan, dan tujuan yang jelas
tentang bagaimana puisi itu tercipta, dan kepada apa kita persembahkan.
Kemana engkau yang dulu?
Dan kemana pula aku yang dulu? Mengapa kita menjadi pertikel yang sudah hilang
bentuk? Padahal kita sama – sama hidup untuk mengagungkan cinta.
Kepada sesosok yang
kucinta, namun tak sanggup aku untuk meminta cintanya, sedangkan ia sudah
hendak berlalu. Nampaknya aku sudah harus siapkan lagi untuk rasa kehilangan.
Duhai, kemana hendak jiwa berpenopang? Sedang di sekeliling telah mengumbar
semua kesakitan. Ya Tuhan, bagaimana pedih ini kemudian tercipta setelah dekat
kemudian menjauh darinya. Ya Tuhan, betapa rasa ini semakin indah, namun juga
menyisipkan derita berkepanjangan. Benarlah cinta yang terlalu berpengharapan,
maka luka – luka yang tiada berpenentram menjadikan hati ini bisu untuk sekedar
kembali merangkaikan definisi rasa yang sebenarnya ada.
Duhai, sesosok, duhai
seesorang, entah dengan sebutan apa lagi aku memanggilmu? Aku menyudutkan rasa
tapi tak mampu. Saat berhadapan, maka hanya diam. Saat dekat, maka hanya
sejenak terobati, untuk kemudian kembali lagi. Pedih. Sebagai nuansa yang tak
tertandingi untuk kemahaan cinta yang mungki belum tepat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar