Aku dan engkau adalah lentera di gelap yang belum tuntas
usai. Sekedar penerang yang muncul sesaat, namun menyajikan ketenangan dalam
resah yang juga muncul pada saat – saat tertentu.
Kita bisa menjelma menjadi temaram, untuk kemudian mencipta
kedamaian yang berlarut – larut. Adakah kau rasakan sama; ketika waktu itu
muncul, dan debar – debar pudar, digantikan redup cahaya yang mungkin akan
lekas padam, bila tidak kita masing – masing mengokohkannya?
Aku hadir untuk mempertahankannya, kau pun begitu, hadir
untuk meneguhkan masing – masing kegoyahan kita. Bukankah kita penguasa bahasa
hati, yang hanya kita rajanya, dimana hanya kita yang miliki, resah dan pendamai
yang sudah kita paham kepada apa tercipta, dan untuk apa dihadirkan? Untuk
kebersamaan kita, itu adalah jawaban yang tengah bersenandung dalam ngiang –
ngiang kenang. Aku menjaga setiap kejadian di dalam hatiku. Kau dimana?
Di lembar ini, aku melerai antara suka dan duka. Melesatlah
lakon – lakon ragam rasa. Aku suguhkan kecintaan teramat sangat, di balik ragu
yang merenda. Ada kebohongan yang harus tuntas. Ada kejujuran yang harus impas.
Lidah lekat, mata terpejam. Kapan aku usai?
Kau kembali menjadi pengelana, yang tak hiraukan angin gurun
memindahkan gunung pasir. Di akhir pertemuan dalam malam, kau sisipkan kembali
selembar lagu tentang kedamaian. Esok hendak kita jelang, dan hari ini belum
ingin pulang. Senja telah menyesak datang, namun terik masih enggan beranjak.
Ingin hujami kita dengan panas nanar, sementara kita semakin teguh tuk agungkan
cinta.
Bandarlampung, 11 Desember 2011
Waktu belum ingin menyelesaikan pertemuan kita yang terdesak.
Apapun itu, kau tetaplah keabadian yang hendak pudar. Semakin lenyap masa,
semakin gigih partikel – partikel pengokohmu bertaburan. Hendaknya kita
menjelma dalam udara yang lupa bertikai, hingga kita tak lagi resahkan, tentang
esok yang selalu kita lantunkan dalam rencana.
Mungkin sebaiknya, kau menyatu dalam setiap napas. Hingga di
setiap detik peradaban ini semakin teguh untuk meneguhkanmu. Aduhai, bukankah
kita adalah senyawa yang nyaris porak –
poranda? Kalau bukan kita yang menyatukan genggam demi genggam untuk selalu
ingat – mengingatkan, untuk selalu erat – mengeratkan, maka kita sebenarnya
tengah merasakan pedihnya terurai.
Kita,
mencoba mengaitkan napas dengan batin. Menjaga kengerian, agar tetap dalam
tabiatnya. Menjaga kesedihan, agar tetap dalam pilunya. Menjaga kebahagiaan,
agar tetap dalam simfoninya. Sebenarnya, semua membaur, menciptakan keanggunan
dalam penyatuan napas dan batin itu. Betapa kuatnya kata – kata kita. Apakah
kau rasakan, bahwa semua kata yang tertulis telah perlahan meracik mantra untuk
menyihir pasang – pasang mata. Itulah kekuatan kata kita. Maka, cukuplah aku
dan engkau; menyenandungkan syair malam. Udara dingin mendampingi kita teguhkan
cinta. Bila ada yang lain mendekat, maka akan menguatkan kita. Seandainya yang
lain menjauh, maka kita tetaplah teguh. Kita abaikan gersang, kita tepikan
letih. Kau dan aku, yang lain adalah pewarna. Kau adalah pelengkap, dan
terimakasih telah melengkapi hariku.
Tertanda,
Aku, pengelana yang menjumpaimu goyah. Aku, yang
menghampirimu untuk belajar mencinta; dan aku, adalah sesosok yang mencintaimu
seperti cinta itu datang. Desma Hariyanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar