Dan aku menemukan, ketakutan menjalar
Disekujur ragaku yang rapuh
Skeleton ini sudah terlanjur terburai…
Ada pada sendi – sendinya merintih,
Menjerit, tapi
Tak bersuara
Berteriak, tapi berbisik…
Aku takut, sungguh
Bundaran, 30 Mei 2008. 23: 27 WIB
Berisi peristiwa yang terekam, dan tersajikan dalam sesingkat tulisan. Tak sempurna, karena ingatan miliki batasan. Maka pengikatnya adalah catatan.
Senin, 09 Februari 2009
Kisah diselembar malam
Selembar malam, larut, dan berlalu…
Hanya ada segelintir orang yang memperhatikan,
Bergulirnya bumi menuju peraduan,
Sedikit demi sedikit beranjak menyerpih.
Serpihannya kian membuat bumi kokoh,
menjadi keropos.
Hilang makna,
Dilembar akhir malam ini,
Suara makhluk – makhluk ciptaanNya,
Tiada rela beralih dari penantian,
Terhadap cinta sepanjang masa,
Berkeyakinan akan pertemuan disana..
tak cukup.
Lantas, dilembar malam yang akhir,
Tetap basah dalam sujud, lidah tak lagi kerontang,
Oleh sumpah - serapah.
Sudah berganti dengan sucinya perenungan…
Dilembar terakhir malam…
Bertasbihnya alam,
Dan…
Hilang makna,
Dilembar akhir malam ini,
Lelap, lelap,…
Aku cukup fakir untuk bertemu denganNya…
Astaghfirullah al adziim…
01:01 WIB, 9 Mei 2008; Bandar Lampung
Hanya ada segelintir orang yang memperhatikan,
Bergulirnya bumi menuju peraduan,
Sedikit demi sedikit beranjak menyerpih.
Serpihannya kian membuat bumi kokoh,
menjadi keropos.
Hilang makna,
Dilembar akhir malam ini,
Suara makhluk – makhluk ciptaanNya,
Tiada rela beralih dari penantian,
Terhadap cinta sepanjang masa,
Berkeyakinan akan pertemuan disana..
tak cukup.
Lantas, dilembar malam yang akhir,
Tetap basah dalam sujud, lidah tak lagi kerontang,
Oleh sumpah - serapah.
Sudah berganti dengan sucinya perenungan…
Dilembar terakhir malam…
Bertasbihnya alam,
Dan…
Hilang makna,
Dilembar akhir malam ini,
Lelap, lelap,…
Aku cukup fakir untuk bertemu denganNya…
Astaghfirullah al adziim…
01:01 WIB, 9 Mei 2008; Bandar Lampung
Pahlawan Belia
desma hari yanti
Riuh, kilatan cahaya kamera begitu marak. Aku hanya tertunduk. Sesekali aku menutup wajah. Bukan karena malu, tapi cahaya itu menyilaukan. Siapa kalian?! Kalian hanya mencuri sensasi yang kuciptakan! Harusnya kupunya hak paten, bahwa berita ini hanya aku yang boleh mempublikasikan. Kalian pikir aku ini apa?! Aku bukan manusia langka yang patut dipertontonkan! Aku ini…
“ Fara, apapun yang terjadi, jangan pernah berlaku konyol. Kau percaya aku, kan? Aku kan kembali. Aku pasti kembali.”
Suaramu begitu dalam terasa.seperti kau masih disisiku. Merasuki pemikiranku, menghapuskan kecurigaanku, dan yang pasti melunturkan rasa rinduku. Aku memang perlu waktu, untuk mencoba meyakini janji. Janji yang menurutmu suci. Tapi, menurutku itu hanya ocehan sampah. Yang kau bungkus sebegitu indah. Kutimang dan kusanjung janji itu dihati. Kupamerkan pada keluargaku dengan bangga. Bahwa hatiku telah dipersunting sosok rupawan, yang tak tertandingi. Dilihat dari segi apapun, ia sempurna. Jangan pandangi wajahnya, karena akan membirukan hari. Dan jangan pernah kalian curi senyumnya satu lirikan saja, karena kalian kan dahaga. Mencari sosoknya perlu jenjang waktu berhari – hari. Sanggupkah bertahan untuk itu? Ya, jangan sampai kalian dengar senandung hatinya, karena kan membuat raga mati suri. Dalam kematian itu, tak akan ditemui jalan kembali kedunia ini. Kalian akan terjebak dan merangkak menuju hadirnya dengan segala pengorbanan, sampai dapat. Ia terlalu populer dikampus, dengan mudah dapat menjerat dan melepaskan.
“ Fara ,waktu yang menjadi saksi. Aku takkan pernah mengecewakanmu. Seetelah apa yang terjadi, yakinlah bahwa ini adalah bukti sucinya hati kita…”
Suci?! Gombal! Suci, menurutmu. Dalam naluriku ini tetap sampah! Busuk! Bau! Apa itu yang kau anggap suci? Dimana kau belajar makna suci? Nafsu yang sedemikian kumuh kau bilang suci? Suci itu sakral maknanya. Suci itu tak ternoda, begitu putih bersih. Jika dibuat tingkatan, maka suci adalah peringkat pertama dari kesekian putih yang ada didunia. Jika kucongkel hati dalam tubuhmu kala itu kuyakin juga kotor. Bukan hanya itu, otakmu juga kotor, pikiranmu juga kotor! Lakumu juga kotor!
Sudahlah! Hentikan menatapku seperti itu! Kalian menganggapku menjijikkan? Aku ini ciptaan Sang Maha! Kalau kalian menghinaku, berarti kalian menghina penciptaku. Kalian tahukan siapa penciptaku? Ya, benar! Penciptaku adalah waktu. Waktu dan dunia yang bergejolak. Lingkungan yang amburadul. Petaka yang ku emban. Janji yang kupertahankan dijiwa yang bersih namun ternoda.
Aku malu, mengatakan Ia adalah Sang Penciptaku. Ia menciptakanku dengan janji, bahwa aku harus mengabdi untuk mendapatkan surga diakhir nanti. Maka aku harus berbudi selama nafasku berhembus. Bijak bukan? Tapi, aku berkhianat. Sepenuh kasih Ia menjagaku dari sebelum janin sampai begini, tapi aku pongah. Aku merasa dunia tak lagi berpenghuni. Seolah Ia menelantarkanku digurun gersang, dalam kehausan dan penuh derita. Aku sudah ucapkan doa, namun Ia abaikan aku! Padahal aku sudah sepenuh harap dalam penantian. Aku terhenyak dikericuhan hari yang hampa. Sampai kutemukan keteduhan pada dirinya yang hadir menentramkan ditengah kehausanku. Ia menerima hatiku yang resah dengan terbuka. Sosoknya mengayomiku. Aku sudah lupakan Dia Sang Maha, yang menaungi jagad raya beserta isinya. Bagiku cerita – cerita cinta padaNya, yang dulu kubanggakan dihadapan khalayak adalah omong kosong. Karena aku tetap saja bertanya, mengapa aku tak berkesudahan memautkan rindu yang tak berbalas? Akhir nanti? Kapan?! Duniaku selama ini berada dalam kungkungan ruang, penuh tumpukan buku – buku tebal, kitab – kitab yang katanya merupakan jalan penerang menuju cintaMu. Aku tetap tak dapatkan.
Sudah kulenyapkan ruang sumpek itu. Kuganti dengan ruang yang benar – benar menggairahkan. Foto – foto mu kupajang dimeja, didinding, disampul buku. Semua ada tentang dirimu. Boneka – boneka lucu, surat dengan syair penyembuh rindu. Sering kubaca ulang saat tengah malam ketika mata sulit terpejam. Menyebut nama dan mengangankanmu, saat lolongan binatang malam menyeruak mengantarkan berita kematian dan membuatku bergidik. Dirimu melengkapi dan menyempurnakanku
Mengapa kalian masih memandangiku? Oh…aku cantik? Ya, aku memang cantik. Apalagi ketika aku masih diawal menjadi mahasiswa. Mereka bilang aku anggun dengan jilbabku. Terlebih senyumku yang menggetarkan hati. Senyum yang telah membuat hati terkapar penuh harap bahwa senyumku akan muncul tersaji untuk mereka. Tapi sayang, senyum ini pun hanya kubingkiskan untuknya. Aduhai, kau telah membuatku ada dan kau pula yang telah membuatku mati.
Terngiang lagi disaat aku begitu layu dihadapanmu. Ditiupan angin pantai yang panas. Kita masih berjalan beriringan. Sesekali rangkulanmu kembali menentramkan.
“ Aku tak mungkin begini terus…”
“ Kau harus bertahan, Fara. Bersabarlah. Setelah aku diterima S2 di Australia, aku akan memboyongmu. Tak peduli orangtuaku dan keluargamu. Kita akan memulai hidup kita, hidup yang baru bersama cinta kita…”
“ Aku tak mungkin menyembunyikan…”
“ Kau tak perlu sembunyikan cinta kita. Ungkapkanlah kejujuran. Toh kita memulai dengan cinta. Kita harus menjaganya dengan cinta. Ia adalah bukti cinta kita.”
Pembohong! Kemana kau saat aku sendiri. Kau bisa berucap cinta. Tapi ia berada dalam ragaku! Aku, tanpa disuruh pun dituntut mencintainya. Andai ia tak berada ditubuhku, bebas aku berkelana mengejarmu kelempengan bumi lain disana. Katamu, menuntut ilmu? Sayangku, aku malu membiarkan tubuh ini membengkak karena cinta kita. Keluargaku mulai bertanya macam – macam. Keluargamu kian memusuhiku. Menyembunyikan keberadaanmu. Menceramahi dengan berjuta nasehat pedih menusuk. Kata mereka: Akhiri saja cinta ini. Dimana jiwa mereka? Kau juga adalah cinta mereka. Apa mereka tega melenyapkanmu? Tidak, kan? Bahkan mereka melindungimu, menyembunyikanmu dari tuntutan tanggung jawab. Kenapa kalian masih menatapku? Kalian kini jijik dengan jilbabku? Barusan aku memakainya, setelah sujudku di sepertiga malam terakhir. Aku baru sadari, setelah ragam peristiwa yang kualami. Sungguhnya aku masih punya hati.
Sayangku, aku telah mengakhiri cinta kita. Setelah perjuangannya menembus dan bertengger dirahimku, bertahan dalam cerca dan gunjingan, dalam hina dan kutukan, dan setelah ia berhasil membuat janji dengan Sang Pencipta dan mendapatkan nyawa, cinta ini pun berhasil keluar merasakan dunia. Tapi aku menelantarkannya, hingga ia menderita. Aku mencintainya. Itu sebab aku takut ia akan menderita. Aku takut ia akan lebih tersiksa didunia yang ganas ini. Aku tak rela cinta suciku mengalami kisah sepertiku. Yang gamang mencari cinta didunia, padahal Sang Maha Pencipta sudah menjanjikan cinta abadi di hari akhir.
Lebih baik ia bersama cinta Sang Maha Pencipta yang takkan mungkin ingkar janji. Melewati tahap – tahap dirahimku, ia adalah pejuang tangguh. Menemui dunia bersama nyawa adalah bukti keperkasaannya. Bagiku, ia adalah pahlawan belia. Memasuki dunia kubur yang gelap sendiripun bukti kepahlawanannya. Ia adalah pahlawan belia yang tak terkalahkan.
Tinggal aku didunia ini. Setelah melepas pahlawan beliaku, sapaan ayah dan bunda menyergap. Mereka tak izinkan aku menyertainya. Mereka melarang aku menusukkan belati dijantung ini, seperti yang kulakukan padanya. Bukankah mati harus dibalas mati? Ayah dan bunda kembali menawarkan cinta Sang Maha Segala. Setelah seluruh jasad teracuni, aku kembali dipersunting cinta Sang Khalik. Aku kembali menemui ruang hampa seperti dulu. Namun tidak bersama tumpukan buku – buku tebalku yang mencerdaskan. Dibalik teralis besi ini aku tersudut, setelah pengakuanku dihadapan mereka usai persidangan yang banyak menarik mata. Bersama makian, hinaan, dan kutukan dari berjuta lidah. Setidaknya aku telah membebaskan pahlawan beliaku dari cerca dunia. Omong kosong, mereka berdalih akan merawat cintaku daripada ditikam. Orang –orang itu berlidah elastis. Kata – kata terlontar semaunya. Mudah ditarik ulur. Aku tak peduli. Hanya Dialah yang maha mengetahui betapa beratnya hati ini mengemban getirnya cinta dalam tubuh. Dia Sang Maha yang begitu bijaksana mengulurkan kembali janjiNya kepada setiap pendosa…
“ Sesungguhnya Aku Maha Pengampun…”
“ Sesungguhnya Aku amatlah dekat…”
Rasanya tak ingin lagi aku menuntut cinta yang lain. Cukuplah bagiku janjiNya. Kuharap ada terluang jalan ampunanku dikehidupan yang masih akan terus kutapaki. Agar ada aku bertemu pahlawan beliaku yang menanti bersamaNya.
Perpustakaan Unila, 18 Juni 2007
Riuh, kilatan cahaya kamera begitu marak. Aku hanya tertunduk. Sesekali aku menutup wajah. Bukan karena malu, tapi cahaya itu menyilaukan. Siapa kalian?! Kalian hanya mencuri sensasi yang kuciptakan! Harusnya kupunya hak paten, bahwa berita ini hanya aku yang boleh mempublikasikan. Kalian pikir aku ini apa?! Aku bukan manusia langka yang patut dipertontonkan! Aku ini…
“ Fara, apapun yang terjadi, jangan pernah berlaku konyol. Kau percaya aku, kan? Aku kan kembali. Aku pasti kembali.”
Suaramu begitu dalam terasa.seperti kau masih disisiku. Merasuki pemikiranku, menghapuskan kecurigaanku, dan yang pasti melunturkan rasa rinduku. Aku memang perlu waktu, untuk mencoba meyakini janji. Janji yang menurutmu suci. Tapi, menurutku itu hanya ocehan sampah. Yang kau bungkus sebegitu indah. Kutimang dan kusanjung janji itu dihati. Kupamerkan pada keluargaku dengan bangga. Bahwa hatiku telah dipersunting sosok rupawan, yang tak tertandingi. Dilihat dari segi apapun, ia sempurna. Jangan pandangi wajahnya, karena akan membirukan hari. Dan jangan pernah kalian curi senyumnya satu lirikan saja, karena kalian kan dahaga. Mencari sosoknya perlu jenjang waktu berhari – hari. Sanggupkah bertahan untuk itu? Ya, jangan sampai kalian dengar senandung hatinya, karena kan membuat raga mati suri. Dalam kematian itu, tak akan ditemui jalan kembali kedunia ini. Kalian akan terjebak dan merangkak menuju hadirnya dengan segala pengorbanan, sampai dapat. Ia terlalu populer dikampus, dengan mudah dapat menjerat dan melepaskan.
“ Fara ,waktu yang menjadi saksi. Aku takkan pernah mengecewakanmu. Seetelah apa yang terjadi, yakinlah bahwa ini adalah bukti sucinya hati kita…”
Suci?! Gombal! Suci, menurutmu. Dalam naluriku ini tetap sampah! Busuk! Bau! Apa itu yang kau anggap suci? Dimana kau belajar makna suci? Nafsu yang sedemikian kumuh kau bilang suci? Suci itu sakral maknanya. Suci itu tak ternoda, begitu putih bersih. Jika dibuat tingkatan, maka suci adalah peringkat pertama dari kesekian putih yang ada didunia. Jika kucongkel hati dalam tubuhmu kala itu kuyakin juga kotor. Bukan hanya itu, otakmu juga kotor, pikiranmu juga kotor! Lakumu juga kotor!
Sudahlah! Hentikan menatapku seperti itu! Kalian menganggapku menjijikkan? Aku ini ciptaan Sang Maha! Kalau kalian menghinaku, berarti kalian menghina penciptaku. Kalian tahukan siapa penciptaku? Ya, benar! Penciptaku adalah waktu. Waktu dan dunia yang bergejolak. Lingkungan yang amburadul. Petaka yang ku emban. Janji yang kupertahankan dijiwa yang bersih namun ternoda.
Aku malu, mengatakan Ia adalah Sang Penciptaku. Ia menciptakanku dengan janji, bahwa aku harus mengabdi untuk mendapatkan surga diakhir nanti. Maka aku harus berbudi selama nafasku berhembus. Bijak bukan? Tapi, aku berkhianat. Sepenuh kasih Ia menjagaku dari sebelum janin sampai begini, tapi aku pongah. Aku merasa dunia tak lagi berpenghuni. Seolah Ia menelantarkanku digurun gersang, dalam kehausan dan penuh derita. Aku sudah ucapkan doa, namun Ia abaikan aku! Padahal aku sudah sepenuh harap dalam penantian. Aku terhenyak dikericuhan hari yang hampa. Sampai kutemukan keteduhan pada dirinya yang hadir menentramkan ditengah kehausanku. Ia menerima hatiku yang resah dengan terbuka. Sosoknya mengayomiku. Aku sudah lupakan Dia Sang Maha, yang menaungi jagad raya beserta isinya. Bagiku cerita – cerita cinta padaNya, yang dulu kubanggakan dihadapan khalayak adalah omong kosong. Karena aku tetap saja bertanya, mengapa aku tak berkesudahan memautkan rindu yang tak berbalas? Akhir nanti? Kapan?! Duniaku selama ini berada dalam kungkungan ruang, penuh tumpukan buku – buku tebal, kitab – kitab yang katanya merupakan jalan penerang menuju cintaMu. Aku tetap tak dapatkan.
Sudah kulenyapkan ruang sumpek itu. Kuganti dengan ruang yang benar – benar menggairahkan. Foto – foto mu kupajang dimeja, didinding, disampul buku. Semua ada tentang dirimu. Boneka – boneka lucu, surat dengan syair penyembuh rindu. Sering kubaca ulang saat tengah malam ketika mata sulit terpejam. Menyebut nama dan mengangankanmu, saat lolongan binatang malam menyeruak mengantarkan berita kematian dan membuatku bergidik. Dirimu melengkapi dan menyempurnakanku
Mengapa kalian masih memandangiku? Oh…aku cantik? Ya, aku memang cantik. Apalagi ketika aku masih diawal menjadi mahasiswa. Mereka bilang aku anggun dengan jilbabku. Terlebih senyumku yang menggetarkan hati. Senyum yang telah membuat hati terkapar penuh harap bahwa senyumku akan muncul tersaji untuk mereka. Tapi sayang, senyum ini pun hanya kubingkiskan untuknya. Aduhai, kau telah membuatku ada dan kau pula yang telah membuatku mati.
Terngiang lagi disaat aku begitu layu dihadapanmu. Ditiupan angin pantai yang panas. Kita masih berjalan beriringan. Sesekali rangkulanmu kembali menentramkan.
“ Aku tak mungkin begini terus…”
“ Kau harus bertahan, Fara. Bersabarlah. Setelah aku diterima S2 di Australia, aku akan memboyongmu. Tak peduli orangtuaku dan keluargamu. Kita akan memulai hidup kita, hidup yang baru bersama cinta kita…”
“ Aku tak mungkin menyembunyikan…”
“ Kau tak perlu sembunyikan cinta kita. Ungkapkanlah kejujuran. Toh kita memulai dengan cinta. Kita harus menjaganya dengan cinta. Ia adalah bukti cinta kita.”
Pembohong! Kemana kau saat aku sendiri. Kau bisa berucap cinta. Tapi ia berada dalam ragaku! Aku, tanpa disuruh pun dituntut mencintainya. Andai ia tak berada ditubuhku, bebas aku berkelana mengejarmu kelempengan bumi lain disana. Katamu, menuntut ilmu? Sayangku, aku malu membiarkan tubuh ini membengkak karena cinta kita. Keluargaku mulai bertanya macam – macam. Keluargamu kian memusuhiku. Menyembunyikan keberadaanmu. Menceramahi dengan berjuta nasehat pedih menusuk. Kata mereka: Akhiri saja cinta ini. Dimana jiwa mereka? Kau juga adalah cinta mereka. Apa mereka tega melenyapkanmu? Tidak, kan? Bahkan mereka melindungimu, menyembunyikanmu dari tuntutan tanggung jawab. Kenapa kalian masih menatapku? Kalian kini jijik dengan jilbabku? Barusan aku memakainya, setelah sujudku di sepertiga malam terakhir. Aku baru sadari, setelah ragam peristiwa yang kualami. Sungguhnya aku masih punya hati.
Sayangku, aku telah mengakhiri cinta kita. Setelah perjuangannya menembus dan bertengger dirahimku, bertahan dalam cerca dan gunjingan, dalam hina dan kutukan, dan setelah ia berhasil membuat janji dengan Sang Pencipta dan mendapatkan nyawa, cinta ini pun berhasil keluar merasakan dunia. Tapi aku menelantarkannya, hingga ia menderita. Aku mencintainya. Itu sebab aku takut ia akan menderita. Aku takut ia akan lebih tersiksa didunia yang ganas ini. Aku tak rela cinta suciku mengalami kisah sepertiku. Yang gamang mencari cinta didunia, padahal Sang Maha Pencipta sudah menjanjikan cinta abadi di hari akhir.
Lebih baik ia bersama cinta Sang Maha Pencipta yang takkan mungkin ingkar janji. Melewati tahap – tahap dirahimku, ia adalah pejuang tangguh. Menemui dunia bersama nyawa adalah bukti keperkasaannya. Bagiku, ia adalah pahlawan belia. Memasuki dunia kubur yang gelap sendiripun bukti kepahlawanannya. Ia adalah pahlawan belia yang tak terkalahkan.
Tinggal aku didunia ini. Setelah melepas pahlawan beliaku, sapaan ayah dan bunda menyergap. Mereka tak izinkan aku menyertainya. Mereka melarang aku menusukkan belati dijantung ini, seperti yang kulakukan padanya. Bukankah mati harus dibalas mati? Ayah dan bunda kembali menawarkan cinta Sang Maha Segala. Setelah seluruh jasad teracuni, aku kembali dipersunting cinta Sang Khalik. Aku kembali menemui ruang hampa seperti dulu. Namun tidak bersama tumpukan buku – buku tebalku yang mencerdaskan. Dibalik teralis besi ini aku tersudut, setelah pengakuanku dihadapan mereka usai persidangan yang banyak menarik mata. Bersama makian, hinaan, dan kutukan dari berjuta lidah. Setidaknya aku telah membebaskan pahlawan beliaku dari cerca dunia. Omong kosong, mereka berdalih akan merawat cintaku daripada ditikam. Orang –orang itu berlidah elastis. Kata – kata terlontar semaunya. Mudah ditarik ulur. Aku tak peduli. Hanya Dialah yang maha mengetahui betapa beratnya hati ini mengemban getirnya cinta dalam tubuh. Dia Sang Maha yang begitu bijaksana mengulurkan kembali janjiNya kepada setiap pendosa…
“ Sesungguhnya Aku Maha Pengampun…”
“ Sesungguhnya Aku amatlah dekat…”
Rasanya tak ingin lagi aku menuntut cinta yang lain. Cukuplah bagiku janjiNya. Kuharap ada terluang jalan ampunanku dikehidupan yang masih akan terus kutapaki. Agar ada aku bertemu pahlawan beliaku yang menanti bersamaNya.
Perpustakaan Unila, 18 Juni 2007
Segenggam Abu di Kampung Halaman
Segenggam Abu di Kampung Halaman
Desma Hari Yanti
Setelah melewati jalan mendaki, mobil ini akan memasuki kawasan perkebunan karet. Hijau menyejukkan mata. Setidaknya bisa mengurangi panas terik yang serasa tengah memanggang. Penuh sesak para penumpang. Mobil bermuatan 11 orang dijejali 20 nyawa. Berebut oksigen dengan beberapa balita dan bayi. Jok depan ada 4 penumpang beserta sopir. Begitu pula tiga deret jok di belakang, telah padat dengan 12 orang. Bayi dan balita duduk di pangkuan ibunya masing – masing. Aku sendiri kebagian jatah memangku seorang anak kecil, karena ibunya menggendong bayi. Posisiku terjepit antara si ibu dan seorang wanita yang tertidur. Sungguh posisi yang tak menguntungkan. Tak bisa bergerak. Aku telah banjir keringat. Untuk mengambil saputangan di tasku saja tak bisa. Kalau bukan karena petuah ayah, mungkin aku akan nekat pulang naik motor. Kematian Bintang, tetanggaku, menyisakan trauma orang sekampung. Motornya raib bersama pembunuhnya. Jasadnya diketemukan sudah membusuk dengan usus terburai di tempat pembuangan sampah. Hampir muntah aku mendengar cerita itu. Kajahatan kian meraja, rasa aman menjadi mahal di negeri ini. Rasa nyaman apalagi.
Di depan pabrik Japfa mobil berhenti. Bukan menurunkan penumpang, malah menaikkan penumpang. Laki – laki di depanku turun otomatis. Seorang wanita menggantikan posisinya. Laki – laki tadi bergantung di pintu mobil. “ Dahulukan wanita dan ibu hamil”, masih tetap berlaku di sini. Bau amis menyeruak ke dalam mobil. Tentu dari wanita itu. Pabrik Japfa ini menolah sisa – sisa produksi ikan kaleng menjadi pakan ternak. Spontan aku menutup hidung. Ia hanya membuang muka. Penumpang lain tak begitu peduli. Perutku mulai mual. Bau keringat, bau amis, dan yang lebih menjengkelkan lagi asap rokok dari si sopir, semua berbaur. Memenuhi rongga hidung para penumpang. Perlahan racun – racun itu menyusup ke dalam tubuh – tubuh manusia yang terperangkap dalam sesak. Dalam jangka waktu ke depan, kerusakan generasi adalah suatu yang pasti.
Kawasan gersang telah berganti. Pohon – pohon karet berbaris rapi. Membentuk lorong – lorong tanpa ujung. Tiang – tiangnya adalah batang – batang kokoh, daun – daunnya yang subur memayungi dari sinar sangar matahari. Mobil berhenti. Lima orang turun sekaligus, kemudian ibu dan anak – anaknya. Bebanku berkurang. Dudukpun sudah mulai lapang, meski belum nyaman. Asap rokok masih mengepul. Laju mobil bertambah kencang. Wanita di sebelahku menggeliat.
“ Turun di mana, Mas?” Sambil mengucek matanya.
“ Di Sidorejo, mba’ turun di mana?”
“ Di Pugung Raharjo. Di Unila ambil jurusan apa, Mas?”
“ Kimia.” Jawabku singkat.
Perlahan ku tutupi pin – pin Unila yang tersemat di tasku. Bangga sebenarnya. Hanya aku takut dibilang sombong, mentang – mentang kuliah di Unila. Karena bukan sembarang orang bisa masuk perguruan tinggi negeri ini. Di kampungku saja, hanya aku seorang. Selain itu aku malu juga, karena sudah nyaris enam tahun belum lulus S 1. sedang teman yang seangkatan denganku, ada yang hamper lulus S2.
“ Semester berapa, Mas?”
Gedubrak ! Pertanyaan yang membuatku makin sulit bernapas. Tak ada mendung dan hujan, namun pertanyaan ini lebih menggelegar dibanding petir dan halilintar. Lebih menusuk dibanding tusukan 1000 belati. Dan berpotensi membunuh seperti hujaman panah beracun.
“ Semester akhir.” Jawaban seorang pengecut.
Kupejamkan mata sejenak, mengatur napas agar jangan berhenti. Berharap pertanyaan itu tak mengusikku lagi. Tak ada obrolan. Para penumpang melepas letih. Pabrik – pabrik di kawasan Lampung Timur ini cukup menyerap tenaga kerja. Meskipun dampak limbahnya sangat mengganggu lingkungan. Namun masyarakat tak bisa berbuat apa – apa. Jika pabrik ditutup, mereka akan jadi pengangguran. Hendak makan apa? Sedang lahan tak punya. Maka tak heran jika tiba – tiba muncul maling dadakan, bahkan pengemis dadakan.
“ Lihat, Mas. Sampah di sini makin hari makin numpuk aja! Padahal dulu Cuma tempat sampah kecil. Sekarang malah memenuhi sepanjang jalan. Ga’ langsung dibakar sih! Dasar, orang – orang sekarang pada malas. Kalau begini terus kan bisa menimbulkan penyakit. Sebentar lagi pasti baunya mengganggu orang – orang yang lewat jalan ini.”
Di sisi kiri jalan, sampah telah menumpuk sepanjang 10 meter. Menutupi got – got aliran air.
“ Justru kalau dibakar bisa memperparah global warming, mba’. Lapisan ozon makin berkurang, dan dampaknya lebih parah lagi. Suhu bumi bisa lebih panas dari hari ini.” Komentarku seraya mengusap keringat.
“ Iya, Mas. Bener banget! Harusnya manusia lebih sadar dan bertanggung jawab. Saya pernah baca artikel yang ditulis seorang mahasiswa teknik kimia, tentang pengelolaan sampah. Bagaimana proses pengelolaan sampah itu sehingga bisa menghasilkan gas yang bermanfaat sebagai bahan bakar. Selain itu juga bisa dijadikan pupuk. Cuma, saya bukan orang kuliahan. Saya ga’ tahu bahan – bahan yang diperlukan itu yang seperti apa. Padahal kalau ada yang mengarahkan, saya yakin masyarakat akan mencobanya.”
“ Sebenarnya tidak sulit kok, mba’. Cukup buat lubang besar, kemudian masukkan sampah – sampah organik ke dalam lubang tadi dan tutup dengan plastik besar atau terpal, agar gas metan yang dihasilkan sampah – sampah itu terperangkap. Setelah beberapa hari terpal itu akan mengembang, berarti gas metan sudah terbentuk. Kita tinggal menyiapkan drum tempat penampungan gas metan ini, dan 2 pipa. Satu untuk slang yang menyalurkan gas dari tempat penghasil gas ke drum, dan satu lagi diberi kran dan slang untuk mengalirkan gas ke kompor. Ini yang disebut biogas, mba’.”
“ Mana aku tahu apa itu miogas, metan, organik? Sebaiknya memang ahli – ahli kimia itu terjun langsung. Jadi mereka tahu sampah – sampah mana yang bisa dijadikan pupuk, yang didaur ulang, yang bisa dibuat gas tadi. Kalau sekarang, yang jadi tukang sampah itu orang kere, kadang orang yang udah ringkih, yang ga’ punya ilmu apa – apa selain ngandelin otot. Dan nrimo dengan upah kecil. Di desa saya juga sampah – sampah yang menggunung itu dibakar. Kalau lewat tempat itu, baunya…ampun. Padahal lokasinya dekat pasar. Disana banyak yang jual makanan, sayuran, ikan. Kabayangkan, Mas bahayanya?”
Aku hanya diam. Sesekali mobil berguncang karena jalanan rusak. Padahal belum ada beberapa bulan diperbaiki.
“ Memang seharusnya yang jadi tukang sampah, ya para ahli kimia itu. Biar pengelolaannya baik dan tepat. Untuk apa mereka sekedar ngoceh – ngoceh ngasih ceramah dan teori – teori. Kita ga’ bakal ngerti dengan istilah – istilah orang – orang pinter itu. Syukur – syukur tamat SMA, kadang juga SD sudah berhenti. Lebih baik ilmu mereka itu langsung diterapkan dan bisa bermanfaat untuk lingkungannya, gitu kan, Mas?”
Sekali anggukan untuk mendukung pernyataan wanita itu. Meski di sudut hati aku tergelitik membayangkan para ahli kimia, yang kuliah bertahun – tahun, dengan biaya besar, ternyata jadi tukang sampah dengan gaji kecil. Tapi, memang begitu seharusnya. Jika ingin pengelolaan yang baik, maka harus dihandle oleh yang berkompeten. Benarkah ada yang seperti itu? Semua orang sekolah tinggi – tinggi bertujuan agar kelak bisa hidup senang. Dengan ilmu yang mereka miliki tak perlu kerja susah, tapi bisa hidup mewah. Ayah akan marah besar jika setelah lulus, aku jadi tukang sampah. Keliling kampung dengan gerobak, memunguti sampah – sampah penuh penyakit. Dikerumuni lalat – lalat, bukan para wartawan atau penggemar yang salut dan kagum dengan penemuan baru. Alamak! PR unik untuk generasi pewaris negeri. Wanita itu turun di perempatan Pugung Raharjo, setelah itu naik seorang laki – laki tua. Si calo mendatangi sopir, meminta uang. Si sopir memberi sambil mengumpat. Segala kutukan tertuju pada calo itu.
“ Enak amat dia. Ongkang – ongkang kaki minta duit. Kita ngumpulin dari pagi sampai sore, belum untuk setoran. Biar, pokoknya saya ga’ ikhlas!”
“ Ya, ga’ apa – apa lah, pir. Daripada ribut…” Kata bapak di sampingku.
“ Iya, Pak. Saya Cuma ga’ mau ribut. Bayanginlah, ongkos ke Sidorejo 3000, eh… dia ambil 2000. saya Cuma dapat 1000. apa ngga’ keterlaluan?! Mau protes sama siapa saya ini, kalau ga’ dikasih nanti panjang urusannya.”
Mobil melaju kencang, meninggalkan kutukan pada angin dan malaikat yang setia mencatat. Langit biru masih memayungi bumi. Panas terik menciptakan fatamorgana di aspal. Genangan air di permukaan jalan tak akan pernah dijumpai meskipun telah sampai di tampat awal terlihat. Pohon – pohon telah jarang. Tiang – tiang listrik berdiri pongah, ruko – ruko menjulang di kanan kiri jalan menandaskan pembangunan yang megah. Meskipun di daerah Lampung, rumah panggung sudah tidak ada di sini. Satu kebudayaan masyarakat telah punah. Mereka lebih memilih bangunan modern daripada rumah panggung yang unik. Hanya rumah informasi Taman Purbakala yang tetap kokoh berdiri dalam bentuk panggung, di Pugung Raharjo. Simbol ketegaran yang tak lapuk dimakan zaman.
“ Turun mana, Mas?”
Lamunanku membuyar.
“ Pasar Sidorejo. Bapak turun di mana?”
“ Sama. Ikut kebakar ga’ rumahmu semalam?”
Aku mengerutkan dahi.
“ Kebakar? Kebakar gimana, Pak?”
“ Lho? Kamu ga’ tahu ya?”
Hanya gelengan kepala sebagai jawabanku.
“ Ratusan ruko di sana terbakar semalam. Api baru padam pagi tadi. Toko saya ludes semua. Ga’ ada sisa. Saya ga’ sempat menyelamatkan dagangan. Lha wong rumah saya di pugung. Berita sampai ke saya sudah jam 11 malam…”
Pikiranku melesat pada perbincangan dengan ayah sebulan yang lalu. Tentang keputusan pasar inpres. Semua pemilik pasar tak resmi itu harus segera hengkang tanpa ganti rugi. Kalau mau tinggal di sana harus menebus ruko yang akan didirikan di tanah tersebut, dengan harga tinggi. Tentu masyarakat menolak. Demonstrasi besar – besaran pun terjadi. Aku saja ikut orasi ke balai desa. Membuat tulisan – tulisan protes di karton, menyuarakan kepedihan ratusan warga, melantangkan isak harap yang selama ini tertindas. Akhirnya masyarakat menang kala itu. Pegawai kelurahan hanya bisa pucat dan tertunduk. Wajah merah mereka memendam misteri. Misteri yang menurutku telah terpecahkan hari ini.
Bandarlampung; Sabtu, 10 Januari 2009
Desma Hari Yanti
Setelah melewati jalan mendaki, mobil ini akan memasuki kawasan perkebunan karet. Hijau menyejukkan mata. Setidaknya bisa mengurangi panas terik yang serasa tengah memanggang. Penuh sesak para penumpang. Mobil bermuatan 11 orang dijejali 20 nyawa. Berebut oksigen dengan beberapa balita dan bayi. Jok depan ada 4 penumpang beserta sopir. Begitu pula tiga deret jok di belakang, telah padat dengan 12 orang. Bayi dan balita duduk di pangkuan ibunya masing – masing. Aku sendiri kebagian jatah memangku seorang anak kecil, karena ibunya menggendong bayi. Posisiku terjepit antara si ibu dan seorang wanita yang tertidur. Sungguh posisi yang tak menguntungkan. Tak bisa bergerak. Aku telah banjir keringat. Untuk mengambil saputangan di tasku saja tak bisa. Kalau bukan karena petuah ayah, mungkin aku akan nekat pulang naik motor. Kematian Bintang, tetanggaku, menyisakan trauma orang sekampung. Motornya raib bersama pembunuhnya. Jasadnya diketemukan sudah membusuk dengan usus terburai di tempat pembuangan sampah. Hampir muntah aku mendengar cerita itu. Kajahatan kian meraja, rasa aman menjadi mahal di negeri ini. Rasa nyaman apalagi.
Di depan pabrik Japfa mobil berhenti. Bukan menurunkan penumpang, malah menaikkan penumpang. Laki – laki di depanku turun otomatis. Seorang wanita menggantikan posisinya. Laki – laki tadi bergantung di pintu mobil. “ Dahulukan wanita dan ibu hamil”, masih tetap berlaku di sini. Bau amis menyeruak ke dalam mobil. Tentu dari wanita itu. Pabrik Japfa ini menolah sisa – sisa produksi ikan kaleng menjadi pakan ternak. Spontan aku menutup hidung. Ia hanya membuang muka. Penumpang lain tak begitu peduli. Perutku mulai mual. Bau keringat, bau amis, dan yang lebih menjengkelkan lagi asap rokok dari si sopir, semua berbaur. Memenuhi rongga hidung para penumpang. Perlahan racun – racun itu menyusup ke dalam tubuh – tubuh manusia yang terperangkap dalam sesak. Dalam jangka waktu ke depan, kerusakan generasi adalah suatu yang pasti.
Kawasan gersang telah berganti. Pohon – pohon karet berbaris rapi. Membentuk lorong – lorong tanpa ujung. Tiang – tiangnya adalah batang – batang kokoh, daun – daunnya yang subur memayungi dari sinar sangar matahari. Mobil berhenti. Lima orang turun sekaligus, kemudian ibu dan anak – anaknya. Bebanku berkurang. Dudukpun sudah mulai lapang, meski belum nyaman. Asap rokok masih mengepul. Laju mobil bertambah kencang. Wanita di sebelahku menggeliat.
“ Turun di mana, Mas?” Sambil mengucek matanya.
“ Di Sidorejo, mba’ turun di mana?”
“ Di Pugung Raharjo. Di Unila ambil jurusan apa, Mas?”
“ Kimia.” Jawabku singkat.
Perlahan ku tutupi pin – pin Unila yang tersemat di tasku. Bangga sebenarnya. Hanya aku takut dibilang sombong, mentang – mentang kuliah di Unila. Karena bukan sembarang orang bisa masuk perguruan tinggi negeri ini. Di kampungku saja, hanya aku seorang. Selain itu aku malu juga, karena sudah nyaris enam tahun belum lulus S 1. sedang teman yang seangkatan denganku, ada yang hamper lulus S2.
“ Semester berapa, Mas?”
Gedubrak ! Pertanyaan yang membuatku makin sulit bernapas. Tak ada mendung dan hujan, namun pertanyaan ini lebih menggelegar dibanding petir dan halilintar. Lebih menusuk dibanding tusukan 1000 belati. Dan berpotensi membunuh seperti hujaman panah beracun.
“ Semester akhir.” Jawaban seorang pengecut.
Kupejamkan mata sejenak, mengatur napas agar jangan berhenti. Berharap pertanyaan itu tak mengusikku lagi. Tak ada obrolan. Para penumpang melepas letih. Pabrik – pabrik di kawasan Lampung Timur ini cukup menyerap tenaga kerja. Meskipun dampak limbahnya sangat mengganggu lingkungan. Namun masyarakat tak bisa berbuat apa – apa. Jika pabrik ditutup, mereka akan jadi pengangguran. Hendak makan apa? Sedang lahan tak punya. Maka tak heran jika tiba – tiba muncul maling dadakan, bahkan pengemis dadakan.
“ Lihat, Mas. Sampah di sini makin hari makin numpuk aja! Padahal dulu Cuma tempat sampah kecil. Sekarang malah memenuhi sepanjang jalan. Ga’ langsung dibakar sih! Dasar, orang – orang sekarang pada malas. Kalau begini terus kan bisa menimbulkan penyakit. Sebentar lagi pasti baunya mengganggu orang – orang yang lewat jalan ini.”
Di sisi kiri jalan, sampah telah menumpuk sepanjang 10 meter. Menutupi got – got aliran air.
“ Justru kalau dibakar bisa memperparah global warming, mba’. Lapisan ozon makin berkurang, dan dampaknya lebih parah lagi. Suhu bumi bisa lebih panas dari hari ini.” Komentarku seraya mengusap keringat.
“ Iya, Mas. Bener banget! Harusnya manusia lebih sadar dan bertanggung jawab. Saya pernah baca artikel yang ditulis seorang mahasiswa teknik kimia, tentang pengelolaan sampah. Bagaimana proses pengelolaan sampah itu sehingga bisa menghasilkan gas yang bermanfaat sebagai bahan bakar. Selain itu juga bisa dijadikan pupuk. Cuma, saya bukan orang kuliahan. Saya ga’ tahu bahan – bahan yang diperlukan itu yang seperti apa. Padahal kalau ada yang mengarahkan, saya yakin masyarakat akan mencobanya.”
“ Sebenarnya tidak sulit kok, mba’. Cukup buat lubang besar, kemudian masukkan sampah – sampah organik ke dalam lubang tadi dan tutup dengan plastik besar atau terpal, agar gas metan yang dihasilkan sampah – sampah itu terperangkap. Setelah beberapa hari terpal itu akan mengembang, berarti gas metan sudah terbentuk. Kita tinggal menyiapkan drum tempat penampungan gas metan ini, dan 2 pipa. Satu untuk slang yang menyalurkan gas dari tempat penghasil gas ke drum, dan satu lagi diberi kran dan slang untuk mengalirkan gas ke kompor. Ini yang disebut biogas, mba’.”
“ Mana aku tahu apa itu miogas, metan, organik? Sebaiknya memang ahli – ahli kimia itu terjun langsung. Jadi mereka tahu sampah – sampah mana yang bisa dijadikan pupuk, yang didaur ulang, yang bisa dibuat gas tadi. Kalau sekarang, yang jadi tukang sampah itu orang kere, kadang orang yang udah ringkih, yang ga’ punya ilmu apa – apa selain ngandelin otot. Dan nrimo dengan upah kecil. Di desa saya juga sampah – sampah yang menggunung itu dibakar. Kalau lewat tempat itu, baunya…ampun. Padahal lokasinya dekat pasar. Disana banyak yang jual makanan, sayuran, ikan. Kabayangkan, Mas bahayanya?”
Aku hanya diam. Sesekali mobil berguncang karena jalanan rusak. Padahal belum ada beberapa bulan diperbaiki.
“ Memang seharusnya yang jadi tukang sampah, ya para ahli kimia itu. Biar pengelolaannya baik dan tepat. Untuk apa mereka sekedar ngoceh – ngoceh ngasih ceramah dan teori – teori. Kita ga’ bakal ngerti dengan istilah – istilah orang – orang pinter itu. Syukur – syukur tamat SMA, kadang juga SD sudah berhenti. Lebih baik ilmu mereka itu langsung diterapkan dan bisa bermanfaat untuk lingkungannya, gitu kan, Mas?”
Sekali anggukan untuk mendukung pernyataan wanita itu. Meski di sudut hati aku tergelitik membayangkan para ahli kimia, yang kuliah bertahun – tahun, dengan biaya besar, ternyata jadi tukang sampah dengan gaji kecil. Tapi, memang begitu seharusnya. Jika ingin pengelolaan yang baik, maka harus dihandle oleh yang berkompeten. Benarkah ada yang seperti itu? Semua orang sekolah tinggi – tinggi bertujuan agar kelak bisa hidup senang. Dengan ilmu yang mereka miliki tak perlu kerja susah, tapi bisa hidup mewah. Ayah akan marah besar jika setelah lulus, aku jadi tukang sampah. Keliling kampung dengan gerobak, memunguti sampah – sampah penuh penyakit. Dikerumuni lalat – lalat, bukan para wartawan atau penggemar yang salut dan kagum dengan penemuan baru. Alamak! PR unik untuk generasi pewaris negeri. Wanita itu turun di perempatan Pugung Raharjo, setelah itu naik seorang laki – laki tua. Si calo mendatangi sopir, meminta uang. Si sopir memberi sambil mengumpat. Segala kutukan tertuju pada calo itu.
“ Enak amat dia. Ongkang – ongkang kaki minta duit. Kita ngumpulin dari pagi sampai sore, belum untuk setoran. Biar, pokoknya saya ga’ ikhlas!”
“ Ya, ga’ apa – apa lah, pir. Daripada ribut…” Kata bapak di sampingku.
“ Iya, Pak. Saya Cuma ga’ mau ribut. Bayanginlah, ongkos ke Sidorejo 3000, eh… dia ambil 2000. saya Cuma dapat 1000. apa ngga’ keterlaluan?! Mau protes sama siapa saya ini, kalau ga’ dikasih nanti panjang urusannya.”
Mobil melaju kencang, meninggalkan kutukan pada angin dan malaikat yang setia mencatat. Langit biru masih memayungi bumi. Panas terik menciptakan fatamorgana di aspal. Genangan air di permukaan jalan tak akan pernah dijumpai meskipun telah sampai di tampat awal terlihat. Pohon – pohon telah jarang. Tiang – tiang listrik berdiri pongah, ruko – ruko menjulang di kanan kiri jalan menandaskan pembangunan yang megah. Meskipun di daerah Lampung, rumah panggung sudah tidak ada di sini. Satu kebudayaan masyarakat telah punah. Mereka lebih memilih bangunan modern daripada rumah panggung yang unik. Hanya rumah informasi Taman Purbakala yang tetap kokoh berdiri dalam bentuk panggung, di Pugung Raharjo. Simbol ketegaran yang tak lapuk dimakan zaman.
“ Turun mana, Mas?”
Lamunanku membuyar.
“ Pasar Sidorejo. Bapak turun di mana?”
“ Sama. Ikut kebakar ga’ rumahmu semalam?”
Aku mengerutkan dahi.
“ Kebakar? Kebakar gimana, Pak?”
“ Lho? Kamu ga’ tahu ya?”
Hanya gelengan kepala sebagai jawabanku.
“ Ratusan ruko di sana terbakar semalam. Api baru padam pagi tadi. Toko saya ludes semua. Ga’ ada sisa. Saya ga’ sempat menyelamatkan dagangan. Lha wong rumah saya di pugung. Berita sampai ke saya sudah jam 11 malam…”
Pikiranku melesat pada perbincangan dengan ayah sebulan yang lalu. Tentang keputusan pasar inpres. Semua pemilik pasar tak resmi itu harus segera hengkang tanpa ganti rugi. Kalau mau tinggal di sana harus menebus ruko yang akan didirikan di tanah tersebut, dengan harga tinggi. Tentu masyarakat menolak. Demonstrasi besar – besaran pun terjadi. Aku saja ikut orasi ke balai desa. Membuat tulisan – tulisan protes di karton, menyuarakan kepedihan ratusan warga, melantangkan isak harap yang selama ini tertindas. Akhirnya masyarakat menang kala itu. Pegawai kelurahan hanya bisa pucat dan tertunduk. Wajah merah mereka memendam misteri. Misteri yang menurutku telah terpecahkan hari ini.
Bandarlampung; Sabtu, 10 Januari 2009
Langganan:
Postingan (Atom)
TERIMAKASIH TELAH SINGGAH
Perjalanan hidup manusia berputar seperti roda. Suatu saat akan berhenti, bila telah tiba di tujuan. Namun, adakalanya roda itupun berhenti karena hambatan. Hidup beserta masalah adalah lumrah. Memang demikian adanya. Hidup tanpa masalah mungkin juga ada. Akan tetapi, itulah masalahnya, mengapa bisa tidak ada masalah? Normalkah?
Maka kembali pada bagaimana kita menyikapi. Terbelit dalam kerumitan, pikirkanlah solusi; bukan kesulitannya. Karena hal ini akan menjelma beban.
Serahkan pada sang Penguasa semesta, karena Allah swt maha berkehendak. Entah bagaimana penyelesaiannya, terkadang tak pernah sedikitpun terbayang dalam pikiran. Lantas untuk apa lagi ragu? Bila tak sanggup membina diri, bersama iman dan taqwa padaNya, tunggulah kebinasaan itu dari jalan yang tak disangka -sangka.
Maka kembali pada bagaimana kita menyikapi. Terbelit dalam kerumitan, pikirkanlah solusi; bukan kesulitannya. Karena hal ini akan menjelma beban.
Serahkan pada sang Penguasa semesta, karena Allah swt maha berkehendak. Entah bagaimana penyelesaiannya, terkadang tak pernah sedikitpun terbayang dalam pikiran. Lantas untuk apa lagi ragu? Bila tak sanggup membina diri, bersama iman dan taqwa padaNya, tunggulah kebinasaan itu dari jalan yang tak disangka -sangka.