Oleh: Desma H.
Judul Buku: De Winst
Penulis : Afifah Afra
Cetakan 1 : 2008
Tebal buku : 336 halaman
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Buku berisi 22 bab ini sangat menarik untuk dibaca. Berlatar belakang keraton Surakarta, mengisahkan perjuangan hidup bangsa Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan. Masih dalam penjajahan Belanda, namun sudah dilaksanakan politik etis. Maka beberapa pribumi, tentu kalangan khusus, memperoleh kesempatan belajar hingga ke perguruan tinggi di Belanda.
Bangsa Indonesia yang sudah menyadari bahwa mereka hanyalah diperbudak, dengan kekuatan semampunya mulai melakukan perlawanan. Kaum cendekia yang telah menempuh pendidikan tinggi, saat kembali ke tanah Jawa, mereka pun mulai melakukan aksi. Begitu pun seorang Rangga Puruhita yang sejak kecil sudah dijodohkan dengan Sekar Prembayun. Sebagai lulusan terbaik dari Universiteit Leiden, Rangga memang terkenal hanya memikirkan nilai akademis saat di kampus. Tak pernah terlihat dalam komunitas muda yang memperjuangkan bangsanya. Lantas bagaimana ketika ia benar-benar kembali ke tanah kelahiran?
Rupanya, ia memang telah disiapkan oleh sang ayah untuk berjuang demi bangsanya. Menempuh pendidikan tinggi memang ditujukan agar ia bisa belajar banyak, dan kelak membantu bangsanya mendapatkan kemerdekaan. Tentu saja Rangga berjuang demi bangsanya. Sesuai dengan keahliannya, Rangga memfokuskan diri dalam bidang perekonomian. Ia tidak terang-terangan terlibat dalam pergolakan perlawanan. Rangga bertindak halus dan tertata.
Akan tetapi, bukan novel namanya jika alurnya lempeng-lempeng saja. Konflik bermunculan. Sebenarnya sudah disajikan sejak awal bab. Mulai dari perjodohan masa kecil, namun hati sang pemuda tertambat pada wanita bermata biru yang jelita, Everdine Kareen Spinoza. Perjodohan memang tak diinginkan tentu diabaikan. Rangga hendak memperjuangkan cintanya. Namun, Everdine rupanya telah dipersunting oleh sosok yang memang selalu berselisih dengannya. Hati yang patah tidak lantas membuat Rangga hancur. Ia tegak dan terus berjuang. Semangat perlawanan terhadap penjajah yang juga dimiliki oleh Sekar, menjadikan mereka se-visi. Dari kebersamaan ini perlahan cinta bertali.
Akan tetapi, kepiawaian penulis sangat jeli di sini. Ia tak izinkan kita segera menarik kesimpulan cerita, dan melompat pada bab akhir. Kita dipikat untuk terus melintasi lembar demi lembar yang semakin dibaca, kian menyisipkan rasa penasaran. Kejutan-kejutan dimunculkan. Sekar sudah terpaut hatinya dengan Jatmiko. Namun Jatmiko terlalu sibuk dengan perjuangan. Ada pula sosok Kresna, yang misterius tapi selalu tampil penuh pesona. Bahkan Rangga pun cemburu padanya. Kresna dengan keluwesan pergaulannya, bisa akrab dengan Everdine, Pratiwi, dan Sekar.
Pada bab-bab akhir, perlahan diungkap, jati diri Pratiwi yang ternyata adalah adik Rangga. Pratiwi menyukai Kresna, itu sebab ia bersemangat berjuang, meskipun pengetahuan belum seberapa luas. Keberanian ini pada akhirnya membawa petaka untuknya. Jan Thijsse, suami Everdine tetap menjadi antagonis yang teguh dengan peran jahatnya hingga akhir hayat.
Secara keseluruhan, novel ini bagus. Memaksa pembaca untuk mencari tahu tentang Bahasa Belanda, bagaimana pengucapannya yang benar. Deskripsi yang baik, sehingga pembaca diajak ikut merasakan nuansa yang terjadi. Indahnya lagi, disisipkan pula foto-foto tempo dulu pada halaman tententu. Sehingga pembaca tersihir, dan mengiyakan bahwa para tokoh yang tengan berlakon, benar-benar ada di sana pada saat itu. Perselisihan, konspirasi, pengasingan, ketidakadilan, merupakan sajian utama pada novel ini. Dibalur dengan kisah kasih dalam keluarga, juga dengan tambatan hati, menjadikan kisah ini semakin wajar.
Pilihan kata yang dipakai mudah dipahami. Dan yang paling menggelitik, penulis membiarkan pembaca terpukau dengan akhir cerita yang menuntut kelanjutannya lagi. Tentu saja, ada novel berikutnya yang menjadi penyambung rasa penasaran pembaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar