Aku mengajar di Sekolah Dasar Islam Terpadu, di kota
Bandarlampung. Jarak dari kontrakan ke sekolah sekitar 2 Km. Setiap pagi
kutempuh dengan berjalan kaki. Sebenarnya aku bisa saja naik angkot lewat jalan
lain Namun setelah dipertimbangkan keefektifan waktu dan dana, maka aku
memutuskan untuk berjalan kaki ke sekolah. Berangkat lebih pagi agar jalan bisa
lebih santai, karena jalan yang kutempuh mendaki. Ngos – ngosan juga. Tapi,
tetap semangat sembari olahraga.
Sekolah ini menampung anak – anak yang luar biasa. Dari
yang sangat aktif, sedang – sedang saja, dan juga ada yang sangat sensitif. Sudah
dua tahun aku diamanahkan mengajar kelas satu. Tahun ini, nyaris separuh kelas
tidak bisa membaca. Bahkan ada dua orang yang huruf saja belum tahu. Padahal
tuntutan indikator sudah tinggi. Anak – anak bukan lagi membaca suku kata,
namun dalam latihan soal mereka sudah menggunakan kalimat. Tentu saja jalan
yang ditempuh adalah membacakan soal dan mendiktekan huruf demi huruf ketika siswa
hendak menjawab soal tersebut. Karena satu kelas ada dua orang guru, jadi aku
sangat terbantu.
Alhamdulillah, guru partnerku bisa diajak kerjasama. Bisa
istirahat hanya ketika sedang sholat saja. Karena pada jam istirahat anak – anak tetap harus
dipantau. Pertengkaran sering terjadi hanya dalam hitungan detik. Hampir setiap
hari terjadi siswa menangis, terkadang sampai pukul – pukulan dan menendang.
Meskipun hanya karena hal sepele. Namun itulah dunia anak – anak, yang memang
masih harus aku pelajari lagi. Tidak sengaja kesenggol dengan temannya, sudah
menangis. Atau pernah juga ada siswa yang menangis terus karena tidak mau
ditinggal ibunya. Ada juga yang langsung kabur pulang ke rumahnya karena tidak
mau ditinggal ayahnya.
Sangat unik memang. Belum lagi tuntutan orang tua siswa
yang meminta agar anaknya mendapat perhatian khusus. Tentu saja hal ini akan
sulit dilakukan, karena di kelas ada tiga puluh siswa, dan gurunya hanya dua.
Jika ada wali murid yang menuntut demikian, maka akan ada siswa yang terabaikan.
Pernah juga menghadapi wali murid yang tidak terima ketika anaknya menangis
karena jatuh ketika jam bermain. Menyalahkan guru, yang tidak mengawasi. Aku
berusaha tersenyum meskipun di hati sedih. Itulah keterbatasan raga ini, tidak
bisa mengawasi satu per satu siswa, karena mereka juga bermain di tempat yang
berbeda – beda.
Keriuhan di kelas yang luar biasa, sehingga suara guru
tak terdengar lagi. Sampai sakit leher ini berteriak, namun tetap saja kalah
suara. Pernah adikku melihatku mengajar, ia menyarankan untuk pindah saja
mengajar di sekolah lain. Namun itulah amanah. Toh di sini aku juga belajar.
Bagaimana menghadapi anak – anak dengan bijak. Jujur, emosiku jadi lebih
terkendali. Karena guru – guru di sekolah ini punya adab – adab yang luar biasa:
tidak boleh marah, tidak berkata negatif, tidak main tangan. Selama ini kalau
aku sudah terdesak, emosi dipuncak. Aku memilih diam. Atau tersenyum kemudian
tertawa. Karena sesungguhnya mereka adalah anak –anak yang lucu. Pernah suatu
hari aku begitu letih, sedangkan masih ada buku penghubung siswa yang harus
diisi. Tiba – tiba saja seorang siswa, azky namanya berkata: “ Yang ikhlas ya,
Bu.” Aku tersenyum, seolah teguran dari Allah. Aku harus sabar dan ikhlas.
Terimakasih ya, Nak.
Semua itu berhikmah, walaupun berat perjuangan di sekolah
tentu saja ada balasan dari Allah. Beberapa bulan yang lalu, adikku yang sudah
bekerja di RS membelikan sepeda motor karena kasihan melihatku harus berjalan
kaki sejauh itu ke sekolah, padahal aku belum bisa naik motor. Selama liburan
aku belajar di rumah. Alhamdulillah bisa juga. Namun menjelang Ramadhan aku
kecelakaan dan sampai sekarang aku belum memakai motor itu lagi, karena trauma.
Ke sekolah kembali berjalan kaki. Tapi ada kejutan di menjelang akhir Ramadhan.
Karena waktu sangat padat di sekolah, tak berkesempatan untuk mengobrol, maka
ketika moment buka puasa bersama aku berbincang dengan seorang guru yang
ternyata tempat tinggalnya dekat dengan tempat tinggalku. Tanpa disangka juga
kampung asal kami berdekatan, meskipun sudah lain desa. Betapa mengharukan
perbincangan ketika itu. Sampai hari ini, beliau selalu menjemputku jika hendak
ke sekolah. Aku tidak lagi berjalan kaki sampai sesak napas ketika mendaki
jalan.
Selain itu hafalan al Qur’anku senantiasa terpantau di
sekolah ini. Otomatis ketika hafalan siswa bertambah, aku juga harus
menyeimbangkan. Bagaimana seorang guru bisa memperbaiki bacaan siswa kalau ia
sendiri belum hafal. Para guru selalu terjaga dari pergunjingan, karena jadwal
mengajar yang padat. Setidaknya aku tak punya kesempatan untuk memulai obrolan,
kecuali yang sangat penting. Jangankan menerima telepon, membaca dan membalas
sms pun tidak bisa, kecuali di luar jam mengajar. Alhamdulillah. Untuk saat ini
aku merasa nyaman. Dengan lingkungan yang seperti ini dan kewajiban yang juga
jelas. Namun sesungguhnya bukan karena kenyamanan ini aku bertahan, bukankah
jika tetap berada pada zona nyaman malah membuat manusia terlena dan tak melakukan lonjakan –
lonjakan dalam hidup? Aku bertahan, karena Tuhan selalu memberikan kejutan –
kejutan. Sehingga kian meneguhkan langkahku ke depan. Tentu tak hanya terbatas
di satu tempat untuk mencapai sebenar – benarnya tujuan.Ya Tuhan, sesungguhnya
bebanku sangat berat, maka berikanlah aku pundak yang kuat untuk mengemban
amanah ini.
***
Bandarlampung, 24 Oktober 2012
Alhamdulillah, terbit di tarbawi edisi november. Aku melihatnya, Sabtu, 3 november 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar