Seorang siswa,
membelakangi saat kumengajar. Menghadap dinding kelas. Melipat kertas,
membentuk pesawat dan menerbangkannya. Bahkan ia memasang headsheet saat aku
menjelaskan. Ketika disapa, melengos, berlalu tanpa kata. Tidak sekali, dua
kali, ia selalu demikian. Dalam kelas mencemooh, di luar kelas menjelek -
jelekkan. Hanya satu, dia dalam kelas yang kubanggakan. Jika hati dikatakan
retak, sepertinya iya. Jika diperturutkan, patah nanti. Mengapa harus terjebak
oleh perasaan yang kuciptakan sendiri? Di sinilah ketangguhan seorang guru
dipertegas. Siswa seperti ini adalah tantangan? Banyak yang menyimpulkan
demikian. Bagiku, tidak. Ia adalah sahabat terbaik, yang mengingatkan bahwa
siswa dalam duniaku tak sebatas: baik, ramah, pintar, kurang pintar, aktif, pasif,
ceria, dan tangis. Mungkin ia tak pandai meramu diksi, atau menampilkan
keramahan senyuman yang sangat diminati setiap hati di muka bumi ini. Dalam
kekhususannya, kujadikan ia permata dalam jiwa. Darinya kelak generasi
pembaharu akan diteruskan. Tentang apa yang menjadikan ia berperilaku demikian,
itulah yang perlu dijabarkan. Tentang benteng kokoh yang selalu ia bangun
antara aku dan dia, kusimpulkan sebagai cinta.
Tidak selamanya cinta
itu diwujudkan dengan tatapan istimewa. Senyum lebar, nampak gigi putih. Atau
ungkapan pujangga yang dicopas sepenggal agar nampak realistis. Terkadang orang
- orang tertentu memang punya cara istimewa untuk membahasakan cinta.
Dan bagiku, begitulah
caranya membahasakan cinta untukku. Aku tak perlu pembuktian hingga ia
menyatakannya dengan bahasa yang kumengerti.
Bandarlampung, 22
Januari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar