Oleh: Desma H.
Pagi tadi, hujan mereda, padahal aku masih berpayung. Melangkah menuju tempat mengajar, berjarak beberapa meter dari gedung sekolah. Kejadian pandemi menjadikan perihal KBM layak kucing-kucingan. Entah siapa tikus, entah siapa kucing? Pastinya aku terlibat di sana, dan ikuti saja. Toh ini juga merupa aliran sungai yang kelak sampai ke muara. Perkara sungainya keruh atau jernih, abaikan dulu.
Matahari perlahan muncul, dari cengkeraman awan abu-abu. Pendarnya hangat menimpa punggung yang masih berbalut jaket. Tadi sangat dingin memang, berselang waktu, hawa berubah. Udara menari, kemudian menertawakan payungku yang masih terbentang. Aduhai, ia telah lindungi pakaianku dari rinai nan menderas, kemudian melirih. Di hadapanku dua orang berjilbab berbincang, mereka karyawan bagian dapur, yang bertugas mengantar makanan. Berselisih jalan, juga berpayung lebar. Ketika kami bertiga bertemu dalam satu garis, maka jalan di komplek itu tercukupi. Andai kami berhenti, maka kendaraan jenis apapun tak akan bisa melintas.
"Hujannya deras sekali ya, Bu De."
Kusapa, dan mereka menanggapi.
"Iya, Bu. Deres banget."
Maka perjalanan kami yang berlawanan, berlanjut. Jalan sepi, kubuka masker yang sejak tadi menutupi wajah. Sejuk menerpa. Kurasakan kembali kelembutan angin, juga percik-percik rerintik hujan yang tak sengaja terpantul. Ah, udara surga ini begitu lama dirindukan. Tapi suara hanya bergerunjal di hati. Suara hanya meletup di balik 3 lapis yang konon katanya, sanggup membentengi dari virus. Meskipun, sejak awal tiada yang menjamin, bahwa dari menutup lubang hidung dengan benda itu dapat terhindar dari virus.
Prokes ketat pun kena, prokes longgar pun kena. Bisa jadi ini adalah barisan pernyataan manusia putus asa dengan gonjang-ganjing keadaan. Sengaja kuhirup udara surga dengan melambatkan langkah. Betapa rongga dada seakan terbuka. Sesak memudar. Sungguh kenikmatan luar biasa, yang selama ini dibelenggu kekhawatiran.
Jika bukan karena luka hati, melihat air mata nya menjamah telapak tangan, dalam pinta pada Tuhan, saat melihat napasku tersengal di tengah malam; aku benar-benar akan melepas masker dan berteriak,
"Ambillah surga dunia, hancurkan ketakutan yang kalian benihkan!"
Tapi, melihat setumpukan obat-obatan, dan berita keberpulangan berseliweran, menjadikan wajah ini kembali terdekap. Pada titik ini, aku masih kembali melihat pijakan. Tanah retak, telah basah. Tunai rindu pada rinai. Doa-doa yang sampai.
Bandarlampung, 7 September 2021