Para
siswa kelas 1 Al Biruni sudah berkumpul memebentuk empat gerbong. Gerbong
paling tertib akan pulang lebih dahulu. Wow, mereka langsung tertib. Biasanya
aku akan menambahkan syarat – syarat lain agar anak – anak kembali semangat
meskipun sampai detik terakhir meninggalkan kelas. Misalnya: Bu guru akan
memilih siswa yang gayanya paling keren. Siswa yang sudah rapi pakaiannya,
berkaos kaki, jilbab rapi, rambut rapi. Siswa yang tersenyum dari lubuk hati
yang paling dalam ( Memangnya seperti apa lubuk hati itu? Memang abstrak, tapi
anak – anak sudah paham. Mereka akan tersenyum mengembang. Bahkan ada yang
sambil memegang dada. Mungkin mereka tengah menunjukkan bahwa senyum yang
tersaji benar – benar dari hati). Siswa yang giginya sudah terlihat dua. Hmm,
terkadang gurunya saja bingung bagaimana hanya memperlihatkan dua gigi saja.
Anak – anak tentu yang paling kaya ide. Mereka akan menutup beberapa gigi depan
dengan jemari. Memang dahsyat kecerdasan anak – anak itu ya?
Kalau
sudah kondusif begini, paling nyaman untuk menyisipkan pesan – pesan kepada
anak – anak. Namun tiba – tiba ada kegaduhan. Tuiiing… ada sesuatu yang
mendarat di kepala Bagas. Kertas yang sudah diremas – remas, kemudian dibentuk
bola. Meskipun hanya kertas, tetap saja kalau bentuknya sudah seperti itu
bunyinya “ Gedebum!” ( wuih, berlebihan..) Oh, tidak ya? Ya gitulah bunyinya.
Kita abaikan bunyinya, kita simak pesan dari surat kaleng itu. Bagas sudah
emosi tingkat tinggi.
“
Siapa tadi?!”
Teriaknya.
“
Bentar, Gas!”
Sahut
Ahmad. Ia mengambil kertas itu dari tangan bagas. Dibukanya perlahan kertas
tersebut. Mungkin ia bisa menebak dari tulisannya ( sepertinya berbakat jadi
detektif). Atau ada nama penulisnya?
“
Tulisan siapa ini?!”
Teriak
Ahmad kemudian. Tentu tak ada yang mengaku. Ada gambar seorang anak berjilbab
di kertas itu, dan sebaris tulisan. Ya, sebagai guru tentu aku tahu siapa
penulis dan penggambarnya. Yang pasti memang siswa putrid. Sebut saja Bunga. (
Hmm, bunga terus dari tadi. Ganti dong Bu Desma..) okelah, sebut saja Apel
namanya.
“
Bagas itu yang paling ganteng di kelas Al Biruni.”
Ahmad
membaca tulisan itu dengan lancer. Muka bagas memerah. Ia tersanjung. Senyum
mulai mengembang. Namun ternyata ia masih ingat bahwa ia tengah dalam posisi
marah. Diambilnya kertas itu. Sepertinya ia hendak meneriakkan sesuatu! Dan sebelum
bom Hirishima meledak di Indonesia, aku lekas bertindak. Bagaimanakah
tindakanku? Sederhana.
“
Tapi Bagas memang ganteng kok…”
Ucapku
dengan tenang. Seketika itu ia tersenyum ahmad juga tersenyum. Siswa yang lain
ber cie…cie…
“
Iya, Nak. Apalagi kalau pakai kacamata, tambah ganteeeng.”
Cie…cie… makin riuh. Memang tempo hari
Bagas pernah membawa kaca mata plastic mainan ke sekolah. Ketika ia pakai, aku
langsung berkomentar “ ganteng”. Alhamdulillah, bom tak jadi meledak! Malah
adem seperti tersiram es. Bagas langsung membereskan kertas tadi dan
membuangnya ke tempat sampah. Kasus ditutup. Setelah sampaikan pesan – pesan,
anak – anak pun dipilh siapa yang pulang lebih dulu.
Ternyata
kasus ini walaupun sudah ditutup tetap saja berlanjut. Apakah kelanjutannya?
Label ganteng tetap melekat pada diri bagas. Jika aku bermain tebak gambar
bersama anak – anak, dengan hanya menggambar seorang anak berambut rapi,
tinggi, kusebut cirri – cirinya: “ Ia ganteng” satu kelas langsung menebak:
Bagas! Kemudian bagas akan mereques:
“
Gambarnya pakai kacamata, Bu!”
Langsung
kutambahkan kacamata meskipun aslinya Bagas tak berkacamata. Terkadang cara
meredam emosi itu sederhana, ya?