Desma Hari Yanti
Kau tak hadir menyambutku?
Lunglai rangka rapuh. Bertahun – tahun dinding penjara dan jarak memisahkan. Kudapati gubuk reot tempatmu berlabuh telah hampir roboh. Tak tahukah kau hari ini aku bebas? Ah, mungkin kau telah lupa. Siapalah aku ini? Hanya seorang brandal yang banyak omong. Banyak ulah. Pembuat onar.
Pohon jambu biji tinggal ranting berkait. Daunnya jarang, kalah dengan parasit yang menghijau. Sarang – sarang burung menghias juga di percabangan. Ulat – ulat daun bergelantungan. Semut – semut hitam membuat barisan. Batu besar, sisa muntahan krakatau masih tetap di sana. Dulu kita bersandar di bawah naungan rindang daun – daun hijau jambu biji. Memakan buah – buahnya yang manis. Melempar biji – bijinya jauh – jauh, berharap beberapa tahun lagi bertunas. Kita akan menamai jalan ini dengan jalan Jambu. Kau selalu tersenyum. Senyum sangat menawan di wajahmu yang hitam manis. Bulu mata teratur, alis sedang. Kau biasa, sederhana. Namun bagiku kau adalah gelmbang dahsyat, yang mendebarkan jiwa. Gigimu tersimpan rapi dibalik bibir. Lidahmu melenggang sangat jarang. Menyiksaku yang selalu haus. Haus dengan ucapan – ucapan puitis. Kata – kata terangkai romantis. Dari mana kau belajar itu, Bulan? Aduhai, panggilan sayangku untukmu. Meski kau selalu ingin dipanggil Melati. Dan kau tak pernah memanggilku Bintang, meski memang itu namaku. Kau bilang pengagum Hamka, AA Navis, Alisjahbana, sekelompok nama yang baru kukenal di penjara. Aku banyak belajar disana, Bulan. Belajar tentang deretan kata – kata, yang dulu selalu ku cemooh. Adakah tulisan – tulisan itu masih? Ingin aku membacanya lantang. Untuk kuserahkan setangkai melati di pangkuanmu. Mulai hari ini, kuberjanji memanggilmu Melati, bukan Bulan lagi.
Kembangkan sayap, kekar dan lebar
Dan terbanglah, terbanglah,
Terus lurus membubung tinggi
Melampaui gunung memecah mega,
Menjelajah sawang lapang terbentang,
Tempat bintang berkelipan bertanya – tanya
Dan bulan tersenyum sayu – ria
Merenungkan rahasia kegaiban segala*
Kertas lusuh tulisan tanganmu kembali kusimpan. Di hatiku kata – kata ini telah terukir sebagai prasasti. Bagiku, pertemuan denganmu adalah kuasa Tuhan. Bertemunya hati kita adalah kegaiban, sedang perpisahan takkan tergoreskan pada dinding – dinding dunia yang mulai berlubang. Andai waktu sudi kembali, akan kutebas lebih dulu sebelum ia menebasku. Tapi, kekuatan cinta kita tak membuat waktu rela menunggu. Cinta itu hanya pelangi sesaat muncul. Tampaknya menghujam bumi, padahal semu. Bumi tak merasa sakit, langitpun tak kehilangan saat pelangi lenyap. Hanya rasa pedih menyayat di bagian gaib diri kita. Andai saja, aku tak nekat keluar kelas saat laki – laki itu menarik – narikmu, dan kawan – kawan sekelasku tak menghajarnya keroyokan, mungkin pertengkaran antar suku tak akan terjadi.
Kita yang merajut kisah. Kaum muda yang berkiprah. Pertengkaran kecil adalah lumrah. Perebutan kekasih adalah biasa. Tapi kaum tua menganggap beda. Ini aib suku. Orang tuaku punya piil. Sukumu punya kasta. Dan laki – laki itu punya kuasa untuk melemparku ke penjara. Mungkin kau menjalin kisah baru dengannya. Sedang di balik teralis, aku mengabadikan rasa yang terkoyak – koyak masa.
Dan langkah santun itu perlahan mengubur prasangka. Buyar semua kisah – kisah buruk tujuh tahun silam. Sarung bali merah menutup sampai mata kaki. Senteng kuning melilit di pinggang. Kebaya putih brokat yang berlapis. Kau tak pernah membiarkan kulitmu terlihat seperti gadis – gadis Bali kebanyakan. Di keningmu ada butiran beras kuning melekat. Bunga kamboja terselip di telinga. Rambut panjang terikat rapi. Sebelum duduk di sampingku, kau hadirkan senyum tertunduk. Mata kita tak bertemu, namun hati kita telah saling sapa.
“ Ku kira Kau lupa hari ini.”
“ Baru saja aku datang dari Way Lunik. Hari ini Kuningan.”
“ Aku sampai tak tahu hari. Rumahmu hampir roboh kulihat.”
“ Sejak kerusuhan itu, kami pindah ke kampung sebelah. Lebih nyaman memang tinggal di komunitas yang sama. Apa kabarmu, Bli?”
Kau masih memanggilku dengan sebutan itu. Meski artinya kakak, tapi aku sangat risih.
“ Aku makin kurus. Kau sendiri bagaimana?”
“ Akupun makin kurus, Bli…”
Sejenak aku terkekeh. Kau hanya mengulum senyum. Tak satupun gigimu terlihat. Masih tertunduk. Aku tetap kagumi sikapmu. Santun dan sederhana. Di saat para gadis memamerkan tubuhnya, kau menutupinya. Padahal agamaku sangat tegas akan hal ini. Ketika suara wanita melengking dengan gelak tawa, kau hanya menunduk tersenyum. Bagaimana kau bisa memiliki sikap seperti itu, Melatiku?
Angin berhembus semilir. Membawa daun – daun kering jambu biji ke permukaan bumi. Ranting – ranting patahpun makin berantakan di tanah. Namun hati kita tetap tak bisa bohong. Ini hanyalah di lempengan tanah Lampung di akhir Sumatra, bukan di tengah guguran sakura di Jepang sana.
“ Ada daun kering di kepalamu.”
Sigap kau mengambil. Lama kau pandangi. Kau remukkan, daun itupun bertaburan dihembus angin. Ada yang tersisa di telapak tangan. Ada yang berhambur ke pangkuanku. Ada pula yang terjatuh ke tanah, dan ada pula yang mungkin masih menari indah terbawa angin.
“ Seperti cinta kita, Bli. Telah kering dan tak berdaya. Dihembus ujian, kian porak poranda. Meski aku menyiraminya penuh kasih. Tapi benalu lebih menggerogoti. Setiap kita punya cinta. Cinta manusia hanya sampai dunia, ketika sesosok pergi, hanya luka tersisa. Luka karena tiada jumpa. Pedih karena rindu terlarang. Kau punya cinta di atas cinta. Akupun demikian. Aku tak ingin mengubah yakinmu. Akupun tak ingin mengubah yakinku. Dan jangan pernah berkeinginan untuk mengubah yakinmu karena aku.”
Kau berhenti. Kudengar desahan panjang napasmu.
Aku percaya. Kelak kita kembali pada Sang Pencipta. Hanya jalan yang ditempuh masing – masing berbeda. Aku percaya karma. Jika kita menanam baik, kitapun akan menerima yang baik. Jangan pula berharap agar aku mengubah yakinku. Aku keturunan resi. Perbedaan adalah takdir. Maka takdir ini harus diterima. Jalannya sudah ada, tinggal kita menapakinya.”
“ Mungkin takdirmu bersamaku, Melati?”
Kau menoleh ke arahku. Kutangkap mata bulat yang berkaca – kaca. Tetap menyajikan senyum. Baru kali ini kulihat gigi putihmu yang rapi. Kau menggigit bibirmu. Lantas butir – butir kristal meluncur di wajah bersih itu.
“ Mungkin di kehidupan yang lain…”
Ucapmu terisak. Kau tutup wajahmu yang berlinang air mata. Bahumu berguncang.
Menjelang senja kau lambaikan tangan. Melati putih kau terima. Tetap tersenyum meski wajah sembab. Langit jingga disergap malam. Nyamuk – nyamuk melafadzkan dzikir petang. Adzan berkumandang. Langkahku mantap menghadap Tuhan. Melewati rumah – rumah berpagar pura. Aroma dupa menyeruak. Gonggongan hewan berkaki empat mencekam, mendapati orang asing melintasi jalan. Tujuh tahun kutinggalkan kampung ini, ada rongga kosong dalam hidup yang harus segera kuisi. Masih banyak yang harus kuperbaiki.
Satu bintang muncul meskipun langit berkabut. Dingin angin malam kian merajut.
Bandarlampung, 12 Januari 2009
11: 45 WIB
* Dalam Lingkungan Keabadian, karya: S. Takdir Alisjahbana.