Minggu, 27 Agustus 2017

Saat Para Perantau Kembali Pulang



Lakukanlah perjalanan, agar lebih bijak pandang kita terhadap kehidupan. Melincahlah, karena untuk memulai perjalanan panjang, diperlukan satu langkah untuk mengawalinya.



Jika harus mencari waktu terluang untuk melakukan perjalanan tentu saja akan sangat sulit. Kepadatan rutinitas membuatku sangat sesak jika harus memikirkannya. Telah dipilih waktu yang ringkas. Libur kenaikan kelas, bertepatan libur hari raya. Perjalanan menggunakan bus tentu memerlukan waktu lama. Dua hari satu malam untuk sampai ke sini jika dari Lampung. Namun jika bertemu macet lalu lintas, tentu bertambah lama. 

Akan sangat terlihat perbedaan ketika memasuki perbatasan Sumatera Barat. Bangunan mulai bertanduk pada atapnya, sungguh bernilai seni tinggi. Daerah perbukitan seolah menjadi benteng kokoh dari daerah lain. Hijau segar mengitari. Rimbun dedaun pohon - pohon besar tinggi, menutupi langit. Bus memecah lorong bertudung dedaun pepohonan. Lereng dan bukit di kanan kiri. Perjalanan panjang yang melelahkan jadi terobati dengan suguhan alamnya.

Melintasi kelokan tajam menuju tempat yang sudah kutinggalkan puluhan tahun, kelok yang begitu terkenal di Indonesia. Kelok 44. Memang sekianlah jumlahnya. Di satu sisi jalan, bertuliskan Asmaul Husna setiap menemui keloknya. Sungguh warna Islam yang sangat lekat di sini. Mellihat kelok yang sangat menikung dan menanjak, hanya doa selamat lah yang sepatutnya diucapkan. Bunyi klakson sebagai penanda, bahwa ada kendaraan dari depan. Harus tenang dan sabar ketika melintasinya. Juga harus orang yang paham benar dengan lintasan. Jalan yang sempit, di salah satu sisinya adalah jurang, di sisi lain adalah dinding perbukitan. Pepohon masih memancang kokoh. Namun tak jadi penghalang untuk sekedar menikmati keindahan alam. Dari atas, danau maninjau nan luas menantangku untuk menghampirinya. Di tepian terhiasi oleh keramba - keramba, usaha penduduk setempat selain bercocok tanam. Mereka memanfaatkan danau untuk budidaya ikan air tawar. Jika malam hari, lampu - lampu dari setiap keramba menyiptakan kelap kelip indah. Seperti kepadatan lampu perkotaan yang di lihat dari ketinggian. Begitu pula ketika memandangi kelok 44 di kala malam, dari bawah terlihat titik - titik lampu yang menanjak rapi dan indah.


Aku adalah pengagum semesta dengan beragam fenomenanya. Pada setiap langkah perjalanan, di tempat yang kusinggahi, senantiasa memberi kesan yang berbeda. Meskipun seorang temanku pernah berkata bahwa langit di manapun akan sama. Senja, di manapun tetap sama. Ada benarnya. Jika kita melihat dengan sekejap saja. Namun jika kita bersedia menelusuri, tentu saja semua itu ada perbedaan. Dari warna, suasana, juga kisah yang tercipta. Itu yang kurasakan. Setiap orang memiliki kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya. Maka kebebasan itu diizinkan, namun tetaplah santun. Dengan demikian kita beradab.


Setelah puluhan tahun tak menginjakkan kaki di kampung halaman, maka di waktu yang terencana sampai juga raga ini mengunjungi negeri asal para perantau. Apakah yang terjadi di sana? Ketika semua pengelana kembali pulang, maka ditemuilah rumah yang makin rapuh. Di saat para jalan tanah teraspal hitam, pepohon besar ditiadakan, rumah - rumah batu ditegakkan, bangunan kayu kokoh puluhan tahun silam telah lapuk pada sisi tertentu. Itulah bangunan yang tetap mewarisi cerita para pendahulu. Rumah Gadang. 





Tentang sungai yang masih tetap mengalirkan kejernihan ke seluruh rumah penduduk di kaki gunung, juga bebatuannya yang tetap licin. Derasnya arus menggoyahkan kaki ketika melintasi. Juga pepohonan besar yang masih asli, kicau burung bersahutan, desau angin memiliki lagu sendiri. Melangkah lagi pada daratan tertentu, danau Maninjau biru memesona. Membentang menantang langit yang biru juga. Panorama yang tak bisa dimunculkan di tempat lain tentu saja. 

Sawah hijau memunculkan harap pada kehidupan. Gunung pemancang bumi yang mengelilingi, udara sejuk melengkapi. Daun pohon kelapa berayun, awan - awan turun. Orang - orang berkumpul di depan rumah. Yang lelaki bekopiah dan bersarung, para wanita bertutup kepala. Berbincang santai. Kanak - kanak berlarian, berkejaran. Dari kejauhan suara - suara yang sangat familiar terdengar. Percakapan bahasa Minang yang khas. Di sini, pada rentang waktu yang sedikit, aku singgahi. Negeri para perantau, yang memaksa mereka pergi, namun juga mengusik mereka untuk tetap kembali.




Tulisan ini adalah tugas dari kelas ngeblog seru #2 bersama Naqiyyah Syam
 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERIMAKASIH TELAH SINGGAH

Perjalanan hidup manusia berputar seperti roda. Suatu saat akan berhenti, bila telah tiba di tujuan. Namun, adakalanya roda itupun berhenti karena hambatan. Hidup beserta masalah adalah lumrah. Memang demikian adanya. Hidup tanpa masalah mungkin juga ada. Akan tetapi, itulah masalahnya, mengapa bisa tidak ada masalah? Normalkah?

Maka kembali pada bagaimana kita menyikapi. Terbelit dalam kerumitan, pikirkanlah solusi; bukan kesulitannya. Karena hal ini akan menjelma beban.

Serahkan pada sang Penguasa semesta, karena Allah swt maha berkehendak. Entah bagaimana penyelesaiannya, terkadang tak pernah sedikitpun terbayang dalam pikiran. Lantas untuk apa lagi ragu? Bila tak sanggup membina diri, bersama iman dan taqwa padaNya, tunggulah kebinasaan itu dari jalan yang tak disangka -sangka.




Yang Akan Dibanggakan

Yang Akan Dibanggakan
Menara Siger Lampung