Minggu, 18 Desember 2011

Aku Mencintaimu Seperti Cinta Itu Datang


Aku dan engkau adalah lentera di gelap yang belum tuntas usai. Sekedar penerang yang muncul sesaat, namun menyajikan ketenangan dalam resah yang juga muncul pada saat – saat tertentu.

Kita bisa menjelma menjadi temaram, untuk kemudian mencipta kedamaian yang berlarut – larut. Adakah kau rasakan sama; ketika waktu itu muncul, dan debar – debar pudar, digantikan redup cahaya yang mungkin akan lekas padam, bila tidak kita masing – masing mengokohkannya?

Aku hadir untuk mempertahankannya, kau pun begitu, hadir untuk meneguhkan masing – masing kegoyahan kita. Bukankah kita penguasa bahasa hati, yang hanya kita rajanya, dimana hanya kita yang miliki, resah dan pendamai yang sudah kita paham kepada apa tercipta, dan untuk apa dihadirkan? Untuk kebersamaan kita, itu adalah jawaban yang tengah bersenandung dalam ngiang – ngiang kenang. Aku menjaga setiap kejadian di dalam hatiku. Kau dimana?

Di lembar ini, aku melerai antara suka dan duka. Melesatlah lakon – lakon ragam rasa. Aku suguhkan kecintaan teramat sangat, di balik ragu yang merenda. Ada kebohongan yang harus tuntas. Ada kejujuran yang harus impas. Lidah lekat, mata terpejam. Kapan aku usai?

Kau kembali menjadi pengelana, yang tak hiraukan angin gurun memindahkan gunung pasir. Di akhir pertemuan dalam malam, kau sisipkan kembali selembar lagu tentang kedamaian. Esok hendak kita jelang, dan hari ini belum ingin pulang. Senja telah menyesak datang, namun terik masih enggan beranjak. Ingin hujami kita dengan panas nanar, sementara kita semakin teguh tuk agungkan cinta.

Bandarlampung, 11 Desember 2011

Waktu belum ingin menyelesaikan pertemuan kita yang terdesak. Apapun itu, kau tetaplah keabadian yang hendak pudar. Semakin lenyap masa, semakin gigih partikel – partikel pengokohmu bertaburan. Hendaknya kita menjelma dalam udara yang lupa bertikai, hingga kita tak lagi resahkan, tentang esok yang selalu kita lantunkan dalam rencana.

Mungkin sebaiknya, kau menyatu dalam setiap napas. Hingga di setiap detik peradaban ini semakin teguh untuk meneguhkanmu. Aduhai, bukankah kita adalah senyawa  yang nyaris porak – poranda? Kalau bukan kita yang menyatukan genggam demi genggam untuk selalu ingat – mengingatkan, untuk selalu erat – mengeratkan, maka kita sebenarnya tengah merasakan pedihnya terurai.

Kita, mencoba mengaitkan napas dengan batin. Menjaga kengerian, agar tetap dalam tabiatnya. Menjaga kesedihan, agar tetap dalam pilunya. Menjaga kebahagiaan, agar tetap dalam simfoninya. Sebenarnya, semua membaur, menciptakan keanggunan dalam penyatuan napas dan batin itu. Betapa kuatnya kata – kata kita. Apakah kau rasakan, bahwa semua kata yang tertulis telah perlahan meracik mantra untuk menyihir pasang – pasang mata. Itulah kekuatan kata kita. Maka, cukuplah aku dan engkau; menyenandungkan syair malam. Udara dingin mendampingi kita teguhkan cinta. Bila ada yang lain mendekat, maka akan menguatkan kita. Seandainya yang lain menjauh, maka kita tetaplah teguh. Kita abaikan gersang, kita tepikan letih. Kau dan aku, yang lain adalah pewarna. Kau adalah pelengkap, dan terimakasih telah melengkapi hariku.

Tertanda,
Aku, pengelana yang menjumpaimu goyah. Aku, yang menghampirimu untuk belajar mencinta; dan aku, adalah sesosok yang mencintaimu seperti cinta itu datang. Desma Hariyanti.

Sabtu, 05 November 2011

Catatan di Akhir Oktober


Segala yang berlalu begitu cepat, segala yang datang bagai petir tanpa kilat, segala yang menusuk begitu dalam, hingga tak lagi luangan untuk sekedar aku merasakan isak. Entahlah kepada apa tangis ini tumpah? Kepada langit aku sisipkan kenyataan, karena enggan sudah untuk bertanya akan hal retoris.

Sedikitpun airmata itu menjauh, tak untuk tangisku. Tak pula untuk rasa haru yang masih belum jelas untuk alasan apa. Lengkapnya duka menyelimuti, dan membuat lubang dalam di tengah bahagia yang terentang.
Bagaimana warnanya menyudut. Menghindari cerah yang menandakan ada bahagia tengah kita rasakan. Tuhan, aku menunduk lagi di hadapanMu. Entah bagaimana aku ceritakan satu per satu. Aku tak punya jeda kata untuk mewakilkan risau. 

Bisakah kita berdampingan, dan Kau mengerti kemudian menentramkan hatiku? 
Tanpa aku harus mengulangi lagi untuk menceritakannya. Karena setiap teringat, maka luka itu kembali menyebar. Tuhanku, seperti rasa cinta yang kujaga, dan perasaan lega yang menyeruak di saat resah, bahwa Kau selalu ada. Aku pertahankan hidup ini untuk jumpaiMu dengan kebaikan. Aku inginnya tanpa sesal.

05:24 wib

Minggu, 30 Oktober 2011

Masjid di Atas Bukit


Imajinasi

semua milki senyuman





ragam karakter

sdit permata bunda






persembahan

Kemana Tujuan?

Tambahkan teks
created by: Desma hariyanti, S. Pd.

Melukis adalah Perkara Rasa


Melukis adalah kegiatan seni yang memadukan beragam unsur. Sebenarnya segala pencitraan harus berfungsi dengan baik, dalam hati si pelukis. Bagaimana seorang pelukis bisa memeluk nuansa yang ia tangkap melalui indra penglihatannya, kemudian dijabarkannya kembali dalam bidang datar. Hampir mirip dengan fotografi, namun perkara rasa lebih dalam tertuang di sini, dalam sebuah lukisan.

Lukisan, bisa jadi merupakan hasil imaginasi si pelukis sendiri. Sebuah lukisan, bisa saja sebenarnya tak ada di bagian dunia mana pun di permukaan bumi ini. Itulah rasa, yang begitu tulus hadir dari pelukis. Rasa yang muncul dari hati, yang sebenarnya mewakili kejujuran dalam hatinya.

Banyak orang berbakat dalam seni yang satu ini. Seni lukis. Berbakat dari lahir? Benarkah? Tak usah khawatir, segalanya bisa dipelajari. Termasuk melukis. Sebagai awal, maka penulis sengaja menghadirkan panduan ini sebagai dasar dalam belajar melukis. Melukis, adalah adanya rasa. Tak wajib di atas kanvas dengan sapuan kuas. Di selembar kertas dengan coretan pensil, selama menyuguhkan rasa, maka itulah lukisan. Di langit dengan bauran hujan dan cahaya, selama menyuguhkan rasa, maka itulah lukisan. Bukankah pelangi itu lukisan penuh rasa?

Beberapa tahapan dalam melukis, berdasarkan pengalaman penulis:

1.      1. Tahapan awal melukis
Kesiapan hati, harus dimiliki oleh pelukis. Keteguhan, dan juga kegigihan. Kesabaran, adalah perkara wajib. Terakhir, keikhlasan yang menjadi garam pemantap dalam kegiatan melukis. Ikhlas, ketika karya pelukis hanya menjadi kepuasan sendiri. Ikhlas, ketika karyanya harus dibanding – bandingkan, dan ikhlas, ketika karyanya mati sebelum terselesaikan.

2.      2. Tahapan pertengahan melukis
Mulai, kerjakan, dan akhiri.

3.      3. Tahapan akhir melukis
Syukuri dan kagumi.
Mari, belajar melukis.


Belajar melukis tak terbatasi usia. Untuk mencapai bisa, tentu melalui tahapan. Meskipun tahapan dalam melukis sebenarnya lebih kepada gerak tangan nyata, perkara teori tetap perlu diketahui. Akan terasa sulit jika seseorang hendak mewarnai, namun tak paham warna. Maka perpaduannya akan menjadi lengkap. 

Kamis, 27 Oktober 2011

tentang tahu

semakin banyak mencari tahu, semakin tahu aku, bahwa aku belum banyak tahu.

Senin, 24 Oktober 2011

Influenza

influenza, alias pilek, sudah terkenal dimana - mana. termasuk jenis penyakit yang paling sering silaturahmi kepada manusia. uniknya, manusia juga mempersilahkan si penyakit ini untuk masuk. konon, pilek disebabkan oleh virus. perkembangannya cepat. masa inkubasi selama 24 sampai 72 jam. tetapi bisa lebih cepat. gejala lanjutan yang timbul adalah selaput lendir menjadi merah, bengkak. dan kesimpulannya adalah ingusan.

gejala dan penyebab, pastilah sudah lekat dalam benak kita. ketika terkena penyakit, terasa tidak nyaman, maka yang langsung dicari adalah penanggulangannya. maka, menurut sumber bacaan penulis, penanggulangannya adalah sebagai berikut;

1. dengan diobati
pakai obat, tak membunuh virus. tapi, tetap saja bisa mengurangi penderitaan si penderita. mengurangi rasa sakit .

2. istirahat di tempat tidur.

3. makanan
makan yang enak - enak. karena makanan biasa pasti tak memancing selera makan si sakit.

4. air
karena cairan banyak yang keluar, maka banyak minum untuk menggantikan cairan yang terbuang tersebut. seperti air jeruk hangat.

5. mandi
mandi dengan air hangat ternyata dianjurkan.

cukuplah ini dulu yang disampaikan penulis. jika ada penambahan, tentu akan disambung ke lain hari.

Sabtu, 22 Oktober 2011

di sudut mana suaramu tertinggal

sudah lupa, di sudut mana suaramu tertinggal
makin jauh tereja segala
rancu enggan lagi lama berpikir.

antara aku dan engkau
saling memesan keraguan.

setelah ini, kau kian kugenggam,
dan terentas jua jurang.
mudah, untuk memusnahkan.
ketika angin menyajikan sesak.
suaramu terhujam di sisi langit.
rentang panjang dan lama.
kata kita sudah tak lagi sampai.
air mata melagukan luka yang tak terbaca.
lidah kita, tak lagi ciptakan rasa.

di sudut mana suaramu tertinggal, kerlipan gelisah di ujung matamu terburai

22 oktober 2011, ahad



Jumat, 14 Oktober 2011

A Frame of Loneliness


Apa kau tahu tentang kesepian itu? bukankah kau hanya merasakan kesepian itu di satu kali, ketika Tuhan menunda terkabulnya doa. Dan kau merasa sepi sesepi – sepinya. Sendiri, sesendiri mungkin. Lepas sudah segala yang kau rangkai tentang sebuah harapan.

Apa kau tahu tentang kesendirian itu?
Ketika dalam keramaian, kau hanya merasa tegak bersama rangka. Yang lain bergerak tapi diam. Diam namun bergerak. Suara yang tertangkap hanya dengung.

Jadi, katakan padaku, apa kesendirian itu? seperti apa kesendirian itu? apakah, ada kata lain yang dapat menyajikan kesendirian yang terdalam, kemudian berlanjut dengan kesepian yang sesungguhnya. Apakah arti yang dapat kau suguhkan, untuk seorang aku, yang tengah merasa entah untuk beberapa napas sisa ini.
Ada jeda yang hilang, di selang kekosongan ruang yang menyusup. Ketika aku sedang berpikir. Dalam hampa itu ia meraja. Sendiri yang menyudutkan kesendirian itu sendiri. Sehingga sesak, melukai juga akhirnya.

Aku mencarimu, setelah kabut mendekat. Dingin sudah terabaikan, sejak resah ini mendahului untuk aku lihat. Begitu sempurna memaknai kesendirian. Hingga terabai perkara lain. Enggan untuk mengakui betapa berartinya jumpa yang sekejap. Seperti sepenggal napas, untuk melanjutkan episode. Yang belum usai, bahkan belum terencana diusaikan di mana. Sejenak, aku rentangkan tangan. Merasakan kau menyusupi resah dengan bisik kerinduan. Rembulan masih munculkan cahaya. Bulan yang gusar, antara dirindukan, dan terabaikan. Dalam rentang tangan itu, mengalir kesejukan embun yang telah terjelma olehmu. Oleh rasa yang aku ciptakan sendiri.

Adakah nyanyian kesendirian raja kelana terhapus oleh keceriaannya? Bahkan suling bambunya mewakili gelisah yang tak berujung. Ia sudah lupa dimana ceria itu. ia pautkan senyum untuk mengiris kembali lukanya, kemudian berlanjut, berlanjut lagi luka itu. luka yang diterima dalam kesendirian. Luka yang diabaikan dalam kesendirian. Luka yang ditanam dalam kesendirian. Hingga terlupa, bagaimana rasa kesendirian itu awalnya. Kapan ia mulai kesendirian itu, dan kapan ia akan mengakhiri, adalah sesuai dengan judul perjalanannya.
Sendiri, sang raja kelana menjadi bijak. Sendiri, ia mengusap kesendirian itu, dan ia itu adalah aku.

Begitupun engkau, mengembun. Seiring mentari  muncul, kita musnah perlahan. Bersamaan dengan rasa yang pudar.

21:38wib

Minggu, 09 Oktober 2011

catatan harian

19 september 2011, senin Kita bisa memulai semua dari yang terbaik, untuk mendapatkan yang lebih baik. Kita bisa mencoba memulai, untuk mencoba menjalankan, dan kemudian mencoba mengakhiri. Dan menjadikan segalanya lebih baik di sudut pandang yang berbeda. Aku melihatmu sebagai garis. Namun kubiarkan kau menjadi titik di sebentang langit. Kau bisa menjadi penghias di sana. Aku yakin kau miliki keindahan, yang mendekati sempurna, untuk sebuah jiwa yang cukup mengagumi. Dan aku tak menuntut apa – apa. 17:57 wib

Rabu, 21 September 2011

Hujan

Hujan, ia datang. Namun tak untuk kembali. Gerimis, ia membungkus tangis, untuk kemudian disamarkan. Agar tak ada lara menyelinap, bahkan untuk sekejap. Tangis, ia menjadi kesimpulan dari sebuah misteri yang belum berujung dan belum pula berpangkal. Apa kau tahu, apa itu? Itu adalah napasku. Senin, 19 September 2011

Senin, 19 September 2011

Sepertinya, ketika itu.

18 september 2011 Kita mungkin punya kekhawatiran beragam. Sedang yang lain tidak. Kita bisa saja ingin menjaga, sedang yang lain merusak. Kita membangun, yang lain menghancurkan. Semua bertindak sesuai kehendak hati. Kita punya kebebasan yang berdiri sendiri, namun sebenarnya tak paham dimana tempat berdiri. Kita punya hati yang bisa sebagai pengendali, namun tak mampu memfungsikannya untuk memoles dengan bijak hati tersebut, agar dapat terkendali segala emosi. Sejak kapan emosi menjadi penguasa? Sejak ia mulai diagung – agungkan sebagai hak. 17:35 wib

Untuk Sebuah Esok 2

Kukecup sejenak cahaya redup sudut langit/ Ada engkau beranjak, dalam dekap yang tak sampai/ Memasung asa, para perindu/ Kemana setelah ini kau bingkiskan senyum?/ Sedang untukku, telah usai// Rela mengenang/ Kedatanganmu, untuk masa setelahmu/ Sampai kau datang kembali/ Di suatu ketika// Merayu, untuk tetap kuikuti/ Dan aku, entahlah menjadi apa.// Bandarlampung, 20 agustus 2011 Dipublikasikan: @ radio: 101,1 FM, sajada edisi 20 agustus 2011

Minggu, 03 April 2011

Mata Air di Negeri Sakti


Kita hilangkan kantuk di dinginnya pagi. Untuk esok lusa, udara pegunungan akan menemani. Dedaunan mengucurkan hujan embun. Butiran alami yang jarang kita temukan, dalam sibuknya napas. Kita jumpai jalan berdebu, gedung - gedung tinggi, riuh anak - anak, kendaraan berasap, sampah; Aduhai, keseharian yang membuat letih untuk sekedar dibayangkan. Esok lusa, akan ditemui angin baru. Angin pegunungan yang lebih dingin. lebih menyesakkan napas, dan lebih berpotensi untuk memisahkan kita.

Wahai raga, apakah letih kita sudah mencapai level sama? tempo hari sepertinya, aku masih bisa bersantai, meskipun kulirik engkau sudah tertatih memekik hendak segera berhenti. aku hanya melengos, abaikan isak - isak. Ragaku yang kucinta, kalau kau henti, maka kita usai di dunia ini.

baiklah, kita lanjutkan melagukan esok lusa. Sebentar, kau tidak protes? bukankah lusa itu masih 48 jam lagi? kenapa harus disibukkan memikirkan perkara nomor sekian ini? bagaimana dengan saat ini?

Bandarlampung, Rabu: 23 Maret 2011

TERIMAKASIH TELAH SINGGAH

Perjalanan hidup manusia berputar seperti roda. Suatu saat akan berhenti, bila telah tiba di tujuan. Namun, adakalanya roda itupun berhenti karena hambatan. Hidup beserta masalah adalah lumrah. Memang demikian adanya. Hidup tanpa masalah mungkin juga ada. Akan tetapi, itulah masalahnya, mengapa bisa tidak ada masalah? Normalkah?

Maka kembali pada bagaimana kita menyikapi. Terbelit dalam kerumitan, pikirkanlah solusi; bukan kesulitannya. Karena hal ini akan menjelma beban.

Serahkan pada sang Penguasa semesta, karena Allah swt maha berkehendak. Entah bagaimana penyelesaiannya, terkadang tak pernah sedikitpun terbayang dalam pikiran. Lantas untuk apa lagi ragu? Bila tak sanggup membina diri, bersama iman dan taqwa padaNya, tunggulah kebinasaan itu dari jalan yang tak disangka -sangka.




Yang Akan Dibanggakan

Yang Akan Dibanggakan
Menara Siger Lampung