Senin, 28 Agustus 2017

Kilau Pelangi di Musim Panas







Karya: Emely Zakiya Amanda




Aku memandang angka yang berderet rapi di depanku. Kalender. Beberapa kuberi goresan tipis dengan spidol warna-warni. Menandakan hari-hari yang lalu. Sebentar lagi musim panas datang. Artinya, hujan tidak akan turun pada saat itu. Maksudku, pelangi tidak akan muncul tanpa hujan. Dan, aku benci itu. Warna-warni sesaat yang muncul di langit setelah hujan menjadi kegemaranku. Entahlah, apa yang aku lihat. Namun, warna-warni itu selalu tampak spesial di mataku. 
“ Apa yang kau lihat?’’
Aku mendesah pelan
“ Tidak ada.’’

Ia ikut-ikutan memandang keluar jendela, mendongak. Menatap langit, mencari-cari sesuatu yang menjadi alasanku menatap keluar jendela selama jam pelajaran berlangsung. Ia mengangkat kedua bahunya sebelum kembali bicara.
“ Menunggu musim panas? Liburan sekolah?” Ia melipat kedua tangannya.
Tak berniat menanggapi, aku hanya menggeleng. Sebelum ia kembali melontarkan pertanyaan, tetes-tetes air hujan jatuh perlahan. Aku tersenyum, meraih payung, mengembangkannya, berlari. Meninggalkan Sana yang masih sibuk menduga-duga. 

Bau petrichor menyambutku. Aku menadahkan telapaktangan, menyambut butir-butir hujan yang turun semakin deras. Bahkan ketika hujan, halaman sekolah benar-benar sepi saat jam istirahat. Aku menatap langit. Bukan, bukan hujan yang membuatku berlari. Warna-warni pelangi. Itu saja. Payung bening yang kukenakan membuatku dapat melihat dengan jelas rerintik hujan yang berjatuhan. Indah. Sebentar lagi warna-warni itu akan muncul. Benar, warna-warni yang aku tunggu. Warna-warni indah yang menari di langit cerah bersama hembusan angin. 

“ Jadi, itu yang kau tunggu?” Suara itu mengejutkanku.
Aku menoleh. Seorang gadis sebayaku dengan setelan kemeja putih dan rok bermotif berdiri tak jauh dariku. Sana.
“ Mm…”.  Aku tak berhenti memandang langit.
Entah apa yang membuatnya berkata padaku bahwa kami ‘teman’, tapi, kurasa tidak ada yang benar-benar memperhatikan hal seperti itu, mengingat bahwa mereka lebih suka memandangku dengan heran dan berkata bahwa aku ‘aneh’. Mungkin selama beberapa saat aku hanya akan memandangi warna-warni indah pelangi. Warna-warni pelangi yang membuatku berlari ke arahnya. Yang membuatku memandang warna-warninya. Yang membuatku benar-benar terikat dengannya.
*

Belum lama sejak bulan memasuki musim panas. Aku mengalami ketakutan hebat. Aku paham, aku menemui hal yang sama setiap n. Namun, kali ini berbeda. Benar-benar berbeda. Selama beberapa hari terakhir aku hanya berdiam diri di dalam kamar. Menatap keluar jendela. Menunggu rintik-rintik hujan dan warna-warni kesukaanku. Aku akan mulai menggigit kuku-kuku jariku atau menarik rembutku helai demi helai jika perasaan khawatir itu datang. Entahlah, aku hanya khwatir. Khawatir tentang musim panas. Apa musim panas kali ini akan berjalan lebih lama?  Apa musim panas kali ini akan benar-benar panas? Apa musim panas kali ini hujan benar-benar tidak akan turun?
 
Selama beberapa hari pula aku menjalani terapi. Pria dengan stelan jas putih yang ibuku panggil ‘dokter’ akan menanyaiku beberapa hal seperti ‘’Apa yang kau rasakan?’’ , ‘’Apa kau benar-benar bahagia ketika melihat pelangi?’’, ‘’Seberapa besar rasa terobsesimu dengan pelangi?’’ atau ‘’Apa kau tidak tertarik dengan hal lain selain pelangi?’’  karna ibuku berkata bahwa tujuanku ke sini adalah menjwab pertanyaan dokter itu dengan jujur maka aku menjawabnya dengan, ‘’Aku merasa sangat takut’’, ‘’Amat sangat bahagia’’ , ‘’Sangat besar’’ dan, ‘’Tidak ada’’

Ada juga beberapa pertanyaan yang tidak sesuai dengan apa yang aku rasakan. Seperti, ‘’Apa kau tidak bisa melakukan apun tanpanya, seperti bersekolah?’’ untuk pertanyaan seperti itu aku biasanya akan menjawab ‘’Tidak, saya baik-baik saja. saya hanya benci musim panas.’’
 
Asperger syndrome.  Suatu ketika, seusai terapi, ibu menyuruhku untuk keluar lebih dulu. Saat berjalan keluar ruang terapi, tanpa sadar aku menjatuhkan ponselku, aku kembali untuk mencarinya ketika sadar bahwa ia tidak ada di tasku. Aku tidak sengaja mendengar dokter mengatakan itu. Aku tidak dapat berkata-kata ketika melihat ibu begitu terkjut dan menutup mulut dengan kedua tangannya pada saat itu. Entah apa maksud ‘asperger syndrome’ itu. Kenapa ibu begitu terkejut? Apakah ini pertanda buruk? Apalagi ini. Syndrome?  Apa aku benar-benar penderita syndrome?

Aku kembali ke rumah. Kini kamarku dipenuhi dengan barang berwarna-warni. Di dindingnya, sebuah wallpaper pelangi terpampang. Setumpuk buku mengenai pelangi memenuhi rak bukuku. Shal, baju. Aku juga mulai mengkombinasinya menjadi warna-warni. Seperti pelangi dan warna-warninya. 

Akhir-akhir ini aku kembali melihat pelangi. Dokter menyarankan agar kami membuat tiruan pelangi. Aku membuat beberapa percobaan dengan ensiklopedia sebagai pemandunya. Ayah membuat tiruan pelangi dengan sistem pembiasan cahaya. Ibu membawakan beberapa canvas dan banyak cat air. Aku melukis pelangi yang kulihat di atasnya. Menyenangkan. 

Aku juga kembali ke sekolah. Ayah mengizinkanku pergi ke sekolah, ibu juga tak begitu khawatir mengingat dokter mengatakan bahwa penderita asperger syndrome umumnya memiliki IQ di atas rata-rata. Ibu membawakan sebuah bola kaca indah dengan miniatur pelangi di dalamnya. Bentuknya bulat mengkilat, di bagian bawahnya terdapat tombol kecil. Pelangi di dalam bolanya akan bersinar apabila aku menekan tombolnya. Awalnya ibu mencoba meyakinkan kepala sekolah bahwa aku hanya perlu mengikuti pelajaran sains dan mendalami iklim dan cuaca.  Tapi kemudian ibu mengizinkanku hanya menggeluti satu mata pelajaran karna sekolah tidak mengizinkannya. Ayah menyuruhku mencari sekolah alam, di sana aku dapat mempelajari cuaca, katanya. Aku menolaknya, teringat Sana, yang mengatakan bahwa kami adalah ‘teman’. Yah, setidaknya aku masih memiliki seorang yang dapat di sebut, teman.

Aku menghabiskan waktu istirahatku untuk membaca di perpustakaan sekolah. Saat ini aku telah mehabiskan sekitar dua baris buku ensiklopedia cuaca dan gejala alam. Kemanapun itu, aku menggenggam bola kaca pemberian ibu. Aku akan mulai menekan tombol kecilnya apabila merindukan pelangi.
“ Menarik. Bola kaca yang indah. Kamu suka?”  Sana duduk di depanku.
“ Mm..” Aku menatapnya sekilas kemudian kembali membaca buku.
“ Apa menurutmu menyenangkan melihat pelangi seperti ini?”  Ia menekan tombol kecil di bagian bawah bola kaca itu.
“ Mm, aku pendrita syndrome. Kau tahu itu sekarang.’’  Aku bergumam pelan sebelum kembali membaca buku di depanku.
“ Apa yang terjadi jika aku memecahkan bola kacamu?’’ Ia mengangkat tinggi-tinggi bola kaca itu. Bersiap menghempaskanya ke ubin yang keras.
Aku meliriknya,  “ Aku akan mati.” Kataku datar sebelum kembali menyisir buku besar ensiklopedia sains.
“ Ah..,” Ia meletakan kembali bola kacanya.

PRANGGG..!!!
Belum sempat Sana melanjutkan kata-katanya, sebuah tangan menyenggol bola kaca pelangiku yang terletak di ujung meja. Bolanya. Benar-benar pecah. Pelangi, pelangi di dalamnya, pecah.
Aku kacau. Ketika aku menutup mataku, mencoba menarik nafas, warna-warni itu seperti muncul di depanku, tidak beraturan dan saling bertabrakan. Tanganku mulai menarik rambut, kini bukan lagi sehelai demi sehelai. Aku benar-benar kacau.

“ Akan ku tunjukan pelangi yang benar-benar hebat padamu!’’ Sana mengangkat suaranya saat tanganku hendak menyentuh pecahan kaca tersbut.
Aku menoleh. Ia mengangguk.
“ Lebih berkilau. dari pelangi.’’

Aku berpikir, apapun yang lebih berkilau dari pelangi? Otakku sibuk berfikir. Mencari-cari jawaban dari perkataan Sana sebelumnya. Hanya ada bintang, bulan, dan matahari yang benar-benar bersinar. Ini waktunya matahari menerangi bumi, jadi tidak mungkin ia akan menunjukan bulan atau bintang. Tapi, bukankah ia bilang tadi, pelangi?. Ia akan menunjukan pelangi? Di musim panas?

Aku bangkit. Tanganku meninggalkan pecahan bola kaca yang berserakan di ubin. Mendekat, mengikuti langkah Sana.  Aku tak berkata sepatah katapun selama berjalan. Aku hanya diam, menunduk. Menatap ubin yang tak berujung, sebelum langkah sana di depanku berhenti.
“ Di sini. Tempat pelanginya.”
Aku mengangkat kepala. Dan yang ada di depanku adalah.., pintu ruang kelas?. Apa ia bercanda? Aku hendak menoleh, dan cepat-cepat bertanya pada Sana. Dengan gerakan secepat kilat, Sana menutup mataku.
“ Akan kubuka, ketika kita memasuki tempat pelanginya.’’
Aku terdiam. Setelah itu, terdengar suara dar pintu kelas di depanku. Pintu tua itu biasanya akan mengeluarkan suara berderitnya apabila seseorang mencoba untuk membuka atau menutupnya. Aku terkesiap. Orang-orang yang ada di kelas sontak menoleh ke arahku. Setelah Sana menyingkirkan tanganya dan membiarkan mataku melihat, aku tidak menemukan pelangi. Tidak ada. Sama sekali. Mereka tersenyum. 

Ah, tunggu dulu. Tersenyum? Sejak kapan mereka tersenyum padaku?
“ Di sini. Di sini tempat pelanginya.” Ia mengedarkan pandanganya ke seluruh kelas.
“ Memang bukan seperti pelangi yang kau bayangkan.”
Ia mulai berjalan memasuki kelas. Tanpa aba-aba. Aku mengikutinya. Mungkin semacam reflex, atau apalah itu. kakiku tetap mengikutinya.
‘’Kepribadian yang berbeda. Dengan warna yang berbeda. Mengerti, kamu akan melihat kilau di dalam diri mereka hanya ketika kamu mengerti. Kilau dari setiap warna-warni yang berbeda. Bukankah sesuatu yang berwarna dan berkilau dalam satu irama adalah pelangi? Warna warni yang berbeda yang di miliki setiap orang. Kilau istimewa dari setiap warna, keistimewaan dari dalam diri setiap orang masing-masing, dari setiap sisi tersendiri di dalam diri mereka. Kamu tak perlu menunggu musim penghujan untuk menjumpai pelangi. Bahkan ketika badai salju sekalipun, kamu dapat menemui pelangi. Karena yang kamu butuhkan bukan pelangi yang di atas sana. Tapi warna-warni pelangi yang ada di sini, pelangi yang ada di dalam diri setiap orang.”

Sana menyelesaikan ucapannya dan berhenti tepat di depan mejaku. Aku menatap meja yang penuh dengan sticker bertuliskan ‘welcome back’ di atasnya. Mejaku. Jadi, inikah pelangi yang dimaksud Sana? Warna-warni indah yang aku butuhkan? Ini kah?

Setetes air jatuh perlahan. Bukan dari langit. Kali ini tetes air itu jatuh dari mataku. Kilau pelanginya, kilau pelanginya benar-benar indah. Bersinar, pelanginya bersinar. Kilau hangatnya berhasil meruntuhkan es paling dingin yang ada dalam diriku. Aku tersenyum. Menatap pelangi di depanku sekali lagi. Mengusap setetes air yang jatuh ke pipiku. Lalu berani berkata.
‘’Aku tidak butuh pelangi di langit mendung’’

Catatan:
Petrichor: bau sesaat yang muncul setelah hujan.
Asperger syndrome: syndrome yang menyebabkan seseorang teramat sangat terobsesi dengan   suatu hal, umumnya penderita tidak tertarik pada hal lain selain hal yang membuatnya terobsesi, kebanyakan penderita kesulitan dalam berbahasa namun kebanyakan memiliki IQ di atas rata-rata. Sering di temui pada anak-anak yang pada umumnya mengidap autisme.


Biodata Penulis:

Emely Zakia Zalfa Amanda, dilahirkan di Semarang pada 7 April 2003. Putri pertama dari pasangan Bapak Yunada Wiratama dan Ibu Sri Murwaningsih. Memiliki satu adik perempuan. Tinggal di Pramuka jl.Musyawarah 11,  Bandar Lampung. Amanda duduk di bangku kelas 9 di SMPIT PERMATA BUNDA. Tulisan ini telah terbit di harian Radar Lampung, kolom SMS (Sastra Milik Siswa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERIMAKASIH TELAH SINGGAH

Perjalanan hidup manusia berputar seperti roda. Suatu saat akan berhenti, bila telah tiba di tujuan. Namun, adakalanya roda itupun berhenti karena hambatan. Hidup beserta masalah adalah lumrah. Memang demikian adanya. Hidup tanpa masalah mungkin juga ada. Akan tetapi, itulah masalahnya, mengapa bisa tidak ada masalah? Normalkah?

Maka kembali pada bagaimana kita menyikapi. Terbelit dalam kerumitan, pikirkanlah solusi; bukan kesulitannya. Karena hal ini akan menjelma beban.

Serahkan pada sang Penguasa semesta, karena Allah swt maha berkehendak. Entah bagaimana penyelesaiannya, terkadang tak pernah sedikitpun terbayang dalam pikiran. Lantas untuk apa lagi ragu? Bila tak sanggup membina diri, bersama iman dan taqwa padaNya, tunggulah kebinasaan itu dari jalan yang tak disangka -sangka.




Yang Akan Dibanggakan

Yang Akan Dibanggakan
Menara Siger Lampung