Selasa, 26 Januari 2010

Dalam Catatan

Oleh: Desma Hari Yanti Chaniago


Beruntungnya menjadi manusia yang bisa menguasai dirinya sendiri. Terkadang terlintas dalam pikiran, ketika aku melintasi perpustakaan Unila, langkahku merdeka menuju jalan soekarno – hatta. Menungu balon udara bernama Rajawali melintas, dan aku bisa duduk nyaman sambil mengantuk, melewati jalanan aspal. Ke satu tujuan aku akan berhenti. Di sana tempat aku mungkin dinantikan untuk muncul. Bila tak sekarang, kapanlah lagi aku akan berada di dekat mereka. Hanya letih kupadatkan dalam kerapuhan ini. Aku pun rancu untuk kembali menerpa angin.


Sabtu, 2 Januari 2010

Langit berbisik. Betapa bahagia makhluk yang telah tahu kapan batasannya. Betapa tentram kerangka yang telah tahu kapan mereka usai. Betapa lunas penantian tanah pada raga yang menjadi bangkai. Sedang debar masih dimiliki, lakon tanda tanya pada cerita – cerita yang letih memilih wajah. Maka akhirnya, doa sangatlah segar untuk membayar gusar.

Masih belum usai tugas dipatri. Senyum telah mengembang. Tersiksa untuk sebuah bayang angan. Ada, di suatu ketika perlahan gulana bercampur dengan tawa. Saat itulah menjadi garing, tentang susah – susah yang telah terlewati. Bersama, teman – teman gigih, satu dekapan, satu tangisan, satu doa, semoga segera wisuda. Dan satu kata penantian. Terlandasi cinta.

Saat itu kita akan kalah, sayang. Dan sungguh – sungguh menerima kekalahan. Tentang pongah kita, ego kita, hebat kita. Lunglai, sedang skeleton tetap berusaha berdiri. Langkah sansai melamban. Usia kita menahun. Helai – helai renta bercahaya. Percayalah, kita telah kalah.

Maka, di hadapan kita adalah satu garis lurus. Pemmisah bumi dan langit. Di sana matahari timbul tenggelam. Tapi, bagi kita, setelah tenggelam itu, perlu waktu tak terdeteksi untuk bangkit lagi. Lintasi beberapa generasi. Dan Tuhan tetap menyajikan skenario rapi. Untuk dititi, keturunan – keturunan, dan keturunan lagi. Lantas, adakah setidaknya kekalahan kita, menjadi sejarah? Terlantun sebagai cerita – cerita di beberapa masa, atau terabaikan tanpa tersisa, gurat – gurat bekas kita menapak bersama.

Ahad, 10 Januari 2010
Ada beberapa rencana yang belum sempat dibawa pergi dari tahun lalu. Bertebaran menyesaki keping – keping sandaran. Sejenak angan dipertimbangkan. Maka sekenanya dilabuhkan fakta – fakta yang teremban. Deret – deret bisikan menjadi tenang. Dan begitulah suara angin sampai. Kita hanya bisa gemetar. 08:35WIB

Ada, ditarikannya puisi – puisi bersama awan. Begitu malam datang, ditemaninya lagi bulan – bulan yang pecah dengan rima – rima kata. Pada galaksi yang masih belum jelas entah apa. Diiringkannya bersama kelembutan sapa. Dan puisi – puisi menjadi mantra dalam cerita – ceritanya.

Kembali lagi, dalam sekelebat hitam. Muncul membawa api di ujung kuku. Terabaikan, para penanti. Sedang di titian itu ia hendak terjungkal. Ia kembali dalam nafas panjang. Panjang sekali. Maka dari sudut itulah ia duduk, mengulas kembali tariannya yang tak sampai padaku. Padahal hatinya sudah berteriak. Padahal pupilnya telah menjerit. Dan desah angin saja yang tiba, melalui pandangnya berkaca – kaca. Ia titipkan cinta yang tak tersambung realita. 11:15WIB

Mungkin untuk membahasakan cinta itu, aku terlalu kaku. Untuk membagi sayang itu, aku terlalu kikir. Untuk lepaskan resah, aku terlanjur gundah. Untuk labuhkan lelah, aku tersering marah. Dimana keselarasan hendak dihadirkan? Di ruang jantung telah sesak debar – debar. Di mana dapat kusisipkan, getar – getar yang mencuat; hingga tercipta isak – isak? Untuk menjadikan segala ini sendu, adalah mudah. Untuk mewujudkan segala ini cita, adalah niscaya. Untuk mengenyahkan sebab – sebabnya, adalah derita. Luka – luka ini,… hendak kuceritakan pada siapa baiknya?16:45WIB

Selasa, 12 Januari 2010
Renta – rentanya kita, menunda ingin raga, untuk sebuah jumpa. 07:00WIB

Senin, 18 Januari 2010
Letih dan lega itu, terkadang berkepanjangan juga. 22:30WIB

Suatu Ketika


Kapan kita menjadi sebegini mengerikan? Dilingkupi ketakutan akan kehilangan. Ngeri akan terbuang. Risau kelak terabaikan. Untuk telaga tanpa dasar, di sanalah hati yang tak terdeteksi.

Kemarin, aku masih sempat berbagi cerita kepadamu. Tentang malam- malam seram, yang aku tak kuasa ceritakan kecuali dengan kata – kata terbatas. Kau curi rangkaian diksi itu sebagai puisi. Saat koyak – koyaknya rasa, menjadi hambar. Pedih tak lagi terlilit, namun tentram juga hilang. Sepertinya aku menjadi bangkai, yang akan lebih busuk lagi esoknya bila tak segera dibinasakan. Itulah raga – raga kita yang lupa dimana mereka tengah berdiri. Tanpa uang sewa, tanpa ada perbaikan, yang pasti adalah penggerogotan dalam penghancuran. Namun hebatnya, kita masih bisa bangga.

Untuk cerita semalam, aku tak ingin berbagi denganmu. Aku rasa cukup kesimpulan. Bahwa kita sama – sama saja. Kau menanti kabar dariku, tapi aku tak mempedulikanmu. Bercerailah angin dengan hujan, sisanya adalah embun segar di pagi yang gusar.

13:55 WIB

Setidaknya kita belajar dewasa. Dengan getirnya hidup yang tengah kita hadapi, manakan mungkin kita tidak berpikir untuk mengatasinya. Tentu kita tak akan lagi kekanak – kanakan. Ujaran kita juga tak lagi sebatas olok – olok sampah. Jika kita hendak menghina, maka ucapan sindiran akan lebih menusuk. Andai bermaksud menegur, kata – kata konotasi lebih tajam untuk sampai ke hati. Sudahlah, pada intinya telinga tak lagi berfungsi. Selain membisu, jasad ini kian bobrok dalam deret kerentaan. Tuli, buta, tak hanya mata tapi juga hati. Hingga kita sama – sama buta langkah. Apa? Kau sudah bosan meniti nyawa? Sebenarnya kita hanya perlu istirahat sejenak. Melepaskan nafas – nafas gerah pada langit lengang. Kita hanya perlu kesejukan untuk menebas ruas – ruas penat. Setelah itu kita bisa muncul bersama raga baru yang sembuh dari sakit. Lebih segar, lebih tenang, lebih damai, tak terlihat retak – retak jiwa. Tak terpancar rapuh – rapuh pikiran. Karena kita telah dewasa. Di sana kita belajar segalanya, termasuk tentang kebijaksanaan yang perlahan sudah membukit dalam sanubari.

14:35WIB

TERIMAKASIH TELAH SINGGAH

Perjalanan hidup manusia berputar seperti roda. Suatu saat akan berhenti, bila telah tiba di tujuan. Namun, adakalanya roda itupun berhenti karena hambatan. Hidup beserta masalah adalah lumrah. Memang demikian adanya. Hidup tanpa masalah mungkin juga ada. Akan tetapi, itulah masalahnya, mengapa bisa tidak ada masalah? Normalkah?

Maka kembali pada bagaimana kita menyikapi. Terbelit dalam kerumitan, pikirkanlah solusi; bukan kesulitannya. Karena hal ini akan menjelma beban.

Serahkan pada sang Penguasa semesta, karena Allah swt maha berkehendak. Entah bagaimana penyelesaiannya, terkadang tak pernah sedikitpun terbayang dalam pikiran. Lantas untuk apa lagi ragu? Bila tak sanggup membina diri, bersama iman dan taqwa padaNya, tunggulah kebinasaan itu dari jalan yang tak disangka -sangka.




Yang Akan Dibanggakan

Yang Akan Dibanggakan
Menara Siger Lampung