Selasa, 11 Agustus 2009

Kelopak Rapuh di Perantauan

Rabu, 6 Agustus 2009

Rumah semut menyembul dari deretan paping rapi. Sudah bertahun – tahun dipasang dan akhirnya pagi ini dapat kutelisik jua satu misteri. Mungkin ada hawa panas muncul dari tumpukan tanah merah di FKIP itu. Sehingga para semut berduyun – duyun memutuskan mencari persinggahan yang baru. Pembangunan melesat dalam hitungan detik. Negara berkembang atau mungkin maju sudah sangat tepat untuk dilekatkan kepada negeriku tercinta Indonesia Raya. Namun bagaimana dengan peradaban hati sekumpulan otak – otak yang menghuni kepala – kepala makluk bernama manusia Indonesia? Sangat jauhkah dari peradaban yang mencuatkan pemikiran maju untuk sebuah perbaikan? Atau hanya dalam rangka maju untuk melegalkan kepentingan pribadi dengan menyusupkan nama baru sebagai paradigma hebat, kemudian terekayasa sebagai kepentingan bersama. Aku memerlukan jalan yang tak menipu. Jalan yang tak penuh genangan air keruh saat hujan menetes di setumpuk hunian penduduk, dan juga bukan penduduk. Tapi aku juga memerlukan tanah pendakian untuk aku titi, dalam rangka menyematkan bintang harapan di satu sudut langit. Dan hanya manusia berperasaan saja yang bisa menjumpai sudut langit yang sebenarnya bisa dilirik dari atas genting rumah nyaris roboh. Itu adalah rumah impianku. Yang sudah kuhibahkan kepada rayap – rayap di muka bumi yang telah kehabisan tempat bersembunyi.

Manusia dalam hari tuanya adalah tergopoh – gopoh menjejali jalanan. Melintasi sejajar jalanan aspal bersama asap – asap pagi yang berdansa tarian ramah. Ucapan selamat pagi dipelintir menjadi semangat pagi. Apakah si renta bisa tetap bersemangat sedang ia sebatang kara? Meskipun ilmu di otaknya bercongkol mengalahkan sosok presiden di pemerintahan, namun tetap saja ia diabaikan angin berderai menyambut zaman dan penapak baru kehidupan. Hanya untuk yang muda, ya, hanya untuk yang muda. Yang bisa menjerat langit dengan cita – cita, dan membuat waktu gemetar untuk sekedar berlalu. Hanya untuk yang muda, yang bisa memanah matahari dengan semangat pagi, kemudian membawa kepingannya kepada anak – anak burung kelaparan di atas tiang listrik, kehilangan tempat berteduh. Sang induk menitikkan air mata doa, diantarkan kepada malaikat, sampailah kepada Tuhan, dan Tuhan tersenyum melihat anak muda yang tetap duduk di tepian batu hitam sungai. Air jernih, aliran tenang. Ia asyik menghitung buih yang singgah di betisnya, kemudian mengumpulkan dedaunan kering hanyut di telapak tangannya. Meletakkan serpihan – serpihan hancur itu di atas puncak gunung bisu. Merangkaikan sejenak tulisan arab Allahu Akbar. Dalam keyakinan itu, hanya yang muda, yang mampu. Hanya yang berkeyakinan yang bisa bertahan untuk tetap muda, dan untuk tetap merasakan bahwa semuanya mudah.
09:05 WIB

TERIMAKASIH TELAH SINGGAH

Perjalanan hidup manusia berputar seperti roda. Suatu saat akan berhenti, bila telah tiba di tujuan. Namun, adakalanya roda itupun berhenti karena hambatan. Hidup beserta masalah adalah lumrah. Memang demikian adanya. Hidup tanpa masalah mungkin juga ada. Akan tetapi, itulah masalahnya, mengapa bisa tidak ada masalah? Normalkah?

Maka kembali pada bagaimana kita menyikapi. Terbelit dalam kerumitan, pikirkanlah solusi; bukan kesulitannya. Karena hal ini akan menjelma beban.

Serahkan pada sang Penguasa semesta, karena Allah swt maha berkehendak. Entah bagaimana penyelesaiannya, terkadang tak pernah sedikitpun terbayang dalam pikiran. Lantas untuk apa lagi ragu? Bila tak sanggup membina diri, bersama iman dan taqwa padaNya, tunggulah kebinasaan itu dari jalan yang tak disangka -sangka.




Yang Akan Dibanggakan

Yang Akan Dibanggakan
Menara Siger Lampung